Fit and Proper Test, Nurul Ghufron: SP3 Yes, Tapi Kasus Tertentu
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Nurul Ghufron, Rabu, 11 September 2019 akan menjalani fit and proper test, rangkaian tes calon pimpinan (Capim) KPK di Gedung DPR RI.
Nurul Ghufron adalah satu dari 10 capim KPK akan mengikuti tahapan paling akhir seleksi lembaga anti rasuah ini di hadapan Komisi III DPR RI.
"Saya hanya mohon doa dan dukungan kepada masyarakat Indonesia. Sahabat-sahabat semuanya. Saya makhluk lemah, banyak kekurangan dan khilaf. Semoga Allah memguatkan, memandaikan, mencerdaskan, menerangkan agar saya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan para anggota dewan," katanya, Rabu, 11 September 2019.
Sebagai kader NU, Ghufron juga memohon ridho kepada ulama, masyayikh, kiai, gus, lora, ustadz dan segenap jamaah Nahdlatul Ulama (NU) untuk memberikan dukungan. "Tak lupa saya mohon ridho kepada segenap masyayikh, kyai, gus, lora, ustadz dan segenap jamaah NU, semoga Allah meridhoi ikhtiar dan hajat saya ini," katanya.
Materi fit and proper test, tentu tidak jauh dari makalah yang telah dibuat para Capim KPK. Dalam makalah yang dibuat Nurul Ghufron, ia menyoroti tentang kewenangan KPK dalam mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian penyidikan perkara) tindak pidana korupsi.
Menurut Ghufron, setuju KPK mempunyai kewenangan mengeluarkan SP3, namun hanya kasus-kasus tertentu. Sebelumnya, kewenangan ini berbeda dengan aparat penegak hukum lain. KPK dalam UU KPK sebelumnya tidak memiliki kewenangan mengeluarkan SP3.
"Saya menilai SP3 adalah nilai sistem peradilan pidana yang religius, bahwa kita bernegara hukum pancasila. Negara hukum yg sadar bahwa sebagai manusia kita adalah kholifah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Sementara yang maha benar hanyalah Allah. Karena itu pemeriksaan pengadilan dengan segala aturan dan sop-nya utk mencari kebenaran scr manusiawi, yang waaupun diupayakan secara maksimal masih akan mungkin salah," katanya.
Lanjut Ghufron, sebagai manusia yang diperintahkan mencari kebenaran, harus tetap diupayakan dengan tetap sadar bahwa upaya manusiawi itu harus dibuka ruang khilaf-khilafnya.
"Untuk itu perlu ada ruang "pembuangan sampah" menjadi kotoran yang terikut supaya tidak sebah sistemnya, namun hanya kasus dengan keadaan tertentu saja yang bisa diterbitkan SP3," katanya.
Kata Ghufron, di hadapan negara hukum, setiap warga harus diperlakukan sama. Salah satunya di hadapan hukum pidana yang itu merupakan kategorisasi perbuatan apa yang boleh dan terlarang dengan ancam pidana.
"Maka tidak boleh ada perlakuan yang berbeda terhadap apa yang dikategorikan sama oleh negara. Dalam hal ini tindak pidana korupsi, itu di kategorikan sama oleh negara berdasar UU 31 tahun 1999 jo 20 tahun 2001. Siapa pun aparatnya, tidak boleh ada perlakuan yang berbeda. Kalau aparatnya berbaju coklat bawa pentungan, kalau berbaju putih bawa sempritan, kalau bertopeng bawa M16 itu adalah diskriminasi," katanya.
Ditambahkan Ghufron, SP3 adalah hal yang wajar dan alamiah bagi sebuah lembaga penegak hukum. Dalam Pasal 102 KUHP, penegak hukum diberikan kewenangan kepada penyidik atau penuntut untuk memberikan penghentian kasus ketika tidak cukup bukti. Sementara, dalam UU 32 tahun 2002 tentang KPK, pada pasal 40 tidak ada kewenangan untuk penghentian kasus tersebut.
"Makalah saya menyampaikan bahwa penghentian penyidikan itu adalah mekanisme yang alami dalam sebuah sistem, itu tidak mesti setiap penyidikan akan berakhir dan menghasilkan berkas perkara berupa tuntutan dan pemeriksaan di sidang. Misalnya, dalam sistem tubuh manusia apa yang dikonsumsi ada yang menghasilkan energi, tapi ada juga yang menghasilkan sampah yang perlu dibuang menjadi kotoran," kata Ghufron menganalogikan.
Namun demikian, Ghufron membantah terlibat dalam arus pro dan kontra terhadap revisi UU KPK. Menurutnya, pendapat SP3 bagi KPK ini jauh sebelum UU KPK dibentuk sudah pernah diusulkan.
"Pendapat ini bukan pendapat baru saya. Saya sudah menulis ini dalam tesis pada Desember 2003. UU KPK lahir pada Agustus 2003 dan kelembagaan KPK belum lahir belum dibentuk. Baru, setahun kemudian KPK dibentuk. Sehingga pandangan saya ini bukan pandangan yang ikut arus pro kontra perubahan UU KPK," katanya.