Festival Angklung, Merawat Kearifan Lokal ala Banyuwangi
Festival Angklung Paglak sukses digelar. Event ini adalah bagian dari Banyuwangi Festival. Menariknya, Festival Angklung Paglak digelar di hamparan hijau Bandara Banyuwangi.
Alunan musik dari material bambu mengalun merdu dari 38 menara bambu. Dalam bahasa setempat, menara disebut ”paglak”.
“Angklung paglak adalah salah satu kesenian tertua di Banyuwangi. Ini kearifan lokal warga yang luar biasa. Kita ingin menunjukkan bahwa kearifan lokal bukan masa lalu, tapi masa depan,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Paglak adalah menara bambu setinggi 6-7 meter dengan lebar masing-masing sisinya sekitar dua meter. Dari menara tersebut, musik angklung khas Banyuwangi dimainkan oleh 2 hingga 4 pemusik.
Kesenian ini muncul sejak 1880 silam. Saat itu, angklung paglak dimainkan di tengah sawah saat musim panen. Masyarakat Suku Using yang kerap disebut sebagai warga asli Banyuwangi, biasanya saling membantu saat musim panen tiba.
Saat ada warga yang sedang panen di sawahnya, warga lainnya guyup membantu. Nah, angklung paglak ini dimainkan sebagai undangan dari sang pemilik sawah kepada warga agar ikut membantu sekaligus menghibur para petani.
“Jadi festival ini bukan sekadar atraksi wisata. Tapi ada filosofi yang ingin disampaikan, khususnya ke anak-anak muda. Nilai-nilai gotong royong ala masyarakat saat musim panen ini penting diteladani. Kalau hanya disampaikan di dalam kelas, akan membosankan. Tapi kalau langsung dimainkan seperti ini anak-anak langsung tahu,” kata Anas.
Dalam festival ini, para pemusik angklung berusaha menghasilkan alunan musiknya yang terbaik. Satu per satu grup peserta menunjukkan kemahirannya memainkan alat musik pukul dari bambu tersebut. Semakin kencang pukulannya, maka menara bambu akan ikut bergoyang kian kencang. Inilah ciri khas kesenian ini.
Anas menambahkan, festival ini adalah salah satu strategi memajukan kebudayaan daerah. Di sejumlah negara, beragam atraksi seni-budaya telah menjadi indikator kebahagiaan warga dan kemajuan daerah.
Seorang peserta, Sumantri (55), mengatakan, dirinya sejak kecil sudah lihai memainkan angklung. “Senang sekarang ada festivalnya. Biasanya saya main di tengah sawah sendirian, sekarang bisa main ditonton banyak orang,” ungkapnya.
Festival Angklung Paglak ini juga menambah cantik kawasan bandara hijau Banyuwangi. Suasana khas lokal semakin terasa di bandara yang mengadopsi arsitekur berbasis budaya Suku Using tersebut.
Kabid Pemasaran Area I Kementerian Pariwisata Wawan Gunawan, menilai Festival Angklung Paglak adalah cara tepat untuk melestarikan kebudayaan yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Sejumlah wisatawan yang baru mendarat pun senang dengan festival tersebut. ”Surprise, kok ada suara angklung pas berjalan di terminal bandara. Ternyata ada Festival Angklung Paglak. Langsung saya bawa anak-anak untuk nonton, maklum mereka tidak pernah tahu seni seperti ini. Mereka sangat tertarik," ujar dr. Hendrawan, penumpang asal Surabaya.
Menteri Pariwisata Arief Yahya menganggap Festival Angklung Paglak yang digelar di kawaan bandara ini sangat unik.
“Ini ide yang sangat bagus. Sebab, wisatawan yang berkunjung ke Banyuwangi langsung dihadapkan pada sebuah budaya yang sangat tua. Ini promosi yang tepat, dan langsung memperkenalkan kekayaan budaya Banyuwangi ke wisatawan,” paparnya. (*)