Flawed Democracy, Bergeser Setapak untuk Maju Jauh ke Depan
Niat baik Presiden Joko Widodo membuat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Omnibus Law) yang bertujuan memperkuat “Daya Saing Investasi” di tengah perang dagang dan pandemi Covid-19 tidak seperti diharapkan. Bahkan, Omnibus Law berpotensi menimbulkan konflik politik nasional.
Lihat siapa yang melakukan aksi protes, bukan hanya pekerja, tetapi pelajar, mahasiswa, pemuda, intelektual, pegiat hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup, ulama, politisi di daerah dan politisi di pusat.
Kenapa hal itu bisa terjadi?
Mudah jawabannya. Cakupan UU itu sangat luas. Salah satu contohnya, pesantren menjadi sasaran UU tersebut. Padahal, pesantren bukan bagian dari dunia usaha. Tidak aneh kalau Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah melakukan protes.
Kaum santri jadi bertanya-tanya, apakah proses “liberalisasi agama” sedang dimulai?. Tidak bukan?
Gelombang unjuk rasa yang disertai aksi kekerasan terjadi di berbagai kota, cukup merata di seluruh Indonesia. Bukan hanya para pekerja yang berkepentingan, tetapi juga elemen-elemen yang mewakili berbagai kepentingan, termasuk kepentingan pemerintah daerah.
Gelombang besar unjuk rasa yang disertai dengan kekerasan itu, memaksa Polri melakukan tindakan pencegahan dan bahkan penangkapan terhadap para aktivis.
Beberapa tokoh nasional mengkritisi terhadap langkah Polri tersebut sebagai tindakan yang melawan demokrasi. Akibatnya kritik terhadap pemerintah meluas di luar substansi UU Cipta Kerja Omnibus Law. Bahkan ada tokoh yang menganggap demokrasi Indonesia merupakan demokrasi yang cacat (flawed democracy).
Namun ada yang aneh, pemerintah dituduh komunis, padahal Omnibus Law itu dekat dengan ekonomi bebas.
Suatu hal lain yang perlu digarisbawahi adalah mulai munculnya wacana anjuran ketidakpatuhan sosial terhadap pemerintah yang merefleksikan keputusasaan karena suara rakyat tidak didengar. Dan suara itu berasal dari kampus.
Kebetulan ada beberapa negara yang mengalami unjuk rasa besar yaitu Belarus, Kyrgistan dan Thailand. Untuk pertama kalinya rakyat menuntut monarkhi konstitusional, sehingga negara tetangga tersebut sedang mempertimbangkan “UU Darurat “.
Indonesia tidak perlu mengikuti jejak Thailand karena bisa mengurangi reputasi pemerintah Indonesia.
Keresahan yang terkait dengan UU Cipta Kerja masih besar sehingga perkiraan unjuk rasa akan berhenti pada 28 Oktober 2020 perlu ditimbang lagi.
Yang perlu dipikirkan adalah kemelut yang timbul akhir-akhir ini dicari jalan keluarnya secepatnya, mengingat kondisi yang rentan dan perkembangan negara tetangga yang memanas seperti disebut di atas sedikit banyak akan bisa berpengaruh.
Gagasan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) layak dipertimbangkan dengan membatasi substansinya pada soal yang terkait “tenaga kerja, investasi, birokrasi“.
Bergeser setapak, untuk maju jauh ke depan. Omnibus memang diperlukan oleh Indonesia.
Dr KH As'ad Said Ali
(Pengamat sosial politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2015, Tinggal di Jakarta).
Advertisement