Fikih Difabel, Ini Rumusan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah merumuskan Fikih Difabel. Sesuai UU No. 4 tahun 1997, mereka yang memiliki kemampuan berbeda disebut dengan penyandang cacat. Hal itu diperbaharui kembali dengan UU No. 8 tahun 2016 dengan sebutan yang lebih soft yaitu penyandang disabilitas.
"Lalu kenapa ini dinamai Fikih Difabel dan bukan Fikih Disabilitas? Dalam seminar tarjih beberapa waktu yang lalu kita sudah sepakat menggunakan kata difabel dengan alasan sebutan difabel lebih manusiawi dan bermartabat,” terang Alimatul Qibtiyah, Ketua Penyusun Draft Fikih Difabel, dalam keterangan Senin, 2 Maret 2020.
Alim menerangkan, draft Fikih Difabel ini terdiri dari 6 bab, di antaranya: 1) Pendahuluan; 2) Pandangan Islam dan Kebijakan Umum Tentang Difabel; 3) Pemenuhan Hak dan Perlindungan Difabel; 4) Pedoman Ibadah Berperspektif Difabel; 5) Persoalan-Persoalan Pelayanan Difabel dan Solusinya; dan 6) Penutup. Susunan bab ini tidak dapat dipungkiri akan mengalami perubahan tergantung keputusan hasil dari halaqah ini, sebelum dibawa ke jenjang yang lebih besar yaitu Munas Tarjih.
Setelah Alim menjelaskan secara garis besar konsep Fikih Difabel, pembicara kedua Rof’ah membahas tentang difabel dalam Islam. Rof’ah merupakan anggota penyusun draft Fikih Difabel yang sekaligus salah satu penggagas dan pendiri Pusat Studi dan Layanan Difabel pada tahun 2006 di Universitas Sunan Kalijaga.
“Istilah ‘difabel’ merupakan istilah modern yang tidak dikenal dalam Al Qur’an, Hadis, atau sumber klasik Islam lain. Namun al Qur’an memuat kata yang banyak dipakai adalah yang merujuk pada satu jenis difabeltertentu, misalnya a’ma, ‘umyun (tuna netra), a’sam (tuli), abkam atau akhrash(tidak bisa bicara/bisu),a’raj(lumpuh), dan majnun(orang dengan gangguan mental). Di beberapa ayat, difabeljuga diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok lemah (mustad’afun), kelompok miskin dan membutuhkan pertolongan (masaakin),” terang Rof’ah.
Untuk itu, Majelis Tarjih menyelenggarakan Halaqah Pra-Musyawarah Nasional Tarjih XXXI di aula Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Minggu, 1 Maret 2020.
Acara yang berlangsung selama dua hari ini membahas berbagai produk-produk pemikiran keagamaan yang nantinya akan dibahas kembali secara komprehensif pada Munas Tarjih ke-31 di Gresik, Jawa Timur. Salah satu isu penting yang dikaji dalam halaqah tersebut adalah membahas isi draft Fikih Difabel.
Walaupun Al-Qur’an memuat berbagai kata yang menunjuk pada satu jenis difabel tertentu, namun kebanyakan penyebutannya dalam konteks metoforis (kinayah). Karena itu menurut Rof’ah, makna metaforis inilah yang menandakan bahwa secara umum teks-teks Islam menunjukkan pandangan yang netral. Netralitas Al-Quran terhadap difabel telah menunjukkan bahwa harkat dan martabat manusia tidaklah diukur dari kondisi fisik ataupun materi, tapi dari ketakwaannya. Dengan kata lain dalam Islam manusia merupakan entitas spiritual, bukan entitas fisik atau materi.
Setelah Fikih Difabel dipaparkan oleh pihak penyusun, draft tersebut kemudian ditelaah oleh Ketua Komite Disabilitas propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Setya Adi Purwanto. Setya memulai pemaparannya dengan mengajukan pertanyaan yang cukup menohok para peserta haqalah.
“Apakah cacat itu ada? Segala sesuatu itu bisa ada karena diadakan. Segala sesuatu itu bisa tiada karena ketiadaannya diadakan. Fikih seharusnya meniadakan hal-hal yang diskrimintif, bukan malah mengadakan diskriminasi. Kita bisa membangun fikih yang tidak menghardik hak-hak orang lain,” tutur Setya.
Setya mengatakan bahwa tidak ada terma cacat dalam Al-Qur’an. Walau pun ada beberapa kata yang menyebutkan jenis difabel, namun digunakan dalam konteks metafor dan bukan pada makna sesungguhnya. Semua manusia dilahirkan dalam kondisi sempurna sebagaimana tertera dalam QS. Al-Tiin ayat 5.
"Jika pemahaman kita berangkat dari sini, cacat adalah sesuatu yang ada karena diadakan. Secara kultural dibangun norma-norma yang mengadakan cacat. Dari segi hukum dibuat peraturan-peraturan yang seakan benar-benar ada orang cacat. Karenanya Setya berharap agar fikih ini dapat menabrak pemahaman yang keliru dari publik yang luas,” ujar Setya.
Menurut Setya ada tiga proses pencacatan yang terjadi dan berkembang di masyarakat, yaitu dimulai dengan labelisasi yang dilakukan dengan pemberian sebutan cacat, tidak normal, dan lain-lain; stigmatisasi yang dilakukan dengan memberikan penilaian buruk pada kelompok difabel dan menyebarkannya; dan marginalisasi yang dilakukan dengan mendiskriminasi kelompo yang berkemampuan khusus di ruang publik.
“Fikih harus meniadakan adanya proses pencacatan ini. Fikih harus dapat memutus relasi teks agama dengan konteks lama yang diskriminatif. Semoga Fikih Difabel yang akan diputuskan ini dapat menjadi pendobrak dan melakukan delabelisasi, destigmatisasi, dan demarginalisasi,” tutur Setya.