Fakta Startup Dunia Diterpa Gelombang PHK, Shopee Indonesia Aman?
Puluhan ribu karyawan dari berbagai startup di dunia jadi korban PHK massal sejak awal 2020. Meski angkanya sempat melambat, PHK kembali terjadi ketika pandemi melandai. Salah satu yang juga melakukan PHK adalah Shopee. Meski Shopee Indonesia aman dari PHK.
PHK Massal pada Startup
Gelombang PHK melanda startup di berbagai negara. Pada Mei, sedikitnya 17 ribu karyawan kena PHK di 71 perusahaan startup di seluruh dunia. Total ada 50 ribu pegawai startup di PHK jika dihitung sejak April-Mei di tahun 2020. Angkanya kemudian melambat dan startup berlomba ekspansi serta merekrut pegawai baru.
Situs pelacak PHK pada startup dunia Layoffs.fyi, mencatat gelombang PHK massal tersebut. Seperti dikutip detikINET.
Data tercatat ada 808 startup melakukan PHK di seluruh dunia. Dampaknya, diperkirakan ada 135.302 pegawai startup kena PHK. Data ini dihitung sejak 11 Maret 2020, di fase awal pandemi.
20 besar startup melakukan PHK paling besar di antara yang lain, didominasi oleh startup yang berbasis di Amerika Serikat, kemudian, Eropa, China, dan juga India.
Terdapat 11 perusahaan startup di Amerika Serikat mem PHK total belasan ribu karyawannya. Seperti diketahui, pusat startup Amerika memang ada di Silicon Valley yang masuk dalam kawasan San Francisco Bay Area.
Sedangkan dari Asia Tenggara, hanya ada Singapura yang masuk dalam 20 besar startup yang paling banyak PHK, yaitu Agoda.
PHK Massal di Shopee
Terkini, raksasa e-commerce Shopee akan melakukan PHK massal di sejumlah negara. Namun, Indonesia dipastikan lolos dari gelombang PHK massal. Handhika Jahja, Direktur Eksekutif Shopee Indonesia menyebutkan Shopee Indonesia terus menunjukkan performa yang baik.
Indonesia tetap menjadi pasar prioritas di mana Shopee terus mengembangkan bisnis untuk membantu lebih banyak UMKM dan pengguna mereka.
Data dari Shopee Indonesia menyebutkan mereka mempekerjakan lebih dari 20.000 karyawan dalam berbagai lini bisnis seperti Shopee, ShopeePay, dan ShopeeFood. Lebih dari 50 persen bergabung sejak dimulainya pandemi COVID-19.
Bahkan, dalam enam bulan terakhir, Shopee juga menghadirkan Kampus UMKM Shopee di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Mereka telah melatih puluhan ribu UMKM lokal keterampilan bisnis digital.
Namun, Shopee membenarkan kabar PHK massal terkait ShopeeFood dan ShopeePay di sejumlah negara. The Straits Times Singapura mengungkapkan memo dari CEO Shopee Chris Feng yang mengatakan Shopee melakukan sejumlah langkah penyesuaian. "Membuat beberapa penyesuaian untuk optimasi kegiatan kami di segmen dan pasar tertentu," kata Chris Feng.
Yang terkena dampak PHK adalah sebagian pegawai ShopeeFood dan ShopeePay di Meksiko, Argentina, Chile dan tim lintas batas untuk Spanyol. Shopee juga menutup operasional di Spanyol, Prancis dan India.
Shopee juga menegaskan, tetap melanjutkan operasi seperti biasa terutama di Amerika Latin dan Asia Tenggara. Mereka menjanjikan layanan untuk mitra, merchant dan konsumen tidak terganggu.
"Bisnis kami akan terus beroperasi seperti biasa di Shopee Meksiko, Argentina, Chile, serta untuk ShopeeFood dan ShopeePay di Asia Tenggara," kata Chris Feng.
Penyebab Gelombang PHK Massal
Meski pandemi telah melandai, gelombang PHK massal pada startup belum juga berhenti. Sempat merengguk manis dampak pembatasan aktivitas, kini kebiasaan penduduk mulai kembali normal seiring dengan dilonggarkannya pembatasan.
Sejumlah startup di Indonesia melakukan PHK sejak akhir Mei, di antaranya perusahaan dompet digital LinkAja, edtech Zenous, sampai platform e-commerce JD.ID memangkas sebagian karyawannya.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan bahwa pada saat ini, investor mulai melakukan perhitungan atas investasi besar yang sudah mereka tanamkan. Maka terjadilah efisiensi.
"Iya saat ini para investor sudah pada taraf ingin mengambil untung dari investasi gelombang startup pertama, setidaknya mengembalikan modal mereka sehingga startup didorong untuk IPO," kata Heru Sutadi, dikutip dari detikINET, pada Sabtu, 18 Juni 2022.
IPO atau penjualan saham perdana memang tujuan akhir sebuah startup sehingga semua pihak meraih timbal balik atas usaha dan dana yang sudah dikeluarkan. Di sisi lain, para investor juga semakin selektif dalam mengucurkan dana ke startup, tidak asal menyebar seperti dulu. "Sehingga investasi juga berat dan sudah selesai untuk model startup seperti e-commerce, fintech, edutech dan sebagainya," papar Heru.
Heru mengatakan masih ada beberapa startup mendapatkan pendanaan. Namun kini persaingan makin ketat dan adaptasi teknologi terbaru adalah faktor penting agar bisa bertahan.
Melihat situasi saat ini, Heru menilai memang bubble atau gelembung startup sudah bocor sehingga mungkin akan ada startup yang jadi korban. Hal itu tidak lepas dari sifat sebuah startup.
"Startup memang dari asal bersifat bubble karena secara fundamental bisnis memang fragile. Sebab, rata-rata tidak memiliki aset di mana aset dimiliki mitra. Seperti transportasi online yang memiliki motor atau mobil kan mitra. Menyediakan barang yang dijual semua disediakan mitra. Sehingga, rentan untuk gelembungnya pecah," imbuhnya.
Jika startup tidak survive, maka gelombang PHK akan terus terjadi hingga dua tahun ke depan, baik skala kecil atau menengah. Hanya startup yang sukses jadi unicorn saja yang terhindar dari gelombang PHK massal.