Film Propaganda, dari Jepang ke Jejak eks-HTI
Sepasukan tentara Jepang turun dari mobil disambut warga di suatu desa yang ramah. Mereka tampak bahagian menyambut 'saudara tua' dengan wajah berbinar. Seorang petani berkopiah kumal didampingi isterinya, dengan rambut disasak ke belakangan tanpa kerudung riang. Sedang para tentara yang datang tanpa wajah angker.
Ya, pada mulanya, kedatangan Jepang ke Indonesia disambut baik oleh rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan nasib setelah dijajah Belanda berabad-abad. Jepang datang dengan beragam propaganda untuk menarik hati dan simpati rakyat Indonesia. Berbagai propaganda mereka lancarkan demi menambah kekuatan untuk menghadapi Sekutu dalam Perang Dunia II.
Berita Film di Djawa diboeat oleh Nippon Eiga Sha Djawa, demikian di antara jejak film propaganda yang pernah ada di Indonesia. Berjudul "Serahkan Padi!", dibuat pada awal pendudukan Jepang di bumi Nusantara, pada 1942.
Berderet judul film propaganda Jepang dibikin untuk memengaruhi pola pikir masyarakat di wilayah yang kemudian disebut Republik Indonesia. "Di Desa" disebutkan sebagai Goebahan 'Persafi' Nippon Eiga Sha Djakarta, melibatkan pada pemain pribumi, seperti Moh Mochtar, ET Effendi, Garkiah, Epen, Endjek, skenario Djek, pimpinan RSW Palindih, kamera Wong See Hwa, suara Wong Pak Soen, ilustrasi gambar HB Angin dan musik digarap Orkest Persafi.
Propaganda Jepang seperti Gerakan 3A, sebutan saudara tua dan sebagainya. Jepang mengobarkan Perang Asia Timur Raya (Perang Pasifik) melawan negara-negara Barat guna membebaskan seluruh Asia dan penjajahan Barat.
Propaganda itu dibuat Jepang untuk mendapat dukungan rakyat dan tokoh Indonesia. Propaganda awal Jepang, Gerakan Tiga A (3A): Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia, Nippon Cahaya Asia. Semboyan yang bikin hati berbunga-bunga bagi rakyat Indonesia, didirikan pada 29 April 1942, tepat dengan hari nasional Jepang, kelahiran (Tencosetsu) Kaisar Hirohito.
Kepala Departemen Propaganda ISendenbu) Jepang, Hitoshi Shimizu, menunjuk tokoh pergerakan nasional Mr Syamsudin (Raden Sjamsoeddin) sebagai ketua. Seorang Parindrist, anggota Partai Indonesia Raya dari Jawa Barat. Sedang Barisan Pemudanya dipercayakan kepada Sukarjo Wirjopranoto yang juga seorang Parindrist.
Gerakan ini meliputi bidang pendidikan, dapat memenuhi sasaran menampung pemuda-pemuda dalam jumlah besar. Sekolah-sekolah berjalan menurut sistem pendidikan Jepang. Pada Mei 1942, Gerakan Tiga A mendirikan Sasan A aeinen Kunrensyo (Pendidikan Pemuda Tiga) di Jatinegara.
Para pemuda, remaja berusia 14-18 tahun, dididik berupa kursus kilat, setengah bulan. Cara pendidikannya cukup unik. Peserta harus bangun pagi-pagi buta, kemudian berolah raga, masak di dapur, mengurus kebun dan menyapu.
Memasuki siang hari, mereka berlatih olah raga Jepang, seperti sumo, jiu jistsu, adu perang dan sebagainya. Mereka dilatih berdisiplin, sopan dan tertib dalam pekerjaan. Malam harinya, mereka dilatih bahasa Jepang.
Bung Hatta dalam Memoir (1979) mencatat, Gerakan Tiga A umumnya dibenci orang. Karena gerakan ini lebih banyak "menggolong" daripada menolong.
Ada subseksi Islam: Persiapan Persatuan Islam. Dipimpin tokoh pergerakan Abikusno Tjokrosuyoso. Rakyat tak bersimpati karena gerakan ini terlalu menonjolkan Jepang dan bukan gerakan kebangsaan.
Bagi kalangan intelektual yang bergerak di dalamnya, gerakan ini dianggap kurang menarik karena tidak ada manfaat dalam perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan.
Akhir 1942, Gerakan Tiga A dibubarkan dan propaganda Jepang tak berhenti. Begitu banyak poster propaganda yang ditempelkan pada dinding-dingin bangunan. Bung Karno pun menjadi alat propaganda Jepang. Ia pun menyanyi lagu Jaesjio (Yaesyo) penuh semangat.
Umat Islam pun marah
Pada 2008, umat Islam mendidih darahnya. Keringat pun mengucur deras. Ketika itu, di Belanda muncul film "Fitna" (Hasutan), menggambarkan Nabi Muhammad Saw secara salah. Film propaganda bikinan Geert Wilders, pimpinan Partij voor de Vrijheid/PVV (Partai untuk Kebebasan), yang rasis.
Dalam film Fitna, jelas menghina, melecehkan dan memprovokasi pemeluk agama Islam. Pada bagian akhir film ini dimunculkan gambar kartun Nabi Muhammad Saw dengan surban berbentuk bom di kepala, bersumber dari kartun Jyllands-Posten. Setelah beberapa detik disugestikan: bom itu meledak. "Itu bukan suara bom meledak, melainkan menggambarkan Islam seperti kilat dan petir di Belanda," kata Wilders, berdalih setelah adareaksi umat Islam.
Kita pun tahu, pada akhirnya, Arnoud van Doorn, produsernya, menyatakan masuk Islam setelah bertahun-tahun berpropaganda melawan ajaran Islam. "Saya mendapat diriku di antara hati-hati yang beriman," kata van Doorn, dikutip Saudi Gazette, 18 Oktober 2013.
Kita pun menunggu komitmen Van Doorn, sebagai penebusan dari kesalahannya itu, membikin suatu film yang menunjukkan esensi sejati dari Islam dan kepribadian yang benar dari Nabi Muhammad Saw -- figur yang diperingkatkan pada nomor wahid oleh Michael Hart dalam Seratus Tokoh Paling Berpangaruh dalam Sejarah.
Propaganda eks-HTI
Dalam suasana hangat 1 Muharam 1442 H, pekan lalu, sekelompok eks-Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merilis film propaganda, "Jejak Khilafah". Para pendukung Khilafah Islamiyah ala Taqiyyuddin an-Nabhani ini, hendak menebar fakta sejarah yang dibelokkan. Azyumardi Azra berseru: ini upaya pembuatan sejarah yang dipaksakan.
Sejarawan Peter Carey pun menolak menjadi narasumber dalam pembuatannya. Akhirnya, mereka pun menciptakan sejarawan sendiri: Nicko Pandawa bersama Komunitas Literasi Islam JKDN. Film ini ditayangkan live di YouTube channel Khilafah Channel pada Kamis 20 Agustus 2019 pukul 09.00 WIB. Tapi, akhirnya diblokir oleh aplikasi tersebut.
Propaganda dalam film "Jejak Khilafah di Nusantara" bercerita tentang hubungan Indonesia yang berkaitan dengan khilafah Islamiyah, terutama pada masa Khalifah Utsman. Dalam film propaganda itu, hendak menyajikan film dalam "bentuk dokumenter dan diangkat dari data-data otentik" yang tercantum di dalam skripsi milik Nicko Pandawa sendiri.
Namanya juga propaganda, mereka memanipulasi sejarah yang dibuat seromatis mungkin untuk mengelabuhi masyarakat Muslim yang tak paham sejarah. "Mana ada jejak khilafah dengan Indonesia. Abasiyah itu bukan khilafah itu dinasti. Umayah juga dinasti, Otoman juga dinasti. Ini terjadi manipulasi fakta dan diromantikkan saja". Penjelasan Azyumardi Azra, menjernihkan pikiran sebagian besar umat Islam di Indonesia.
Begitu pun, para pengusung khilafah itu terus mendengungkan propagandannya bahwa khilafah adalah solusi dari segala solusi persoalan dunia. Bahkan untuk urusan Covid-19, misalnya, mereka menyatakan jika solusi terbaik adalah ketika sistem pemerintahan di Indonesia diubah menjadi khilafah ala mereka.
Peter Carey mencoba meluruskan klaim adanya hubungan antara Kekhalifahan Utsmaniyah dan Kesultanan-kesultanan Islam di Jawa. Pada 16 Agustus 2020, Carey mengirimkan surel kepada ahli sejarah hubungan Utsmaniyah-Asia Tenggara, Dr Ismail Hakki Kadi, yang dibalas pada 18 Agustus 2020 perihal klaim-klaim yang tersebut di atas.
Dari surel itu, diketahui bahwa tidak ada bukti dokumen negara Islam pertama di Jawa. Tak ada bukti pada dokumen-dokumen di Arsip Turki Utsmani yang menunjukkan bahwa ‘negara’ Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak (1475-1558), utamanya raja pertamanya, Raden Patah (bertakhta, 1475-1518), memiliki kontak dengan Turki Utsmani.
Peter Carey menegaskan, kesultanan yang ada di Pulau Jawa tidak dianggap sebagai vassal atau naungan Turki Utsmani, termasuk juga bukan wakil sultan-sultan Utsmani di Jawa. Selain itu, tidak ada bukti yang menunjukkan hubungan Turki Utsmani dengan Kesultanan Yogyakarta.
Ya, tak ada bukti yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Turki Utsmani dan Kesultanan Yogyakarta (didirikan 1749) dalam hal hierarki sebagaimana dipropagandakan dalam karya audio visual itu.
Bangsa kita telah mengenal makna propaganda sejak lama. Penetrasi Jepang yang kejam itu, dengan propaganda pernah kita lahab dengan riang. Demikian pula di masa Perang Dingin kita pun akrab dengan Agitasi dan Propaganda disingkat Agitprop -- istilah khas Komintern Internasional.
Kini, sekelompok orang yang meski organisasinya telah dinyatakan dibekukan di negeri ini -- Hizbut Tahrir Indonesia -- mereka tetap menggeliat. Mencari celah-celah kesadaran yang rapuh, untuk memengaruhi masyarakat dan publik secara terbuka dengan film propagandanya itu.
Betapa pun propaganda memang 'kenyataan baru' yang dibuat untuk memengaruhi. Mengelabuhi publik yang berada pada kesosongan wawasan dan pengetahuan. Memelajari sejarah tak bisa diwujudkan dengan ketergesaan. Dibutuhkan intensitas dan keseriusan. Pada waktu yang lain, propaganda diproduksi terus-menerus, mencari keterlenaan kita dalam memahami fakta sesungguhnya.
Kebohongan yang diulang berkali-kali niscaya jadi 'kebenaran'. Demikianlah propaganda.
Adakah kita siap untuk tidak marah? (Riadi Ngasiran)