Fleksibel dengan Ushul Fiqh, Ikhtiar Menihilkan Radikalisme Agama
Pesantren yang saya maksud dalam tulisan ini, tentulah merujuk kepada pesantren-pesantren salaf (salafiyah). Ingat! Bukan Salafi (pakai “i”). Kalau Salafi, beda lagi maknanya.
Pesantren salaf atau salafiyah adalah pesantren-pesantren yang mengajarkan kitab-kitab salaf. Kuno, klasik, yang populer disebut kitab kuning. Disebut kitab kuning karena biasanya memang dicetak dengan kertas warna kuning. Meski tidak selalu. Ada juga yang putih.
Sekarang ini, pada umumnya pesantren Salaf bernaung di bawah Nahdlatul Ulama. Belakangan, Muhammadiyah juga berikhtiar keras untuk memiliki pesantren. Saat ini, ada sekitar 380-an pesantren yang dikelola Muhammadiyah.
Penegasan tentang pesantren model apa yang dimaksud dalam tulisan ini, perlu saya sampaikan. Sebab, belakangan ada banyak lembaga yang menggunakan branding pesantren.
Namun, kurikulum dan materi pelajarannya tidak sama dengan di pesantren-pesantren salaf peninggalan para Walisanga.
Di kalangan pesantren Salaf, secara turun-temurun telah dirumuskan atau disepakati kitab-kitab karya ulama salaf yang boleh diajarkan. Diistilahkah dengan Al Kutub Al- Mu’tabarah. Kitab-kitab Al Mu’tabar ini, sudah dikaji dan diseleksi oleh para ulama di Nusantara sejak mereka menyebarkan Islam di negeri ini. Diyakini, ajaran yang tertuang di dalamnya tidak akan menimbulkan madlarat (efek buruk) bagi santri yang mempelajarinya.
Al Kutub Al Mu’tabarah itu, meliputi berbagai kajian atau disipilin ilmu. Salah satu disipilin ilmu yang menurut saya berimbas cukup segnifikan terhadap terbentuknya wawasan yang luas adalah ilmu ushul fiqh. Dalam disiplin ilmu ushul fiqh, diajarkan secara mendalam kaidah-kaidah dalam menentukan hukum Islam.
Orang yang mendalami ilmu itu, selain berpotensi bisa merumuskan hukum Islam dengan benar, juga berpotensi mampu menawarkan sejumlah alternatif hukum (solusi). Ini karena, di dalam ushul fiqh diajarkan kemampuan untuk mengkaji satu persoalan dari berbagai sudut pandang (perspektif).
Kaidah-kaidah ushul fiqh yang awal kemunculannya dipelori oleh Imam Syafi’i (pendiri madzhab Syafi’iyah yang mayoritas diikuti umat Islam Indonesia) memberikan rambu-rambu bagaimana hukum Islam senantiasa mendatangkan kemaslahan dan kemudahan bagi umat Islam.
Ulama-ulama pesantren yang namanya cukup populer di Indonesia –baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup---pada umunya cukup mendalam dalam penguasaan ilmu ushul fiqh. KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha), yang belakangan sangat populer di jagat dakwah di negeri itu, salah satu ilmu yang beliau kuasai dengan baik adalah ilmu ushul fiqh.
Kepopuleran Gus Baha di media sosial–bahkan dinyatakan sebagai da’i terpopuler 2020--, bukan karena hasil kerja tim piar yang bekerja keras untuk mempopulerkan (membranding) Gus Baha. Tapi, lebih karena konten-konten ngaji kitak kuning yang beliau gelar di pesantren (baik di Bantul atau di Narukan, Rembang).
Mengapa konten itu sangat disukai? Pada umumnya muhibbin (pecinta) Gus Baha mengatakan, ngaji dengan Gus Baha jadi adem. Beragama menjadi rileks. Menyenangkan. Rileks, menyenangkan ini, sama sekali tidak berkonotasi negatif seperti gojekan, guyonan atau ketidakseriusan.
Pengajian Gus Baha serius. Sangat berisi. Penuh ilmu. Namun, justru karena itu, akhirnya mampu menampilkan banyak pilihan. Karena banyak pilihan itulah, akhirnya menjadi rileks. Banyak pilihan ini, adalah barakah (efek positif) dari penguasaan Gus Baha di bidang ushul fiqh.
Memang, untuk menjadi ulama sekaliber Gus Baha, tidak hanya ilmu ushul fiqh yang harus dikuasai. Banyak sekali yang lainnya. Namun, ushul fiqh menjadi salah satu komponen pentingnya. Dan, Gus Baha pun berkampanye agar pesantren-pesantren salaf menguatkan kajiannya dalam ilmu ushul fiqh. Ilmu ini agar secara sungguh-sungguh diajarkan kepada para santri.
Pesantren-pesantren besar dan istiqomah tafaquh dien, seperti Pesantren Sarang, Rembang, Pesantren Ploso dan Lirboyo Kediri, Pesantren Sidogiri Pasuruan dan Langitan Tuban, pasti secara serius mengajarkan ushul fiqh.
Sanad Ilmu
Yang spesifik lagi dari pesantren salaf adalah soal sanad ilmu. Pesantren salaf sangat menekankan pentingnya sanad (jalur memperoleh ilmu) dalam memahami agama. Untuk menjaga sanad ilmu, maka belajar agama, harus dengan guru. “Belajar agama tanpa guru, maka gurunya setan”. Ungkapan tersebut, sangat populer di kalangan pesantren salaf.
Apa maknanya? Belajar tanpa bimbingan guru, seseorang berpotensi memahami agama berdasarkan hawa nafsunya. Hawa nafsu itulah yang diistilahkan dengan setan. Orang tersebut mengambil keputusan-keputusan hukum Islam sesuai dengan subjektivitas dirinya. Sangat personal. Bias kepentingan pribadi.
Ini yang harus dihindarkan. Agama itu titah Tuhan. Maksud dan kehendak yang terkandung dalam titah itu, tentu hanya Tuhan-lah yang paling tahu. Orang yang dibimbing agar mengetahui maksud dari titah itu adalah para rasul. Dalam konteks Islam, Rasulullah Muhammad SAW.
Kemudian, Rasulullah menjelaskan maksud atau pemahaman itu kepada para sahabat. Yakni, generasi pertama yang hidup sezaman dan pernah bertemu langsung dengan Rasulullah.
Para sahabat mengajarkan kepada para pengikut atau generasi di belakangnya (tabi’in). Tabi’in mengajarkan kepada generasi berikutnya (tabi’ut tabi’in) dan seterusnya hingga sampai kepada para ulama sekarang, termasuk yang di Indonesia.
Itulah sanad ilmu. Intinya, sanad ilmu ini untuk menjaga akurasi. Otentisitas. Dalah hal apa? Dalam hal menangkap atau memahami makna, maksud dan tujuan dari titah Allah yang tertuang dalam nash-nash Al-Qur’an. Sanad ilmu juga menjelaskan/menceritakan perihal perilaku, sikap atau respon nabi dan para sahabat ketika menghadapi suatu masalah. Untuk kemudian, perilaku, sikap atau respon nabi dan para sahabat itu dijadikan metode yang diterapkan ketika para ulama pesantren menghadapi suatu masalah dan harus dipecahkan.
Para ulama pesantren salaf, seperti Gus Baha, akan hafal di luar kepala sanad ilmu yang dimiliki. Sanad ilmu itu, nyambung dengan kokoh ke atas hingga kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Sanad ilmu tidak boleh terputus (munqathi’). Dengan sanad yang terus nyambung itulah diharapkan pemahaman akan titah Allah (nash Al Qur’an) tidak salah. Juga, tidak salah respon atau salah sikap ketika menghadapi persoalan di tengah-tengah masyarakat.
Mengapa sampai sedemikian rumit? Ini karena, teks yang tertera di dalam nash Al-Qur’an dan al Hadist terkadang tidak cukup kalau hanya dipahami secara tektual (harfiah) saja. Ada pemahan terntentu, makna tertentu, maksud tertentu yang harus diperoleh (diketahui) melalui penjelasan langsung. Yakni, dari jalur sanad yang bersambung seperti saya paparkan di atas.
Juga, tentang sikap atau respon nabi dan para sahabat ketika menghadapi suatu masalah. Sikap itu, sering kali tidak linier (sejalan) dengan logika manusia pada umumnya. Ada logika-logika nubuwwah (cara berpikir Nabi) yang paradoks (bertentangan) dengan logika orang umum. Nabi dan juga ditiru para sahabat, punya ukuran atau cara berpikir yang lebih mengandung kebenaran hakiki. Dan itu, hanya bisa dipahami dengan jalur sanad. Bukan logika!
Namun patut disayangkan, tradisi memelihara sanad Ilmu di kalangan pesantren salaf sering disalahpahami dengan dinarasikan sebagai bentuk kejumutan. Taqlid buta. Dan, kelompok yang mensalahpahami tradisi memelihara sanad ilmu itu, sering mengkampanyekan untuk memahami nash-nash Al-Qur’an dan al Hadits secara langsung. Padahal, perangkat yang mereka miliki untuk memahami nash secara langsung sangat minim.
Dari kenekatan dan kepedean yang berlebihan dalam memahami teks Al-Qur’an dan Hadist secara langsung itulah, sering kita jumpai kekonyolan-kekonyolan. Mereka memberikan hukum Islam dengan asal-asalan, semisal kehalalan kencing unta yang viral beberapa tahun lalu. Juga, pemahaman soal jihad yang selalu dimaknai perang fisik kepada orang yang dianggap kafir.
Kesalahan dan kedangkalan memahami maksud nash itulah yang menjadi pemicu lahirnya sikap intoleran, radikal, dan yang lebih ekstrim adalah terorisme.
Akhmad Zaini
Mantan jurnalis, kini menjadi pendidik di IAINU Tuban