Fiasko Beras, Mendesak Transformasi Budaya dan Kepemimpinan
Di masa lalu, Indonesia sempat bahagia sekaligus berbangga karena kemampuan atas ketersediaan beras. Ketika masa Orde Baru itu, ada sebutan swasembada beras.
Lepas dari cacat rezim Soeharto, negeri ini memberikan harapan dan keyakinan bagi warganya. Sesudah itu, swasembada pangan masih sebatas impian. Realitanya, para pengambil keputusan lebih nyaman sendiri dengan impor beras.
Hingga kini, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, swasembada pangan belum berhasil diwujudkan. Bahkan, ada yang menyebut sebagai "gagal beras" alias "Fiasko Beras".
Perlu dipahami dulu, istilah Fiasko. Fiasko yang diambil dari bahasa Belanda, fiasco dan kemungkinan besar awalnya dari bahasa Italia artinya adalah "gagal" atau "kegagalan". Jadi, ini problem Indonesia: kegagalan beras.
Berikut ulasannya.
FIASCO BERAS: Mendesak Transformasi Budaya dan Kepemimpinan
Oleh : Elwin Tobing, California, AS
“Kekonyolan”, kata Einstein, “adalah melakukan hal yang sama tetapi mengharapkan hasil berbeda”.
80 tahun RI merdeka. 25 tahun Era Reformasi. 9 tahun Era Revolusi Mental. Persoalan utama tetap sama, yakni ketersediaan bahan pokok utama konsumsi: beras.
Negara lain sudah bicara inovasi di bidang teknologi canggih. Menangani produk yang hanya membutuhkan teknologi primitif dan madya pun kita belum beres. Dan sudah berpuluh-puluh tahun.
Dan masih bermimpi Indonesia Emas 2045? Perlu introspeksi diri.
Kebijakan vs Budaya
Ketersediaan beras bisa dilihat dari perspektif prinsip Ekonomi 101: Supply vs demand. Atau produksi – konsumsi. Bila mengalami defisit atau produksi lebih rendah dari konsumsi, maka ada tiga cara menutupinya. Pertama, tingkatkan produksi plus impor. Kedua, kurangi konsumsi. Atau, kombinasi keduanya.
Selama beberapa dekade, kita cenderung fokus dengan produksi plus impor.
Per tahun 2023, produksi 34 juta ton. Konsumsi 35.7 juta ton. Defisit 1.7 juta ton. Dengan konsumsi 35.7 juta ton per tahun, itu artinya 0.1 juta ton per hari.
Selama 27 tahun, saya makan nasi 3 kali sehari, 7 kali seminggu, 365 hari setahun. Karena faktor budaya dan lingkungan, selama hampir 30 tahun terakhir, itu berkurang drastis menjadi praktis satu kali sehari.
Manusia bisa menyesuaikan diri terhadap situasi, apakah karena kebijakan, lingkungan, atau pun budaya. Itu terbukti sejak jaman prasejarah.
Apa masalahnya kalau ada kebijakan/gerakan nasional keragaman pangan? “Gerakan”, bukan asal jargon gerakan, yang pada dasarnya sering bermakna bergerak di tempat.
Beberapa tahun lalu saya sudah sampaikan hal yang sama. Indonesia perlu mengurangi konsumsi beras satu hari ataupun setengah hari per minggu. Bisa ekuivalen dengan tidak konsumsi nasi satu kali makan pagi dan satu kali makan siang dalam seminggu. Diganti dengan bahan pangan seperti ubi, jagung, atau yang lainnya. Yang penting unsur protein dan nutrisi lainnya tidak berkurang.
Tanpa makan nasi satu hari seminggu, itu bisa mengurangi konsumsi beras 5 juta ton per tahun. Atau, tanpa konsumsi nasi satu kali makan siang seminggu, itu mengurangi konsumsi beras hampir 2 juta per tahun.
Tidak perlu impor. Dan tidak perlu bagi-bagi beras pada saat Pemilu. Karena pada dasarnya itu merendahkan martabat rakyat Indonesia.
Transformasi Kepemimpinan
Betul bahwa beras adalah bahan pangan pokok yang utama. Tetapi, sulit membantah bahwa beras juga menjadi bahan objek keuntungan utama banyak pihak, apakah keuntungan moneter maupun politik. Bahwa kebutuhan utama tersebut menjadi bahan objek keuntungan dan politik, itu menunjukkan bahwa Indonesia sebetulnya belum merdeka. Masih dijajah oleh kepentingan—daripada kaum elit bangsanya.
Di sinilah diperlukan transformasi kepemimpinan. Seorang pemimpin harus cerdas melihat solusi konstruktif terhadap masalah kronis, bukan menjadi larut atau terhanyut dalam masalah tersebut.
Seorang pemimpin cerdas juga harus bisa mentransformasi kebiasaan komunitas atau bangsanya menjadi konstruktif dan mampu menjawab tantangan atau masalah yang dihadapinya. Singapur, Korea Selatan, dan Jepang sudah menunjukkannya. Kemajuan dibangun di atas transformasi budaya.
Pemimpin di Indonesia, dari segala tingkatan dan segala bidang, harus bisa membawa perubahan, bukan menjadi bagian daripada permasalahan. Perubahan ke arah lebih baik. Menjadi agen-agen transformasi. Itu syarat paling dasar menjadi seorang pemimpin.
Indonesia merindukannya.
Elwin Tobing, Profesor Ekonomi. Bukunya “Agenda Transformasi Indonesia” akan segera terbit. Dikutip dari ppm-aswaja.
Advertisement