Folding Bike Daendels Expedition, Ada Bon Jovi Penyemangat Nanjak
Folding Bike Daendels Expedition. Itu tema perjalanan kali ini. Ya, tidak salah baca. Mereka menggunakan sepeda lipat! Menaklukkan aspal sejauh 1.191 km selama 13 hari!
Empat sekawan, Sartono Atmo (61 tahun), Edi Zulkarnaen (49 tahun), Hendry Liu (50 tahun), dan Moh. Solikin (47 tahun) nekat gowes dari Panarukan ke Anyer. Ekspedisi kali ini dilakukan untuk mengenang jasa para pahlawan sekaligus pekerja rodi yang gugur dalam pembangunan jalur Daendels ini.
Sebenarnya jalur Daendels yang dibangun di zaman Belanda ini bermula dari Anyer di Jawa Barat hingga Panarukan di Jawa Timur. Tapi karena keempat cyclist ini adalah anggota Bikeberry Surabaya, Jawa Timur, maka rute dibalik tanpa mengurangi semangat memperingati Hari Pahlawan.
“Kami start dari Panarukan lantas menuju Probolinggo, Surabaya, Tuban, Rembang, Semarang, Pekalongan, Cirebon, Sumedang, Bandung, Cianjur, Bogor, Serang, dan berakhir di Anyer,” ujar Hendry yang menggunakan sepeda Bike Friday ini.
Berangkat tanggal 8 November dari tugu 1.000 km Panarukan dan berakhir di titik nol Anyer tanggal 20 November. Dalam setiap perjalanan pasti ada banyak cerita. Begitu pula empat cyclist ini.
“Kami merasakan persaudaraan kami makin erat. Karena selama dua minggu kami bersama terus dan saling tergantung. Saling membantu. Saling menunggu,” bilang Hendry.
Selain itu, selama lebih dari 1.000 km dan 13 hari mereka tidak pernah merasakan “sendiri” karena di setiap kota sudah ada yang menyambut mereka. “Tidak dikoordinir tapi mereka mengetahui perjalanan kami dari media sosial dan antar teman saling memberitahu,” tutur Solikin bangga.
Tentunya hal ini menjadi penyemangat mereka menyelesaikan perjalanan mulia sekaligus menambah persaudaraan di kalangan cyclist.
Perjalanan mereka melewati jalur pantura ini tanpa ada pengawalan mobil atau motor. Benar-benar menikmati sebagai cyclist mandiri. Memang jalur ini mempunyai tantangan sendiri untuk pengguna sepeda lipat.
“Selain panas terik yang sangat menyengat. Kami harus melawan angin di mayoritas sepanjang pantura,” keluh Hendry. Belum lagi mereka harus menaklukkan tanjakan-tanjakan panjang dengan roda-roda kecil mereka.
Sebut saja tanjakan Alas Roban, Nyalindu (anara Cirebon-Sumedang), Cadas Pangeran, dan Cianjur-Bogor yang melewati Puncak. “Alhamdulillah semuanya lancar kami lewati meskipun harus saling menunggu dan menyemangati. Di sinilah nikmatnya gowes turing dengan teman-teman. Kami harus mengesampingkan ego masing-masing demi kebersamaan. Begitu juga dalam hidup. Tidak bisa mengedepankan ego untuk kepentingan bersama,” kata Hendry memberi tips dan petuah kehidupan.
Meski begitu, jangan dikira perjalanaan mereka mulus tanpa halangan. Beberapa kali jeruji roda sepeda putus. Pertama kali putus milik Hendry di kawasan Tuban.
Setelah bisa diperbaiki. Perjalanan berlanjut. Eh, tak lama kemudian putus lagi. Jadi dua kali jeruji putus di Tuban. Apes, putus lagi jeruji lain di Pekalongan. “Sudah tiga kali putus, nih. Tapi cobaan masih ada. Di Bogor putus satu lagi,” bilang Hendry lantas tertawa.
Selain Hendry, ternyata Solikin juga mengalami jeruji putus di Bandung. Tetap digowes hingga menemukan bengkel terdekat. Begitu selesai diperbaiki, sang pemilik bengkel tidak mau dibayar sepeser pun. “Katanya sudah kewajiban sesama cyclist harus saling membantu. Bahagianya hati ini masih ada orang memiliki hati mulia,” puji Solikin yang menggunakan sepeda FnHon ini.
Agar istirahat bisa maksimal dan badan bisa kembali fit keesokan harinya. Setiap malam dalam perjalanan ini mereka menginap di budget hotel. Uniknya, ketika di Sumedang mereka kebingungan karena Hotel Asri berada di dalam area Asia Mall Sumedang.
“Beruntung kami menggunakan sepeda lipat, jadi pihak hotel memperbolehkan diparkir di area lobi. Alhasil kami menuntun sepeda dan menjadi tontonan pengunjung mall saat berjalan menuju hotel,” cerita Sartono sambil memboyong sepeda Reach-nya.
Hendry dan kawan-kawan memiliki cara jitu agar tidak bosan atau jenuh gowes terus tiap hari selama dua minggu, dengan jarak yang tidak pendek itu. “Saya mendengarkan musik country Alan Jackson dan Bon Jovi. Biasanya musik rock saya pasang ketika nanjak. Jadi alunan Living like a prayer Bon Jovi menyemangati saya saat menanjak!” bilang Hendry.
Beda dengan Solikin, yang memilih house music. “Irama beatnya membuat saya terus semangat. Meskipun sudah lelah, tapi bisa tetap terus gowes hingga tuntas!” celotehnya.
Begitu tiba di Tugu Nol Kilometer Anyer, mereka sangat lega karena berhasil menyelesaikan perjalanan ini tanpa masalah yang berarti. Bahkan mereka sudah menjadwalkan turing berikutnya.
“Ingin cari rute ke Indonesia timur. Tapi biarkan kami menikmati kenangan indah selama Folding Bike Touring Daendels Expediton ini,” tutup Edi Zulkarnaen yang mengayuh sepeda Dahon ini.