Fatayat NU Jatim Kampanye Jurnalisme Damai, Ini Sebabnya
Di tengah suatu konflik dan ketegangan dalam masyarakat, menjadikan kedua belah bertikai, jurnalis harus tetap menjaga sikap profesionalitasnya. Satu kata kunci menjadikan prinsip dasar jurnalisme damai adalah penghargaan pada nilai kemanusiaan.
Dalam kode etik jurnalistik, seorang jurnalis harus independen, akurat dan berimbang. Prinsip dasar ini sama dengan moderasi beragama: adil dan berimbang.
Hal itu terungkap dalam kegiatan Pimpinan Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama Jawa Timur, pada pelatihan jurnalistik dengan melibatkan sejumlah content creator dan jurnalis media massa, bertempat di Grand Swiss-Bellhotel Darmo Surabaya, pada Selasa - Kamis (16-18 Juli 2024).
Kegiatan yang terselenggara atas kerja sama International NGO Forum on Indonesian Development tersebut berupaya membangun literasi digital yang berperspektif inklusif dan positif untuk disajikan kepada masyarakat.
Pengalamannya saat melakukan liputan terkait dengan agama, khususnya saat peristiwa serangan teror di Surabaya tahun 2018. Pemberitaan teror itu banyak dituliskan oleh media asing.
Penyelesaian Konflik
Dalam presentasinya, Riadi Ngasiran, jurnalis senior NU mengingatkan, ketika masyarakat berkonflik konsep jurnalisme damai sangat penting dipraktikkan.
Jurnalisme damai menjadi pers berperan mendamaikan dalam penyelesaian konflik dan bukan justru menjadikan konflik kian menganga.
"Dalam kaitan ini dikembangkan jurnalisme damai: melakukan riset terlebih dahulu dan menjumpai narasumber yang meyakinkan," tutur editor ngopibareng.id.
Menurut mantan Pemred Majalah Aula ini, pada, saat meliput konflik agama yang menjadi pegangan ketika menulis adalah kekerasan apapun yang mengatasnamakan agama yang menjadi ancaman terbesar adalah tindakan pelaku, BUKAN agamanya.
"Memang, sejauh ini pemberitaan tentang agama masih sebatas kegiatan seremonial dan peristiwa. Jurnalis harus juga mengangkat pemberitaan agama dari sisi kemanusiaannya untuk memberikan citra positif," tutur Riadi, yang juga khadam Media Center PWNU Jatim.
"Penting pemahaman para jurnalis untuk mempromosikan perdamaian dan bukanlah memberitakan kekerasan atas nama agama, " kata Riadi.
Dalam kegiatan diikuti sejumlah content creator dan jurnalis media massa dengan menghadirkan narasumber berkompeten. Selain Riadi Ngasiran, juga Fikry Emeraldien (Dosen UINSA), Tedi Kholiludin (ELSA), Miftah Faridl (AJI), dan Pendeta Andre.
Bebas Akses Informasi
Ketua Fatayat NU Jatim, Dewi Winarti pada saat membuka kegiatan ini menegaskan komitmen organisasi yang dipimpinnya untuk aktif di tengah masyarakat dalam menyelesaikan masalah.
Bagaimana dengan kaitan dunia jurnalistik? “Ini kami merespon kondisi hari ini dimana masyarakat kita cukup bebas dalam mengakses informasi apapun” ujarnya.
Pihaknya berharap, dengan terbangunnya komunikasi yang baik dapat saling berbagi informasi dalam membangun komitmen pemberitaan yang inklusif.
“Sehingga perlu literasi digital yang inklusif dan positif ini disajikan dengan baik dibantu oleh rekan-rekan jurnalis” sambung perempuan yang akrab disapa mbak dewi ini.
Menurutnya, perkembangan teknologi informasi membuat sejumlah kalangan dengan mudah menyajikan informasi dalam bentuk pemberitaan maupun konten sosial media. Tidak jarang informasi yang disajikan tidak cukup inklusif dan memicu perpecahan.
“Seringkali kita melihat pemberitaan yang tidak cukup inklusif dan memicu perpecahan” ungkap Dewi Winarti.
Sebagai organisasi yang turut memperjuangkan hak-hak kesetaraan terhadap kelompok perempuan, Dewi Winarti juga menekankan kesadaran dalam membangun kontra narasi negatif dan menciptakan nilai-nilai kesetaraan dan inklusifitas.
“Sehingga tidak hanya berimbang, pemberitaan yang disajikan ke masyarkat dapat mengedepankan nilai-nilai kesetaraan dan inklusivitas” pungkasnya.