Faktor Jatuhnya Pesawat Sriwijaya SJ 182 Terungkap, Ini Faktanya
Faktor penyebab kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang terjadi pada 9 Januari 2021 lalu akhirnya terungkap. Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) menyebutkan ada enam faktor penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 tersebut.
Diketahui, pesawat dengan nomor penerbangan SJ 182 rute Jakarta-Pontianak itu jatuh di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta pada awal tahun lalu. Kecelakaan pesawat buatan tahun 1994 ini menewaskan 62 orang yang terdiri atas 50 penumpang dan 12 kru pesawat.
Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Nurcahyo Utomo menyimpulkan ada enam faktor yang menyebabkan kecelakaan pesawat Sriwijaya Air Sj 182 berdasarkan urutan waktu kejadian.
"KNKT menyimpulkan faktor yang berkontribusi pada kecelakaan ini ada 6. Kami mengacu dari dokumen prosedur standar ICAO Annex 13," ungkap Nurcahyo dalam jumpa pers di Kantor KNKT, Jakarta Pusat.
Berikut adalah enam faktor penyebab kecelakaan Sriwijaya Air Sj 182
1. Perbaikan Sistem Autothrottle
Menurut Nurcahyo, faktor pertama yang berkontribusi dalam kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182 adalah karena tahapan sistem autothrottle yang dilakukan belum mencapai bagian mekanikal.
“Jadi ada beberapa laporan kerusakan autothrottle, sudah diperbaiki dan sudah dilakukan penggantian komplemen, namun demikian pergantian ini belum sampai ke bagian mekanikal," ungkap Nurcahyo.
Autothrottle merupakan sistem pengatur gas yang memungkinkan pilot menentukan kecepatan dan dorongan pesawat secara otomatis.
2. Thrust Lever
Faktor berikutnya adalah karena thrust lever kanan tidak mundur sesuai permintaan autopilot karena adanya hambatan pada sistem mekanikal.
Alhasil, thrust lever kiri mengkompensasi dengan terus bergerak mundur sehingga terjadilah asymmetry. "Asymmetry menimbulkan perbedaan tenaga mesin yang menghasilkan gaya yang membuat pesawat udara pesawat bergeleng (yaw) ke kiri," kata Nurcahyo.
Ia menambahkan, secara aerodynamic, yaw akan menyebabkan pesawat miring dan berbelok ke kiri.
3. Keterlambatan CTSM
Keterlambatan Cruise Thrust Split Monitor (CTSM) untuk menonaktifkan autothrottle pada saat asymmetry disebabkan flight spoiler yang memberikan nilai lebih rendah.
Hal ini kemudian berakibat pada asymmetry yang semakin besar. Keterlambatan CTSM menonaktifkan autothrottle itu menyebabkan perbedaan tenaga mesin semakin besar, serta membuat pesawat yang harusnya berbelok ke kanan malah berbelok ke kiri.
Kondisi tersebut merupakan konfirmasi bias yaitu kondisi di mana seseorang mempercayai informasi yang mendukung opini atau asumsinya.
4. Complacency pada Otomatisasi dan Konfirmasi Bias
Faktor berikutnya adalah karena kepercayaan atau complacency pada otomatisasi bias mungkin telah mengakibatkan berkurangnya monitoring.
Sehingga, tidak disadari adanya asymmetry dan penyimpangan arah penerbangan.
5. Pesawat Berbelok ke Kiri
Pesawat yang seharusnya berbelok ke kiri justru berbelok ke kanan. Sementara itu, kemudi miring ke kanan serta kurangnya monitoring mungkin telah menyebabkan asumsi pesawat berbelok ke kanan, sehingga tindakan pemulihan yang dilakukan tidak sesuai.
6. Belum Ada Panduan UPRT
Belum adanya aturan serta panduan terkait Upset Prevention and Recovery Training (UPRT) akan mempengaruhi proses pelatihan oleh maskapai guna menjamin kemampuan serta pengetahuan pilot dalam mencegah dan memulihkan kondisi upset secara efektif dan tepat waktu.
Advertisement