Fanatisme Buta, Haedar: Disebabkan Pemahaman Agama yang Tak Tepat
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengingatkan, fanatisme beragama merupakan salah satu keyakinan untuk meyakini agama secara mendalam dan kuat. Terkait hal itu, secara otentik dapat dibenarkan dan menjadi normal pada awalnya.
"Namun, paham fanatisme beragama itu dipahami secara parsial dalam dimensi bayani tekstual yang tidak utuh," tutur Haedar Nashir, dalam keterangan Selasa, 9 Februari 2021.
Selain itu juga tidak ada istiqra’ ma’nawi (upaya pengembangan hukum Islam) di dalam memahami ayat dan tidak mencoba mencari hubungan antar ayat. Maka justru terjadi pemahaman-pemahaman dangkal yang pada akhirnya melahirkan fanatisme buta pada agama.
“Fanatiknya sudah cukup baik, tapi butanya itu yang gak baik,” tegas Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir.
Oleh karena itu, menurut Haedar, Islam yang benar harus diyakini dalam tiga perspektif pemahaman. Dalam hal ini Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani (mendalam), burhani (multi perspektif), dan irfani (luas).
“Ketika kita hanya mengambil satu aspek pemahaman saja, yakni pemahaman yang mendalam dan kuat tentang Islam, serta mengabaikan perspektif burhani dan irfani, tentu hal tersebut akan menimbulkan pemahaman yang fanatik buta, ekstrim, dan intoleran,” terangnya.
Akibat dari pemahaman yang sempit tentang Islam justru menyebabkan seorang muslim mengalami fanatisme buta juga membabi buta. Dalam kelompok masyarakat sendiri kerap terjadi konflik beragama dan akibatnya kesadaran beragamanya tidak mudah pulih. Hal tersebut bisa terjadi jarena faktor traumatik dalam beragama. Sehingga mereka punya kecenderungan melihat orang lain yang berbeda sebagai ancaman.
“Itulah yang sering disebut dengan faktor traumatik di dalam beragama, yang kemudian melahirkan sikap destrifasi relatif, selalu reaktif, konfrontatif di dalam melihat persoalan,” ujarnya dalam dalam Seminar Nasional Memperingati Haul ke-1 KH. Salahuddin Wahid.
Traumatik ini, lanjut Haedar, tidak hanya disebabkan karena konflik, tapi juga karena kegagalan-kegagalan umat Islam di masa lampau. Sehingga melahirkan generasi baru yang memendam dendam generasi terdahulu yang gagal. Hal ini sering terjadi dan bahkan menjadi bagian dari etos perjuangan, membangkitkan kejayaan masa lalu yang gagal.
Faktor lain yang memperngaruhi, yakni adanya perebutan kepentingan (politik) yang sangat kuat. Saat orang sudah bisa bersatu dengan adanya keragaman tetapi di bujuk rayu oleh kekuasaan maka yang terjadi perpecahan hingga permusuhan. Jika gesekan semacam ini selalu terjadi dan membesar terbentuklah sikap menjadi ekstrem, eksklusif, dan intoleran.
“Jika sudah seperti ini sulit bagi kita untuk keluar dari jebakan-jebakan fanatisme buta,” kata Haedar Nashir.
Haedar menambahkan, karakter sosiologis masyarakat Indonesia. Yakni, moderat. Dahulu saat mayoritas masyarakat Indonesia beragama Hindu, Islam hadir dengan damai tanpa kekerasan atau peperangan. Maka, proses masuknya Islam itu adalah proses moderasi yang ada dalam masyarakat Indonesia.