Festival Seni Balai Pemuda, Titik Awal Surabaya Kota Kreatif
Oleh: Jil Kalaran
Melukis on the spot dan pertunjukan musik menjadi pembukaan yang apik Festival Seni Balai Pemuda, Jumat, 6 Oktober 2023 di Pelataran Balai Pemuda, tepatnya di depan Galeri Merah Putih. Sementara di dalam galeri dipajang Bursa Lukisan dengan rata-rata ukuran 20x30cm dan dibandrol harga Rp 250.000.
Festival Seni Balai Pemuda yang berlangsung mulai 6 hingga 15 Oktober 2023 itu boleh dibilang menjadi semacam titik dimulainya kembali ajang tempat berkumpulnya para seniman (Surabaya khususnya) di lokasi yang memiliki hubungan kesejarahan dengan para seniman.
Sayangnya, Walikota Surabaya yang digadang-gadang untuk membuka festival tersebut, batal hadir. Alasannya punya acara yang juga penting. Menurut saya, Walikota Surabaya kurang sensitif terhadap masalah ini. Saya bayangkan, andai Cak Eri barang 5 menit saja nongol di acara tersebut kemudian dengan lugas bilang bahwa tak bisa lama-lama hadir oleh sebab ada kegiatan lain yang sama pentingnya, beliau pasti punya nilai tambah di mata seniman.
Bayangkan saja, pada pembukaan sore itu ada sekitar 150 pelukis kumpul dengan segala peralatan melukisnya dan mereka sangat siap untuk melukis Cak Eri secara on the spot, ternyata yang ditunggu tidak hadir. Untung saja panitia tak kurang akal. Konjen Australia yang diundang dan hadir, bersedia didaulat untuk dilukis. Para pelukis itu tidak cuma dari Surabaya. Kabarnya ada juga dari Bali.
Yang mengejutkan, mantan Kepala Galeri Nasional yang kini menjadi Koordinator Galeri-galeri Nasional, Pustanto, hadir pada pembukaan sore itu. Dia mengatakan, selain sebab diundang oleh Ketua Penyelenggara, juga karena ingin secara khusus melihat kegiatan ini dari dekat.
Festival Seni Balai Pemuda ini memang tidak muluk-muluk. Penggagasnya, M. Anis, nampaknya memulai dari sesuatu yang “kecil” dan sederhana namun tetap berpegang pada aspek kualitas penyaji yang tampil. Dengan kesadaran semacam ini, diharapkan kegiatan ini bisa berjalan berkesinambungan setiap tahun.
Coba saja tengok ke dalam Galeri Merah Putih. Puluhan karya lukis yang dipajang dalam Bursa Lukisan itu, meskipun berukuran kecil, bukan tergolong lukisan murahan walau harganya dipatok sangat murah. Saya hampir tidak percaya, banyak karya yang bagus yang tidak sepadan dengan harganya itu. Dan kayaknya, hal itu memang sengaja dilakukan untuk merangsang apresiasi masyarakat luas terhadap karya lukis.
Dan malam harinya, titik awal festival ini menjadi sempurna ketika ditampilkan kelompok musik Duo Etnicholic dari Malang yang digawangi oleh Redy Eko Prasetyo, yang sekaligus menjadi pemetik dawai cempluk dan vokalis. Dinamakan Dawai Cempuk karena selain berasal dari kamplung Cempluk yang barusan saja juga menyelenggarakan festival seni, juga sebab keinginan yang kuat agar kota Malang memiliki instrumen yang khas. Dawai Cempluk itu sendiri, menurut pengakuan Redy, dibuat dari bahan limbah.
Kelompok musik ini kabarnya juga telah merilis album perdananya, Nandur Kamulyan, pada Maret tahun lalu di Museum Musik Indonesia, Malang. Musik-musik Duo Etnicholic merupakan hasil galian dari instrumen etik yang ada di berbagai penjuru nusantara. Mereka mengakui bahwa aliran musiknya adalah anti mainstream, dengan alat utamanya Dawai Cempluk tersebut.
Kabarnya, kelompok musik ini memperoleh penghargaan pada Desember 2020 dari Sopravista Intertional Festival, Italia, setelah karya mereka, Hijau Lestari, yang dikirim melalui platform youtube dinyatakan sebagai juara kategori Duet Mixed Vocal and Instrumental.
Malam itu, Duo Etnicholic, melalui karya-karya musiknya yang eksploratif dan banyak menyodorkan tema lingkungan,semacam memberi udara yang segar di tengah suhu politik yang mulai memanas, seperti yang ditulis oleh Ketua Penyelenggara, M. Anis, dalam editorial buku katalog festival. Saya juga terkesan dengan lagu-lagu yang berangkat dari kehidupan masyarakat Aceh, Kalimantan, juga Surabaya. Bahkan sejarah Singasari pun tak luput dari perhatian mereka.
Festival merupakan ajang pertemuan antar seniman dan antara seniman dengan masyarakat luas. Dalam kegiatan ini akan terjadi dialog, saling melihat pencapaian masing-masing, membahas isu-isu kesenian yang lebih spesifik dan kebudayaan yang lebih luas. Dari dialog-dialog itu justeru bakal muncul gagasan-gagasan baru guna menunjang proses kreatifnya.
Dalam konteks ini, keberadaan festival seni menjadi sangat penting, apalagi kegiatan ini berlangsung di sebuah kota yang dinamis. Semoga saja kegiatan festival seni ini menjadi titik awal untuk berdialog lebih fokus, lebih saling mengenal dan kemudian bahu membahu menjadikan kota Surabaya sebagai kota kreatif. Kota kreatif akan membuat warganya sejahtera.
(Jil Kalaran – pekerja seni).
Advertisement