Fakultas Hukum UMM Resmi Miliki 3 Guru Besar Baru
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) resmi memiliki tiga guru besar baru, yakni Profesor Sidik Sunaryo, Profesor Tongat, dan Profesor Fifik Wiryani. Pengukuhan ketiga guru besar baru ini digelar di Dome UMM, Kota Malang, Rabu, 7 Februari 2024.
Setelah dikukuhkan, Profesor Tongat yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UMM ini mengatakan bahwa pengukuhan tersebut adalah momentum titik awal bagi dirinya untuk membaktikan keilmuannya di tengah-tengah masyarakat.
Profesor Tongat melihat, jabatan sebagai guru besar ini memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap aplikasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
"Saya kira, pengukuhan guru besar ini hanya sebagai awal. Ini bukan titik akhir, tetapi sebagai titik awal para guru besar untuk lebih meningkatkan kiprahnya di dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bagaimana keterlibatan kita di sana (masyarakat)," ungkapnya.
Profesor Tongat mengatakan banyak aspek yang harus dikerjakan para guru besar ilmu hukum di masyarakat. Apalagi, dalam situasi Pemilu 2024, dia menyebutkan masyarakat sangat membutuhkan sumbangsih para guru besar ilmu hukum.
Salah satu bentuk sumbangsihnya tersebut, kata dia, adalah dengan turut serta memastikan agar kontestasi Pemilu 2024 dapat berlangsung lancar, tidak anarkis dan yang lebih penting, menghasilkan pemimpin sejati.
"Seperti tanggal 14 Februari 2024, membutuhkan kiprah guru besar ilmu hukum. Di berbagai perguruan tinggi serta lembaga akademik, mereka mengambil peran dan memastikan agar proses lima tahunan ini berjalan baik, lancar, dan tidak ada anarkis. Kita mendorong agar terpilih pemimpin yang lebih baik bagi masyarakat," ujarnya.
Terkait seruan atau pernyataan sikap yang disampaikan para akademisi di beberapa perguruan tinggi belakangan ini, dia menilai bahwa hal itu adalah murni suara hati dari para pendidik atau guru besar.
Sebagai seorang akademisi, lanjut Profesor Tongat, sudah sepatutnya mengambil posisi netral dalam kontestasi Pemilu 2024, tetapi tetap memberikan pandangan yang bermanfaat melalui keilmuannya.
"Saya kira, sebagai akademisi, harus berada di posisi netral. Kami harus tetap berada di posisi melindungi dan mengayomi semua pihak. Akademisi menjadi filter terakhir dari proses-proses yang saat ini sedang berlangsung," ujarnya.
Sementara, Profesor Sidik berbicara tentang kajiannya terkait keadilan eklektik. Menurutnya, proses peradilan sering kali menjadi ajang kontestasi memperebutkan jumlah, bukan proses untuk mengerucutkan nilai hikmah.
Sementara, kata dia, keadilan eklektik mengutamakan nilai hikmah di atas nilai jumlah. ”Nilai hikmah itu mengandung makna ajaran, sedangkan nilai jumlah hanya sekadar menjelaskan ujaran,” ujarnya.
Saat ini, Profesor Sidik mengungkapkan bahwa hilirisasi proses peradilan yang terjadi di Indonesia belakangan ini ditujukan untuk memperbanyak jumlah putusan, bukan untuk membangun nilai hikmah.
Ia menyebutkan, proses pemidanaan ditandai dengan jumlah bilangan yang bersifat penderitaan dan jumlah denda material yang bersifat kerugian. Sebaliknya, konsep keadilan eklektik memandang prinsip pemidanaan sebagai elaborasi nilai-nilai hikmah untuk memulihkan dan mengembalikan manusia, utamanya pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat kesemestaan.
Lebih lanjut, Profesor Fifik menjelaskan mengenai Hak Menguasai Negara (HMN), konflik, dan keadilan agraria. Ia menjelaskan, meski Indonesia telah melewati transisi politik dari rezim otoritarian ke pemerintahan yang relatif demokratis, namun Indonesia masih mempertahankan konsep HMN yang diartikulasikan secara hegemonik oleh negara.
Ia mencontohkan misalnya dalam sektor perkebunan. Masyarakat hukum adat terpinggirkan karena harus mendapat rekognisi terlebih dahulu dari negara. Sehingga bisa timbul hak untuk mendapat ganti rugi atas tanah.
Oleh karena itu, Profesor Fifik berharap penelitiannya bisa mendorong terciptanya budaya baru dalam penyelenggaraan negara, khususnya di sektor agraria, sehingga dapat mencapai keadilan yang dicita-citakan.
”Output yang sebenarnya ingin saya capai adalah melakukan redefinisi mengenai konsep HMN yang semula penuh nuansa hegemonik beralih menjadi konsep HMN yang partisipatif dan berkeadilan,” pungkasnya.
Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih yang turut datang dalam pengukuhan itu mengharapkan para guru besar bisa berperan banyak meningkatkan kualitas keilmuan hukum dan menjaga moralitas bangsa.
Najih menilai, keberadaan guru besar dianggap memiliki posisi penting sebagai pemikir dan contoh akademik di lembaga pendidikan. Ia menyebutkan, akademisi memiliki waktu yang cukup jernih untuk membuat perenungan dan telaah yang jauh dari hingar bingar kepentingan politik.
Oleh sebab itu, Ketua Ombudsman RI mengatakan, gerakan moral yang dilakukan oleh para guru besar telah memberikan bimbingan dan arah kepada semua pihak, baik itu akademisi, penyelenggara negara, maupun masyarakat.
”Saya kira, sangat penting peranan guru besar dan intelektual di kampus-kampus dalam menyusun kerangka kerja akademik dan moral," kata Najih yang juga dosen di Fakultas Hukum UMM ini.