Festival Lembah Baliem Situs Budaya Papua
Festival Lembah Baliem 2018 resmi bergulir, Selasa 7 Agustus 2018. Event ini menjadi situs besar budaya Papua.
Beragam kekayaan culture Suku Hubula disajikan secara megah. Atraksi-atraksi ini mendapat respons positif dari wisatawan asing. Mereka memadati tribun yang sudah disediakan.
Festival Lembah Baliem 2018 resmi ditabuh pukul 10.00 WIT. Lokasinya berada di Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Opening ceremony-nya unik dan spesial. Yaitu, ritual memanah babi dan melempar sege atau tombak khas Suku Hubula.
Sege ini dilempar pada obyek berupa batang pisang oleh tokoh pemerintahan dan instansi terkait di Papua.
“Saya sering datang ke banyak tempat, tapi tidak ada yang seperti di Lembah Baliem ini. Di sini sangat luar biasa. Saya bahkan sudah sembilan kali ke Afrika, tapi masih lebih mengesankan di Lembah Baliem. Di sini semuanya sangat otentik. Saya baru pertama ke sini dan sangat takjub dengan semuanya,” jelas Wisatawan Malaysia Mah To.
Usai opening ceremony, adrenalin wisman dinaikan. Atraksi Nikah Adat disajikan Aslot Group. Agenda ini memberi inspirasi bagi semua pengunjung. Sebab, pernikahan adat di Suku Hubula sudah sangat jarang dilaksanakan.
“Kami datang bersama 13 orang lainnya ke Lembah Baliem hanya untuk melihat pertunjukan-pertunjukan di ini. Semuanya ada filosofinya dan ini yang kami suka,” jelasnya lagi.
Atraksi Nikah Adat disajikan secara detail. Dimulai dari ilustrasi masa pingit calon mempelai wanita maksimal 2 minggu. Selama menjalani fase ini, kaum wanita diajarkan manajemen berumah tangga oleh ibunya. Usai dipingit, pesta pernikahan dimulai dengan membayar mas kawin. Yaitu berupa noken, kapak batu, kulit biayerak, dan babi. Untuk babi lalu dipanah.
Atraksi Nikah Adat menjadi pembuka terbaik. Sebab, para wisatawan pun langsung menyerbu ke venue untuk mengabadikan momen.
“Lembah Baliem ini memang bagus. Tidak ada duanya di tempat lain. Kami suka dengan baju adat mereka yang unik dan lengkap dengan aneka asesorisnya. Cara mereka hidup juga luar biasa, terutama cara bertaninya,” terang Mah To.
Suasana pun semakin hangat. Sebab, beragam Tarian Perang khas Suku Hugula disajikan semuanya. Menjadi pembuka, Tarian Perang khas Distrik Wama digelar. Tarian ini menceritakan terjadinya perang karena pencurian babi oleh suku lain. Simulasi perang dilakukan natural dengan lesatan anak panah, tapi diarahkan ke atas. Kedua suku akhirnya berdamai setelah babi dikembalikan kepada pemiliknya.
“Saya enjoy menikmati sajian budaya di sini. Saya memang sengaja datang untuk festival ini. Secara basic, saya suka dengan culture seperti ini. Di sini ada banyak culture yang disajikan. Saya benar-benar terkesan. Ini adalah kedatangan saya yang pertama di Lembah Baliem,” jelas Wisatawan Swiss Freddy Goetsch.
Simulasi Tarian Perang dilengkapi dengan aksi perwakilan Distrik Welesi. Menjadi tuan rumah, mereka menyajikan tiga sisi kehidupan dari masyarakat adat di sana. Cerita diawali kisah seorang gadis Welesi yang menanti jodohnya di Honai atau rumah adat Hubula. Hingga momen yang ditunggu datang. Sebab, ada pembukaan Honai baru dan di situ dipertemukan dengan pria dari keluarga lain.
Cerita pun berlanjut dengan seorang kepala adat yang memiliki dua orang istri. Namun, ketua adat ini lebih sayang terhadap istri mudanya hingga menimbulkan kecemburuan. Setelah berkisah dengan tata kehidupan masyarakat, adrenalin dinaikan. Dan, kisah konflik peperangan dimulai manakala ada anak gadis yang berangkat ke ladang diganggu oleh pria suku lain.
“Semuanya bagus di sini. Transportasi juga mudah. Saya juga tidak ada masalah dengan makanan. Pokoknya sangat nyaman berada di Lembah Baliem,” ujarnya lagi.
Menyempurnakan sajian, Distrik Welesi juga menutup pertunjukan dengan Tarian Etae atau Ebetay. Ini adalah tarian yang dibawakan dengan berlari secara melingkar. Lalu, kelompok lain berdiri di tengah sambil berteriak.
Sensasi peperangan lalu dilanjutkan oleh Distrik Asso Tipo. Mereka ini menyajikan Tarian Perang dengan pemicu sengketa wilayah dua suku berbeda. Namun, semua diselesaikan damai.
“Saya juga baru pertama datang Lembah Baliem dan langsung jatuh hati dengan semua yang ada di sini. Tapi, saya memang tidak bisa lama. Setelah festival ini selsai, saya langsung pulang. Pengalaman di sini sudah lengkap. Sebab, kemarin saya ke Suroba dan Napua. Hanya untuk foto-foto, apalagi di sana saya juga bertemu dengan warga dengan baju adat,” jelas Wisatawan Italia Vinico Seoncerle.
Selain menyajikan Tarian Perang dengan beragam latar cerita, Festival Lembah Baliem juga menggelar Karapan Babi. Disajikan unik, event ini juga mendapat perhatian besar dari wisatawan. Mereka bahkan sampai memadati venue karapan dengan kamera aktif. Ada juga permainan tradisional Puradan. Yaitu, keterampilan membidik objek bergerak dengan melemparkan sege atau tombah khas Suku Hubula.
Melengkapi histori, opera sejarah Wamena pun ditampilkan. Tarian ini berkisah kedatangan pemerintah Belanda ke wilayah Lembah Baliem. Mereka lalu bertemu dengan salah satu ketua adat yang sedang membawa anak babi. Lalu, komunikasi pun terjadi. Belanda menanyakan apa yang sedang dibawa, lalu dijawab ‘wam-ena’ oleh ketua adat. Wam-ena berarti anak babi dalam bahasa Suku Hubula.
Menteri Pariwisata Arief Yahya memuji pelaksanaan Festival Lembah Baliem 2018.
“Festival Lembah Baliem ini kelasnya sudah dunia. Ada banyak wisman yang menunggu momentum ini. Kami tentu gembira dengan respon wisatawan di sana. Kemasan dari festival ini memang luar biasa dengan beragam budaya yang ditampilkan. Enjoy Lembah Baliem,” tutup Menteri Pariwisata Arief Yahya. (*)