Fiqh Siyasah dan Negara Bangsa
Oleh Dr. H. Ahmad Fahrur Rozi*
A. Pengertian Fiqh Siyasah
Fiqh Siyasah terdiri dari dua kata berbahasa Arab, fiqh dan siyasah. Agar diperoleh pemahaman yang pas apa yang dimaksud dengan Fiqh Siyasah, maka perlu dijelaskan pengertian masing–masing kata dari segi bahasa dan istilah. Fiqih Siyasah (الفقه السياسي) merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu kata fikih (الفقه) dan al-siyâsî (السياسي). Secara etimologi, fikih merupakan bentuk masdhar (gerund) dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang bermakna faham. Fiqih berarti pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan tertentu.
Secara terminologis (istilah), menurut ulama+ulama syara, fiqh adalah pengetahuan tentang hukum+hukum yang sesuai dengan syara mengenai amal perbuatan yang diperoleh dari dalil yang tafshil (terinci,)
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”.
Siyasah berasal dari kata bahasa Arab yang berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah juga berarti pemerintahan dan politik, atau menuntut kebijaksanaan. Siyasah juga dapat diartikan administrasi (إدارة) dan manajemen. Jadi siyasah menurut bahasa mengandung beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, membuat kebijaksanaan pemerintahan dan politik. Artinya, mengatur, mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai suatu tujuan.
Secara terminologis, siyasah dalam lisan al-Arab berarti mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Dalam al-Munjid, siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siyasah adalah ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam dan luar negeri serta kemasyarakatan yakni mengatur kehidupan umum atas dasar keadilan dan istiqamah. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan siyasah sebagai undang-undang yang diletakkan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan.
Di dalam Alquran tidak kurang dari 19 ayat yang berkaitan semuanya dengan kata fiqh dalam bentuk kata kerja, seperti dalam surat at-Taubah ayat 122, yang artinya sebagai berikut :
“Hendaklah dari tiap-tiap golongan mereka ada serombongan orang yang pergi untuk memahami (mempelajari) agama agar memberi peringantan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Disebutkan dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim :
قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ، عَنِ النبيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، قالَ: كَانَتْ بَنُو إسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأنْبِيَاءُ، كُلَّما هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وإنَّه لا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قالوا: فَما تَأْمُرُنَا؟ قالَ: فُوا ببَيْعَةِ الأوَّلِ، فَالأوَّلِ، وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فإنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ.
Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- “Dahulu Bani Isra’il dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia akan digantikan oleh nabi (lain). Namun sungguh tidak ada nabi lagi sesudahku, dan sepeninggalku akan ada para khalifah lalu jumlah mereka akan banyak.”(Para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan untuk kami?”Beliau menjawab, “Tunaikanlah baiat kepada (khalifah) yang pertama kemudian kepada yang berikutnya, lalu penuhilah hak mereka, dan mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka tentang apa yang mereka pimpin.
Fiqh Siyasah adalah fiqh yang berkaitan dengan cara mengatur dan mengurus manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara dengan membimbing mereka kepada kemaslahatan dan menjauhkannya dari kemudharatan sekaligus menegaskan bahwa wewenang membuat segala hukum, peraturan dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pengaturan kepentingan negara dan urusan umat guna mewujudkan kemaslahatan umum terletak pada pemegang kekuasaan (pemerintah atau ulil amri). Karenanya, segala bentuk hukum, peraturan dan kebijaksanaan siyasi yang dibuat oleh pemegang kekuasaan bersifat mengikat. Ia wajib ditaati oleh masyarakat selama produk itu secara substansial tidak bertentangan dengan jiwa syariat.
B. Obyek Kajian Fiqh Siyasah
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan objek kajian fiqh siyâsah, namun secara garis besar, objek kajian fiqh siyasah adalah :
Peraturan dan perundang-undangan Negara sebagai pedoman dan landasan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan ummat
Pengorganisasian dan pengaturan untuk mewujudkan kemaslahatan
Hubungan antar penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam mencapai tujuan negara.
C. Metode Kajian Fiqh Siyasah
Metoda yang dipergunakan untuk mempelajari fiqh siyasah adalah ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah. Hal ini, sama dengan fiqh-fiqh lain. Penerapan dalil kulliy (umum) memiliki kandungan universal tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Metode tersebut tentunya harus dilanjutkan sebagai aplikasi yang dapat menyantuni masalah yang ramah mempertimbangkan kondisi dan situasi (maslahah). Membumi karena mampu mengatasi problem kemanusiaan yang bermoral agama (secara-horisontal), secara vertikal menyesuaikan nilai-nilai ketuhanan.
Menggunakan metoda ushul fiqh dan qawa'id al- fiqhiyyah dalam bidang siyasah syar'iyyah (fiqh siyasah) lebih penting dibanding dengan fiqh-fiqh lain, karena problem siyasah hampir tidak diatur secara terperinci oleh syari'at Al-Qur'an maupun al-Hadits. Misalnya Abdul Wahab Khallaf, memandang ayat-ayat Al-Qur'an yang secara implisit memiliki konteks siyasah (problem politik) hanya beberapa ayat. 10 ayat berhubungan dengan fiqh dustury, 25 ayat dengan dawliy dan 10 ayat lagi berhungan dengan fiqh maliy. Mirip halnya dengan fiqh munakahat ataupun muamalah yang menggunakan metoda secara langsung kepada al-Qur'an dan al-Hadits. Baru menggunakn pendektan ijtihad. Secara umum dalam fiqh siyasah diperlukan metoda-metoda, seperti: (1) al-ijma'; (2) al-qiyas (3) al-maslahah al-mursalah (4) fath al-dzariah dan sadzu al-dzari'ah (5) al-'adah (6) al-istihsan (7) kaidah- kaidah fiqhiyyah.
D. Manfaat Mempelajari Fikih Siyasah
Manfaat mempelajari fiqh siyasah adalah dapat memahami bagaimana menciptakan sebuah system pengaturan negara yang islami dan dapat menjelaskan bahwa Islam menghendaki terciptanya sebuah sistem politik yang adil guna merealisasikan kemaslahatan umat, serta dapat memperoleh pengetahuan yang memadai tentang politik Islam, sehingga dapat memahami bagaimana menyikapi dinamika kehidupan dan bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup sesuai tuntunan Islam, serta mampu merealisasikan kemaslahatan bersama dalam kehidupan.
E. Negara Bangsa
Negara kebangsaan (bahasa Inggris: nation state) adalah suatu istilah politik yang berarti warga negara yang tinggal di suatu negara juga merupakan bangsa yang sama. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan—atau nasionalisme—yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya.
Setiap individu yang terdapat di muka bumi ini tidak terlepas dari sebuah negara dimana ia berafiliasi kepadanya, sehingga ia berkewajiban untuk menghormati dan bahkan membelanya dengan segala kemampuannya walaupun harus mengorbankan seluruh jiwa dan raga. Konsep negara bangsa (nation state) merupakan salah satu konsep politik dari sebuah state (negara) atau kelompok masyarakat yang secara bersama-sama terikat dengan loyalitas dan solidaritas umum. Pengertian ini menjelaskan nation state merupakan sebuah entitas teritorial dimana negara sama besarnya atau coextensive dengan bangsa. Nation State di dunia islam kontemporer ditegakkan dengan semangat nasionalisme atau semangat yang disertai dengan kesadaran tinggi untuk membangun sebuah negara bangsa. Perdebatan tentang nation state terdengar asing ketika dibenturkan dengan etik Alquran dan latar historis Islam (sejarah).
Fakta historis menunjukkan bahwa sepanjang hidup Nabi Muhamad SAW adalah Penguasa hampir seluruh semenanjung Arabia, namun Beliau tidak pernah menyebut dirinya sebagai penguasa. Pada masa itu istilah negara Islam (daulat al-Islam) belum dikenal. Piagam Madinah merupakan cikal bakal terbentuknya negara bangsa (nation state) dan menempatkan Nabi Muhammad SAW tidak sekedar sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin negara. Oleh karena itu nasionalisme dalam perspektif khasanah Islam klasik sebenarnya dapat dilihat pada pembentukan Piagam Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bersama penduduk Madinah.
Menurut penelitian beberapa akademisi, di antaranya John L. Esposito dan Muhammad Husain Haikal, tidak ada satu pun konsep mengenai negara dalam Islam yang disepakati oleh semua sepanjang sejarah. Islam hanya memberikan instrument etis, namun tidak memberikan rincian detilnya bagaimana bentuk suatu negara dan bagaimana proses mengelola kelembagaannya.
Banyak individu Muslim yang menyatakan bahwa Islam itu agama yang lengkap; ajarannya mencakup semua hal dalam bidang kehidupan, termasuk masalah politik. Hal ini harus diakui bahwa memang Alquran telah memberikan ajaran yang lengkap mengenai kehidupan manusia. Namun yang perlu dicatat adalah, ajaran-ajaran tesebut bersifat umum. Dasar-dasarnya telah ada, tapi konseptualisasi konkretnya perlu mendapat sentuhan interpretasi atau ijtihad dari kaum Muslim. Dalam membicarakan masalah negara misalnya, Alquran tidak memberikan konsep mengenai negara. Islam tidak memberikan petunjuk langsung dan rinci bagaimana umat Islam mengurus persoalan negara. Negara dalam Islam masih berupa petunjuk sebagai instrument etis. Bagaimana bentuk negaranya, sistem pemerintahannya, proses pelaksanaannya, dan lain-lain tidak dijelaskan. Hal ini memungkinkan terus dibukanya ijtihad politik di dalam diri umat Islam. Dan dalam melakukan ijtihad tersebut, kaum Muslim umumnya akan melihat sejarah Islam sebagai referensi.
Konsep negara dalam Islam secara umum dari masa lalu berubah rubah bentuknya dari teokrasi, republik, monarki absolute dan monarki konstitusional. Pada era pasca nabi Muhammad, Islam menggunakan bentuk Musyawarah yang mirip dengan republik saat ini dengan berbagai perangkat dan ruh demokrasi di dalamnya. Dapat dibilang, sebagaimana pendapat dari beberapa pemikir besar Islam, republik dan demokrasi merupakan konsep bentuk negara paling ideal bagi umat Islam, dimana musyawarah, rotasi kepemimpinan, partisipasi politik, persamaan, dan lain-lain diterapkan.
Hasil pembacaan dalam khazanah Islam terkandung konsep yang memberikan fondasi bagi Muslim kontemporer untuk mengembangkan model demokrasi yang otentik dalam sebuah bentuk negara republik sebagaimana dianut oleh mayoritas masyarakat dunia pada saat ini.
Malang , 24 Desember 2022
*) Penulis adalah Ketua PBNU, Wasekjen MUI, Pengasuh Pesantren Annur 1 Bululawang Malang, Jawa Timur.
Advertisement