Fakta RUU TPKS Disahkan, Pelecehan Seksual Sah jadi Tindak Pidana
Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akhirnya disahkan jadi undang-undang dalam sidang paripurna DPR yang dipimpin oleh Puan Maharani hari ini, Selasa 12 April 2022. Kini, tindakan pelecehan seksual fisik dan non fisik, masuk dalam kategori tindak pidana.
Perjalanan RUU TPKS
Pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang disambut dengan meriah oleh banyak aktivis, terutama perempuan. RUU ini melampaui banyak rintangan dan kendala selama 10 tahun terakhir, sejak digagas oleh Komnas Perempuan, tahun 2012 lalu.
Tak seperti RUU lain yang bisa cepat, rumusan RUU TPKS baru disebut matang di tahun 2014, kemudian draft mulai masuk di parlemen tahun 2016. Saat itu, RUU TPKS kemudian diusulkan untuk masuk dalam pembahasan Prolegnas 2016.
Bukannya lebih cepat selesai, RUU TPKS tak berjalan mulus hingga ketok palu. Draft yang sering dilabel sebagai mengesahkan perzinaan itu justru beberapa kali terlempar keluar dari Prolegnas, terakhir tahun 2020. RUU TPKS keluar bersama 16 RUU lainnya.
Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit," ucap Marwan Dasopang, Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang mengusulkan agar RUU PKS ditarik dari pembahasan, dikutip dari Suara, Rabu 13 April 2022.
Alotnya perdebatan di dalam parlemen, membuat banyak aktivis turun ke jalan di sejumlah peristiwa. Tarik ulur kepentingan politik juga mewarnai perjalanan RUU TPKS di dalam parlemen.
"Itu bisa ada di semua partai jadi bukan hanya partai yang kita anggap sebagai konservatif, tetapi di sana juga ada kepentingan politik pendek yang selalu mereka hitung," kata Luluk Nur Hamidah, anggota Baleg DPR sekaligus aktivis perempuan, 8 Desember 2021.
Hingga, pada sidang paripurna digelar Selasa, 12 April 2022, dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, RUU TPKS ini akhirnya disahkan menjadi undang-undang.
"Apakah Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-undang?" tanya ketua DPR, Puan Maharani disambut dengan persetujuan dari berbagai fraksi DPR dan ketokan palu pengesahan RUU TPKS.
Delapan fraksi menyetujui RUU TPKS, yaitu Fraksi PDI Perjuangan, F-Golkar, F-Gerindra, F-NasDem, F-PKB, F-PAN, F-Demokrat, dan F-PPP. Sedangkan satu fraksi tidak menyetujui pengesahan, yaitu F-PKS dengan alasan menunggu pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dikutip dari Tirto.
Pelecehan Seksual jadi Pidana
Disahkannya RUU TPKS menjadi undang-undang menjadi tonggak baru perlindungan atas penyintas kekerasan seksual, yang diberikan oleh negara.
Dalam draft RUU TPKS, undang-undang itu memperluas tindakan kekerasan seksual tidak hanya sebatas perkosaan saja. Pelecehan seksual baik fisik dan non fisik yang dilakukan berkaitan dengan bagian tubuh serta hasrat seksual, sehingga menyebabkan orang lain terhina, direndahkan, atau dipermalukan, juga menjadi salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual dengan delik aduan.
Ancaman penjara atas pelecehan seksual pun tergolong tinggi, antara 3 hingga 12 tahun penjara dengan mempertimbangkan status pelaku dan korban.
Hal lain termasuk eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Pengakuan atas Hak Korban dan Saksi
Selain itu, RUU TPKS juga memberikan jaminan atas perlindungan terhadap korban serta saksi, baik secara materiil pun psikis. Mulai dari hak atas penanganan kasus, perlindungan, hingga pemulihan pasca tindak kekerasan seksual.
RUU TPKS juga mengatur penanganan perkara kekeran seksual di antaranya harus diselesaikan di pengadilan, pendampingan korban dan saksi, hingga adanya restitusi atau putusan ganti rugi terhadap korban.
Tak cukup di situ, RUU TPKS juga mendorong partisipasi masyarakat untuk berperan dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual. Bentuknya beragam mulai dari sosialisasi, ikut aktif melaporkan, mencegah, memantau kinerja aparat, membangun pemulihan korban berbasis komunitas.
Pemerintah juga diminta memberikan pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum dan pendamping korban. Semuanya diatur dalam RUU TPKS.