Fatwa tentang Penutupan Jalan, Penjelasan Komisi Fatwa MUI Jatim
Pada saat mengadakan hajatan, sunatan dan pengantin, jalan-jalan di perkampungan kota kerap ditutup. Tentu saja, hal itu menimbulkan masalah bagi pengguna jalan. Terjadi di Surabaya dan Sidoarjo, misalnya.
Menyikapi hal itu, belum lama ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sidoarjo mengeluarkan fatwa haram terhadap tindakan penutupan jalan demi hajatan itu.
Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur Ust Ma'ruf Khozin hadir pada saat perdebatan sebelum keluar keputusan MUI Sidoarjo itu. Berikut catatannya:
Sekitar tahun 2018 saya mendapat undangan ke kampus KH Hasyim Latif, Sidoarjo, untuk mengisi kajian bersama mahasiswa baru. Karena belum tahu alamatnya saya menggunakan Google Map. Hampir mendekati lokasi di kampung itu ada pernikahan. Jalan ditutup total. Saya pun memutar cukup jauh.
Beberapa hari yang lalu ketika saya mau ke daerah perumahan Damarsi Buduran, juga terhalang oleh hajatan masyarakat sehingga putar balik dan cukup jauh. Pemandangan seperti ini juga banyak ditemui di Surabaya.
Saya cuma berpikir sepertinya pemilik Google Map perlu belajar ke kawasan Surabaya dan Sidoarjo untuk memiliki alat yang bisa mendeteksi jalan buntu, misalnya kalau ada tenda hajatan di jalan maka di Google Map itu tertulis gambar payung atau apa pun. Dengan begitu dari kejauhan, map sudah mengarahkan jalan alternatif. Intinya kecanggihan satelit yang dimiliki raksasa teknologi seperti Google masih lebih canggih jalan-jalan di Surabaya dan Sidoarjo.
Aturan Daerah
Sebenarnya di Sidoarjo sudah ada aturannya, seperti yang disampaikan oleh Ketua DPRD. Kata beliau Perda 10 tahun 2013 tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat sudah mengatur. Pada Bab III dijelaskan larangan menutup jalan kecuali mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Tapi pada Bab XI Peran Serta Masyarakat diperbolehkan untuk melaporkan (mengajukan protes) mana kala ada gangguan ketertiban umum. Intinya ada pada penegakan oleh Kepolisian atau Satpol PP.
Bagaimana dalam pandangan Hukum Islam? Hampir kebanyakan Mazhab memerinci sebagai berikut:
الطَّرِيْقُ قِسْمَانِ: نَافِذٌ وَغَيْرُ نَافِذٍ. الاَوَّلُ: لاَ يَخْتَصُّ بِاَحَدٍ بَلْ كُلُّ النَّاسِ يَسْتَحِقُّوْنَ الْمُرُوْرَ فِيْهِ وَيُسَمَّى بِالشَّارِعِ فَهُوَ مُبَاحٌ لاَ يُمْلَكُ فَلِكُلِّ اَحَدٍ حَقٌّ اَنْ يَفْتَحَ اِلَيْهِ بَابًا
"‘Jalan’ (Thoriq) ada dua macam, jalan tembus dan buntu. Jalan yang pertama ini tidaklah dikhususkan bagi seseorang saja, melainkan semua orang berhak untuk melewatinya, jalan ini disebut dengan Syari’ atau jalan raya. Hukumnya adalah mubah (untuk dilewati) yang tidak dapat dimiliki (dikuasai) oleh siapapun. Oleh karena itu, siapapun berhak untuk membuka pintu (rumahnya) yang menghadap ke jalan tersebut
اَوْ يُعْجِنَ فِيْهِ طِيْنًا اِذَا اَبْقَى مِقْدَارَ الْمُرُوْرِ اَوْ يَلْقَي حِجَارَةً لِلْعِمَارَةِ وَيَتْرُكَهَا بِقَدْرِ الْحَاجَةِ اَوْ يَرْبِطَ دَابَّةً بِقَدْرِ النُّزُوْلِ وَالرُّكُوْبِ اَوْ يَنْتَفِعَ مِنْهُ بِكُلِّ مَا يُحْتَمَلُ فِي اْلعَادَةِ مِنْ غَيْرِ اَنْ يُضِرَّ بِالْمَارَّةِ.
Atau untuk pembangunan, dengan catatan masih ada celah jalan yang dapat dilewati, atau meletakkan batu bata untuk pembangunan dan dibiarkan begitu saja (di jalan) sesuai kebutuhan, atau meletakkan hewan tunggangannya hanya sebatas naik dan turun (memarkir), atau bentuk pemanfaatan lainnya yang sesuai dengan tradisinya, tanpa menyulitkan para pengguna jalan”.
الثَّانِي: غَيْرُ النَّافِذِ يَجُوْزُ اِخْرَاجُ الْجَنَاحِ فِى الدَّرَبِ الْمُشْتَرَكِ غَيْرِ النَّافِذِ اِنْ اَذِنَ اَرْبَابُ الْحَقِّ فِى اْلمُرُوْرِ وَكَانَ الْمُخْرِجُ مُسْلِمًا وَلَمْ يُضِرَّ ايْ بِالْمَارَّةِ وَلَمْ يَظْلِمْ الدَّرَبِ وَيَجُوْزُ فَتْحُ بَابٍ اَوْ تَأْخِيْرُهُ عَنْ رَأْسِ الدَّرَبِ اِنْ أَذِنُوْا
Jalan yang kedua adalah jalan buntu. Diperbolehkan untuk mengeluarkan pintu pada jalan (gang) buntu milik bersama, jika (1) Para pemilik hak atas jalan tersebut memberi izin. (2) Orang yang mengeluarkan adalah muslim. (3) Tidak membahayakan pengguna jalan, dan (4) Tidak berbuat dhalim (aniaya). Diperbolehkan pula membuka pintu atau mengarahkannya ke jalan bila mereka mengizinkan. (Fathu al-'Allám, V/46)
Untuk jalan raya yang menjadi akses jalan utama dan jalur alternatifnya cukup jauh, seperti yang disampaikan Ketua Komisi Fatwa MUI Sidoarjo, adalah haram, karena merugikan dan menyusahkan banyak pengguna jalan umum.
Untuk penggunaan fasilitas umum sudah pernah diatur oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam. Misalnya jalan raya atau tempat berteduh dilarang untuk melakukan hal-hal yang mengganggu orang lain. Di hadis berikut adalah larangan membuang kotoran atau kencing di fasilitas umum, Nabi bersabda:
اﺗﻘﻮا اﻟﻻﻋﻨﻴﻦ: اﻟﺬﻱ ﻳﺘﺨﻠﻰ ﻓﻲ ﻃﺮﻳﻖ اﻟﻨﺎﺱ ﺃﻭ ﻓﻲ ﻇﻠﻬﻢ (ﺣﻢ ﻣ ﺩ) ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ
"Hindarilah dua tempat penyebab doa laknat yakni jalan umum masyarakat atau tempat berteduh mereka" (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abu Hurairah)
Sebagaimana disinggung oleh Gus Wahid, bahwa orang menikah ingin mendapat keberkahan doa namun ternyata mendapat doa tidak baik dari banyak orang yang terganggu saat tidak bisa melintasi jalan umum karena ditutup total.
Demikian semoga bermanfaat.