Fermented of Cassava Bondowoso Manisnya Sampai Negeri Londo
Fermented of Cassava, begitu kata wong londo. Kalau lidah Jawa menyebutnya tape. Istilah bercandanya adalah ‘telo bosok’. Meski bosok tapi uenak dimakan. Menggoda tenan. Panganan yang dicipta dengan sistem peragian ini yang paling top adalah dari Bondowoso. Sebutannya? Tape Bondowoso.
Sebuah siang, Ngopibareng.id, berada di jalan Panglima Besar Jenderal Sudirman di Kota Bondowoso. Kota yang lumayan berdenyut. Jalan Pangsud ini juga merupakan pusat perdagangan yang paling ramai di kota ini. Letaknya strategis, persis di jantung Bondowoso.
Kanan kirinya adalah alun-alun dan kantor Pemkab Bondowoso. Nah, di Jalan Jenderal Sudirman itulah berderet toko menjual tape khas Bondowoso. Tak hanya tape sebenarnya tetapi ada ada suwar-suwir, dodol tape, tape bakar, dan diversifikasi bentuk tape yan lain.
Uniknya tape manis Bondowoso ini selalu bermerk dengan angka. Mirip dengan panganan Bakpia Pathuk dari Jogjakarta. Selalu diawali dengan angka. Untuk masalah tape, merknya yang paling terkenal adalah tape 31. Uniknya, si toko berada di nomor 32. Konon, dari toko inilah khas tape Bondowoso itu tercipta.
Setelah itu di Bondowoso baru banyak tape. Di urutan terkenal berikutnya ada tape manis 82, 66, dan 17. Tapi, yang tetap diburu orang, ya tetap yang nomor 31 itu. Acapkali, kalau tidak pesan duluan, si tape sudah ludes dipasaran.
Umumnya tape-tape Bondowoso itu dikemas dalam bèsèk. Tahu besek? Dia adalah sejenis anyaman dari bambu berbentuk kotak, lengkap dengan penutupnya. Biasanya di kemasan bèsèk ini juga tertera tanggal pembuatan dan kapan bisa dibuka penutupnya agar bisa dimakan. Di dalam bèsèk masih dialasi dengan daun pisang agar proses fermentasi dengan ragi berjalan sempura.
Seorang pemerhati pergerakan UKM Tape Bondowoso, Agus Salam, mengatakan, Bondowoso bisa memiliki tape yang bagus karena didukung oleh sumber daya alam dan cuaca yang bagus. Ini sangat mendukung untuk tanaman singkong. Dan singkong yang tumbuh di Bondowoso lain dengan singkong di daerah lain. Sehingga, tape khas Bondowoso tidak bisa ditiru oleh daerah lain. Di era 70-an, tape sudah menjadi komoditas andalan di Bondowoso. Kala itu pelaku usahanya beberapa gelintir orang saja. Salah satu di antaranya adalah pemilik produk tape nomor 31 itu.
Prayoga Triwidodo, pemilik toko sekaligus pemilik merk 31, mengatakan, tape merk 31 dulunya dirintis oleh ibunya yang pada tahun 1978 berjualan di pasar-pasar. Merk 31 sebenarnya adalah nomor rumah sekaligus tokonya.
Tahun 1980-an tape merk 31 mulai merambah ke mana-mana. Ini yang membuat banyak orang Bondowoso mencoba meniru kisah sukses tape 31. Agar tidak dianggap menyerobot hak cipta lalu munculah produk-produk tape Bondowoso dengan beragam nomor. “Pada tahun 2002 kami mematenkan merek 31 di Kementerian Hukum dan HAM. Kami mamatenkan karena banyak pemalsuan merek 31 di daerah-daerah lain,” kata Prayogo.
Menurut Prayoga, produksi tape 31 per harinya mencapai 1,5 ton. Malah sampai 3 ton jika liburan. Omzet juga naik drastis jika Hari Raya Idul Fitri, tahun baru dan liburan sekolah.
Pemasaran tape 31 paling banyak ke Banyuwangi, Situbondo dan Probolinggo. Sayangnya omzet merosot terus sejak adanya bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo. Lumpur itu ikut menghadang akses jalur darat menuju Bondowoso.
Lain cerita Prayogo dan Sutarman. Sutarman adalah pemilik tape 82. Kata Sutarman, merek tapenya dengan nomor 82 diambil dari tahun awal usaha tapenya di Bondowoso. "Tapi sebenarnya keluarga saya sudah membuat tape jauh sebelum tahun itu. Karena tradisi," jelasnya.
Menurut dia, setiap harinya 82 memproduksi satu ton singkong sebagai bahan baku tape. Untuk bahan baku, petani datang sendiri menyuplai hahan baku yang diperlukan. Dia membeli Rp 500 lebih mahal di atas harga pasar pada umumnya. Dan Sutarman saat ini memiliki 20 tenaga kerja.
Beberapa daerah di Bondowoso mampu menghasilkan singkong yang mutunya baik. Tanah yang paling baik berada di sekitar perbukitan arak-arak. Ini menyebabkan harga singkong daerah ini agak tinggi dibanding dengan produksi daerah lain. Dengan kondisi seperti ini menyehabkan produsen tape sering berebut bahan baku dari wilayah ini.
Jadi jangan salah, meski hanya panganan tape, tape 31 milik Prayogra bisa ekspor sampai ke negeri Belanda. Ternyata ada orang Indonesia yang mendistribusikannya di sana. Agar tape tidak membusuk di perjalanan, caranya adalah menghentikan proses fermentasi, yaitu dimasukkan ke dalam frizer pendingin.
Kemasannya juga lebih modern yaitu berupa dos tertutup rapat dan bukan dari besek lagi. Ini memungkinkan tape 31 bisa dikirim ke mana-mana. Sedang besek kemasan tradisional tetap dipertahankan.
Kunci manisnya tape Bondowoso ternyata ada di bahan baku, yaitu ragi dan singkongnya. Singkong harus asli dari Bondowoso. Singkong paling bagus selain arak-arak juga bisa didapatkan dari kawasan Maesan, Bondowoso. Singkongnya tidak benyek jika difermentasikan.
Proses pembuatan tape cukuplah mudah, bisa ditiru oleh siapa pun yang ingin mencoba. Tapi soal rasa nanti dulu. Produsen tape pada umumnya memiliki ciri dan rasa tersendiri. Ada tape warna kuning yang rasanya manis, aromanya semerbak dan penampilannya menarik. Ada tape yang keras dan lembek.
Pertama kali singkong dikupas lalu dicuci sampai bersih. Langkah berikutnya singkong digodhog setengah matang, kemudian didinginkan. Produsen tidak lupa menyortir satu persatu untuk menjaga kualitas tapenya.
"Kalau ada hasil kukusan singkong yang kecil atau bentuknya tidak bagus dimodifikasi menjadi tape panggang," kata Prayogo. Proses selanjutnya yang paling memerlukan kecermatan sedikit adalah peragian. Tahap inilah yang bisa menghasilkan apakah tape manis, tahan lama atau tidak. Dari singkong menjadi tape memerlukan waktu sekitar 3 hari. Biasanya produsen tape membuat sendiri raginya setiap 4 hari sekali. widi kamidi