Limbah Ampas Aren dan Kulit Udang Bisa Jadi Filamen 3D Printing
Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) berhasil mengubah limbah ampas pati aren dan kulit hewan udang-udangan (Crustacea) menjadi biodegradable filamen untuk 3D printing.
Ghozi Nashiruddin, mahasiswa Departemen Teknik Material yang berhasil menggagas ide kreatif itu mengatakan teknologi 3D printing patut menjadi perhatian dunia di era Revolusi Industri 4.0. Teknologi ini mampu mencetak berbagai material dalam bentuk 3D dari sebuah desain digital yang dibuat sebelumnya.
“Teknologi 3D printing memiliki kegunaan yang luas mulai dari bidang arsitektur, militer, transportasi, antariksa, hingga medis,” kata Ghozi Nashieuddin.
Menurutnya, Indonesia dikaruniai keanekaragaman sumber daya alam (SDA) material alami. Sayangnya, terkadang SDA ini tidak dimanfaatkan secara optimal. Ia mencoba menggali potensi alam lewat inovasi ini.
"Kandungan selulosa pada ampas pati aren cukup tinggi yakni 76,35 persen dari beratnya. Selulosa tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan polimer alam dalam bentuk Poli Asam Laktat (PLA). PLA sendiri merupakan bahan filamen 3D, walau biasanya bukan diolah dari limbah,” kata mahasiswa berkacamata ini.
Sedangkan limbah kulit hewan Crustacea seperti udang, kepiting, dan rajungan, lanjut Ghozi, memiliki kandungan zat kitosan. Zat ini yang memiliki sifat seperti dapat terbiodegradasi, tak beracun, dan mampu mengadsorpsi.
Jumlahnya juga sangat melimpah di Indonesia untuk itu pengolahan kembali menjadi salah satu upaya agar tidak terjadi penumpukan limbah.
Zat selulosa dan kitosan inilah yang kemudian dipadukan untuk membuat filamen 3D printing yang ramah lingkungan. Karya yang pernah dilombakan pada ajang Material and Metallurgical Paper Competition (MPC) 2019 ini mampu mengurai seiring berjalannya waktu.
“Karena tema perlombaan saat itu material eco-friendly, maka saya menggunakan bahan-bahan yang bisa terurai sewaktu-waktu,” tuturnya.
Meskipun dapat terurai sewaktu-waktu, Ghozi mengungkapkan, zat kitosan yang digunakan dalam filamen berpengaruh pada peningkatan kekuatan filamen. Selain itu, kitosan juga dapat meningkatkan ketahanan filamen terhadap bakteri.
Meski demikian, Ghozi tidak menampik bahwa masih memiliki kekurangan. Contoh terkait pencampuran antara PLA-Kitosan yang kadang menimbulkan penurunan kualitas dari filamen tersebut. Proses percampuran (blending) yang dilakukan dalam kondisi tertentu juga dapat menimbulkan pori pada filamen.
Kedepannya, ia berharap inovasinya ini bisa disempurnakan oleh pihak lain. “Terkait rencana komersialisasi mungkin ada, karena ide ini dirasa dapat mengurangi limbah di Indonesia serta menyongsong keberjalanan revolusi industri 4.0,” imbuhnya.
Atas ide kreatif ini Ghozi berhasil menyabet juara pertama dalam kategori industri pada ajang MPC 2019 yang diselenggarakan oleh Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Kalimantan (ITK).