Falsifikasi Makna Terhadap Pidato Ketua Umum PDI Perjuangan
Oleh: Haryadi
Pasca perayaan HUT PDI Perjuangan ke-50, banyak potongan video dan potongan kalimat Pidato Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, beredar di media sosial. Potongan video dan potongan kalimat itu cenderung mengarah pada upaya membenturkan Megawati dan PDI Perjuangan dengan Presiden Jokowi. Semua dilakukan lewat narasi di media massa partisan. Seakan PDI Perjuangan pamer kuasa di hadapan Presiden Jokowi. Bahkan beberapa pengamat di media partisan itu menyatakan, bahwa Presiden Jokowi merupakan subordinat PDI Perjuangan.
Ulang tahun emas partai terbesar di Indonesia tentu menjadi momen bagi banyak pihak untuk mengambil kemanfaatan. Bisa dimanfaatkan dalam dua sisi yang saling berpunggungan. Dalam konteks di atas, falsifikasi makna politik menjadi fokus dalam berbagai potongan video dan kalimat di media sosial yang mencerminkan, bahwa betapa manipulasi politik dipandang sebagai sarana pengaruh ideologis, spiritual dan psikologis pada kesadaran massa untuk memaksakan ide dan nilai tertentu; pengaruh yang disengaja pada opini publik dan perilaku politik untuk mengarahkan mereka dengan cara tertentu.
Memang falsifikasi makna dalam komunikasi politik memiliki kekuatan signifikan, karena dilakukan tanpa pandang bulu untuk objek falsifikasi. Falsifikasi ini akan menjadi masalah ketika kepentingan individu atau sekelompok orang yang sengaja menawarkan sudut pandang yang tak memberi ruang bagi publik untuk memahami secara utuh. Konsekuensinya adalah multitafsir (yang bisa jadi disengaja demikian) yang tidak bijak dan tidak mendewasakan.
Dalam momen perayaan ulang tahun emas PDI Perjuangan lalu, cara yang dilakukan Megawati Soekarnoputri merupakan pesan kekeluargaan yang akrab. Seperti layaknya ibu kepada anak-anaknya. Perlu dipahami pula memang acara itu dimaksudkan sebagai perayaan di dalam keluarga besar dan masyarakat biasa. Sebagai catatan, perayaan HUT PDI Perjuangan itu memang merupakan acara internal partai. Terlihat dengan yang paling banyak diundang hadir adalah level akar rumput yaitu pengurus ranting partai dan Satgas Cakra Buana. Karena itu, pimpinan partai politik lain yang merupakan level elite memang tak diundang. Bahkan level menteri di Kabinet Presiden Joko Widodo tak semuanya diundang.
Laiknya dalam keluarga, bisa lebih terbuka dalam berbicara. Pesan sebagai keluarga besar adalah ciri khas Bu Mega untuk membangun internal political market dan militansi para kader PDIP termasuk salah satu partai yang dengan political ID atau identitas politik yang paling kuat. Itu berkat kekuatan mesin politik internal yang dibangun Bu Mega selama bertahun-tahun.
Mari kita menengok sejenak ke belakang. Pertama, PDI Perjuangan pada Pemilu 1999 memenangi pemilu legislatif dengan raihan suara 33,75%. Rekor perolehan suara dalam era awal reformasi di Indonesia. Kemenangan telak yang digapai PDI Perjuangan pada pemilu 1999 itu setidaknya bermuara pada dua faktor. Pertama, momentum reaksi balik atas praktik kekuasaan otoriter Orde Baru saat itu. PDI Perjuangan dalam konteks ini tersimbolisasi sebagai pusat kekuatan perlawanan terhadap kekuasaan otoriter Orde Baru. Figur Megawati yang menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan, menjadi anti-tesis atas figur Suharto penguasa Orde Baru. Megawati mencuat sebagai solidarity maker dengan pengalaman disengsarakan oleh kekuasaan Orde Baru; Kedua, PDI Perjuangan dengan cepat menjelma menjadi partai yang identitas kepartaiannya sangat kuat. Dan, menemukan tempat bersandar yang pas dalam sistem pemilu proporsional tertutup, yang kala itu ditetapkan sebagai pilihan.
Dua hal itu yang menjadi penjelas utama, mengapa PDI Perjuangan begitu perkasa memenangi pemilu legislatif 1999. Bahwa setelah Pemilu 1999 ada "kecelakaan demokrasi", itu hal lain. Yang dimaksud dalam hal ini adalah falsifikasi prosedur demokrasi di MPR, dengan menjegal hak PDI Perjuangan yang seharusnya memegang tampuk Presiden dengan pengalihan ke kekuatan lain, yaitu Amien Rais. Selanjutnya, Pemilu 2004 dan 2009, PDI Perjuangan gagal menjadi champion. Bahkan terlempar keluar dari kekuasaan. PDI Perjuangan praktis 10 tahun puasa kekuasaan. Selama 10 tahun itu merupakan tahun penderitaan bagi PDI Perjuangan. Karena hakikatnya, tak ada satu pun partai politik di Indonesia suka berada di luar kekuasaan.
Berikutnya lagi, pada Pemilu 2014 dan 2019, PDI Perjuangan merebut kembali kekuasaan yang hilang selama 10 tahun di era reformasi. Kemenangan Pemilu legislatif dan sekaligus pilpres pada tahun 2014 dan 2019 itu, merupakan rekor baru dalam politik kepemiluan di Indonesia. Karena, sepanjang era reformasi, belum pernah ada partai yang memenangi Pemilu berturutan dua kali. Faktor penentu kemenangan dua kali berturutan itu adalah karena PDI Perjuangan beruntung memiliki dua figur role model sekaligus, yaitu Megawati dan Jokowi. Kekuatan dua figur ini menjadi perekat identitas partai yang begitu kuat. Sekaligus menjadi penentu kemenangan PDI Perjuangan secara berturutan. Betapa pun potensi kekuatannya secara kelembagaan diperlemah oleh pemberlakuan sistem pemilu proporsional terbuka.
Nah, sebenarnya jika kita bisa menelaah lebih dalam, sesungguhnya evidence di atas menguatkan betapa penting posisi Pak Jokowi dalam point of view Bu Mega selaku Ketua Umum PDI Perjuangan, tanpa melupakan kejelian Bu Mega sebagai leader maker dan jiwanya sebagai seorang negarawan.
Kutipan pernyataan Bu Mega adalah begini. ‘Sudah jelas kita ini adalah organisasi partai politik. Organisasi itu datangnya dari organ. Badan kita ini semua juga terdiri dari organ. Ketua umum adanya di mana? Pak Jokowi sebagai presiden di mana? Di sini “kepala”, memikirkan rakyat. Kalau Pak Hasto dimana? Di sini (tujuk dahi). Karena pikiranku kusampaikan sama Sekjen, saya minta berpikir bersama pengurus DPP saya. Kota semua ini organ. Anak ranting itu mungkin kuku. Gampangnya, untuk ingat, kalau Ibu pusing, tidak bisa berpikir, macet, kalian tidak bisa kerja. Jadi semua itu harus bonding, menyatu jadi kalau saya instruksi jangan hanya sebagai kertas tetapi dijalankan.“
Bu Mega menempatkan Presiden Jokowi di tempat tertinggi partai dalam kesatuan gerak dalam memikirkan dan memperjuangkan nasib rakyat. Tak ada subordinasi. Dan sama seperti tubuh, kepala tak lebih penting dari tangan atau kuku sekalipun. Tak ada keindahan organ tubuh, jika hanya ada kepala tanpa tangan dan kuku. Bu Mega jelas ingin mengatakan bahwa akar rumput partai dan masyarakat sama pentingnya dengan dirinya maupun dengan Presiden Jokowi dalam kesatuan tubuh bernama Indonesia.
Maka bijak memaknai agar kepentingan yang terbungkus dalam falsifikasi pemaknaan dalam komunikasi politik tidak mendapatkan tempat dalam upaya memecah PDI Perjuangan dan Presiden Jokowi.
Sebagai penutup, ada baiknya untuk menengok ke belakang ke pidato Bu Mega sebagai Ketua Umum dalam Kongres PDIP IV di Bali tahun 2015. Saat itu, Bu Mega menyampaikan soal sikap politik PDI Perjuangan sebagai partai pengusung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kutipan pidato Bu Mega adalah sebagai berikut.
“Kesadaran awal ketika saya memberikan mandat kepada Bapak Jokowi, adalah komitmen ideologis yang berpangkal dari kepemimpinan Trisakti. Suatu komitmen untuk menjalankan pemerintahan negara yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Konsepsi ini adalah jawaban atas realitas Indonesia yang begitu bergantung dengan bangsa lain. Konsepsi Trisakti inilah yang menjadi kepentingan utama partai."
Pesan moral yang penting dari keseluruhan uraian ringkas ini adalah, letakkanlah tiap kalimat dalam konteksnya. Jangan memenggal tanpa konteks. Kecuali pemenggalan itu sengaja dilakukan untuk motif dan kepentingan politik nakal. Nah!
*) Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Politik - FISIP Unair