Fakta Tes Keperawanan dan Berbagai Kontroversinya
Tes keperawanan kembali banyak dibicarakan setelah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa meminta kepada jajarannya, untuk menghapus tes keperawanan pada prajurit perempuan. Di dunia, tes keperawanan selalu memantik kontroversi, dan banyak dikaitkan dengan upaya menilai kesucian perempuan, dari rusak atau tidaknya selaput dara.
Tes Keperawanan
Tes keperawanan umumnya dilakukan dengan metode dua jari. Pemeriksa umumnya adalah tenaga kesehatan, pimpinan komunitas, atau anggota aparat penegak hukum. Mereka akan meletakkan dua jari ke dalam vagina perempuan.
Jari telunjuk dan jari tengah itu akan membantu peneliti untuk melihat rusak atau tidaknya selaput dara di dalam vagina perempuan, dilansir dari issm.info.
Selaput dara yang rusak, sobek, atau vagina yang longgar, banyak dijadikan indikator jika perempuan itu pernah melakukan hubungan seksual. Sebab diyakini, selaput dara akan rusak melalui penetrasi dalam hubungan seksual.
Di banyak kebudayaan, keperawanan perempuan dijadikan patokan kesucian dan moralitas perempuan. Kondisi berbeda tidak diterapkan pada laki-laki. Keperawanan banyak dipertanyakan ketika perempuan hendak menikah atau untuk keperluan bekerja. Perempuan yang tak perawan akan dinilai tak suci, tak bermoral, dan tidak patut dihargai.
Kontroversi Tes Keperawanan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melarang tes keperawanan yang ditujukan untuk perempuan. Sejumlah temuan diajukan oleh WHO sebagai landasan sikapnya.
Dilansir dari laman WHO, badan PBB itu menyebut bahwa tes keperawanan melanggar sejumlah hak dasar manusia. Di antaranya adalah hak untuk terlindungi dari diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender. Sebab tes keperawanan sering kali ditujukan hanya untuk perempuan.
WHO juga menyebut tes keperawanan merampas hak untuk hidup. Sejumlah perempuan disebut berupaya mengakhiri hidupnya dan bunuh diri setelah mengalami tes keperawanan. Perempuan merasa khawatir jika keperawanannya justru hilang akibat tes tersebut, serta malu dan tertekan akibat pemeriksaan pada alat kelaminnya.
Selanjutnya, pelanggaran atas hak privasi dan integritas. Tes keperawanan disebut memiliki dampak jangka panjang bagi objeknya, baik fisik, psikis, dan juga konsekuensi sosial ekonomi. Apalagi jika tes tersebut dilakukan pada korban kekerasan seksual, untuk memeriksa keperawanan mereka.
Berikutnya, hak untuk bebas dari siksaan, dan perlakukan yang tak manusiawi. Bahwa laporan khusus terkait kekerasan seksual PBB menyebut jika tes keperawanan adalah bagian dari kekerasan seksual.
Pandangan Medis
Tes keperawanan dilakukan dengan sejumlah metode, pertama dengan menggunakan dua jari, dan kedua pemeriksaan selaput dara atau ukuran terbukanya selaput dara.
Namun WHO menyebut jika tes keperawanan tak bisa membuktikan seseorang perawan atau tidak.
Dalam dokumennya, WHO menyebut jika ukuran dan bentuk selaput dara perempuan berbeda-beda satu dengan yang lain. Temuan WHO, selaput dara yang normal ditemukan baik pada perempuan yang tak memiliki pengalaman penetrasi melalui hubungan seksual pun yang telah melakukan penetrasi.
Selain itu, rusaknya selaput dara juga bisa terdampak aktivitas lain yang tidak berkaitan dengan penetrasi melalui hubungan seksual.
Advertisement