Fakta Sri Lanka Bangkrut, Terbelit Utang China atau IMF?
Sri Lanka sedang mengalami krisis ekonomi terparah sejak negara tersebut merdeka dari Inggris di tahun 1948. Perdana Menterinya, Gotabaya Rajapaksa sempat mendeklarasikan kondisi darurat, dan kemudian menangguhkan pembayaran utang luar negeri sebesar USD51 miliar. Kondisi krisis Sri Lanka banyak disebut sebagai dampak terjerat utang dari China. Sedangkan Sri Lanka juga tercatat sebagai kreditur besar dari Lembaga Keuangan Internasional (IMF).
Kondisi Sri Lanka
Sri Lanka adalah negara yang berada di benua Asia, tepatnya di Asia Selatan. Negara yang merdeka tak jauh dari kemerdekaan Indonesia itu, bertetangga dengan India, Nepal, dan juga Maladewa.
Usai merdeka dari Inggris, pertanian di Sri Lanka berkembang dengan tujuan mengisi pasar ekspor. Produknya ada teh, kopi, karet, dan juga rempah-rempah.
Pendapatan terbesar domestik berasal dari kegiatan ekspor dari komoditas tersebut. Uang yang masuk digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan.
Pola perekonomian dengan fokus ekspor kemudian juga merambah ke sektor garmen, juga perkembangan wisata menjadi sumber pemasukan Sri Lanka. Sehingga, perekonomian Sri Lanka mudah goyah jika terjadi penurunan pada ekspor. Begitu juga dengan sektor pariwisatanya.
Dampaknya, Sri Lanka sering mengalami defisit pembayaran. Guna menutupinya, negara tersebut banyak berutang pada IMF sejak 1965. Utang terakhir Sri Lanka pada IMF berlangsung di tahun 2016 dan turun selama tiga tahun.
Namun kondisi domestik dan global berdampak buruk pada perekonomian Sri Lanka. Ledakan bom di gereja Colombo berdampak buruk pada sektor wisata. Belum lagi pandemi di tahun 2020.
Produk pertanian teh dan karet gagal panen akibat larangan impor pupuk 100 persen. Impor dikurangi tujuannya mencegah cadangan uang asing habis akibat kegiatan ekspor yang menurun tajam dan kolapsnya sektor wisata, dikutip dari The Conversation, Jumat 15 April 2022.
Krisis di Sri Lanka
Kondisi tersebut kemudian menyebabkan harga pangan meroket tajam. Inflasi naik hingga 17,5 persen pada Februari 2022.
Sri Lanka yang menggantungkan bahan bakar, obat, dan bahan makanan terhadap impor pun mengalami krisis parah. Pada 10 April 2022, para dokter menyebut kondisi stok obat penting habis. Mereka bahkan menyebut risiko banyak orang meninggal atas kondisi ini, akan lebih parah dibanding dampak Covid-19, dikutip dari Al Jazeera, Jumat 15 April 2022.
Listrik pun hanya menyala maksimal 12 jam sehari di sejumlah wilayah. Protes untuk menurunkan PM Gota mulai mewarnai jalanan. Sedangkan pemerintah mengumumkan menunda pembayaran utang luar negeri, dengan total USD51 miliar atau sekitar Rp 733 triliun, akibat terkurasnya cadangan mata uang asing untuk mengimpor makanan.
China atau IMF
China banyak disebut sebagai penyebab bangkrutnya Sri Lanka. Fenomena ini sering disebut sebagai Diplomasi Jebakan Utang. Kondisi di mana negara kreditur terus memperpanjang utang untuk meningkatkan pengaruh politiknya pada negara peminjam. Sehingga bila tidak bisa membayar, nasib mereka tergantung pada belas kasihan negara kreditur.
Faktanya, The Conversation menyebut utang kepada China hanya menyumbang 10 persen utang luar negeri Sri Lanka di tahun 2020. Pemberi utang terbesar sebanyak 30 persen berkaitan dengan obligasi saham internasional. Selanjutnya Jepang menyumbang lebih tinggi dibanding China, sebanyak 11 persen.
Ada pula proyek infrastruktur Sri Lanka dan China dalam membangun pelabuhan Hambantota, yang disebut sebagai biang kerok krisis Sri Lanka. Faktanya, pelabuhan itu merugi dan kemudian pemerintah Sri Lanka menyewakannya pada Grup Pedagang China yang membayar USD1,12 miliar untuk kontrak 99 tahun.
Fakta lain, Sri Lanka juga terus berutang pada IMF, sejak merdeka hingga saat ini. Pinjaman dari IMF datang dengan sepaket persyaratan, di antaranya dorongan untuk terus mengurangi subsidi untuk makanan dan warga Sri Lanka.
Sistem perekonomian yang bertumpu pada ekspor juga membuat Sri Lanka banyak bergantung pada pinjaman dari IMF, terutama untuk memenuhi kebutuhan domestik ketika pasar ekspor goyah dan remitansi berkurang.
Pinjaman terakhir di tahun 2016 adalah yang ke-16, bisa jadi Sri Lanka akan utang lagi ke IMF untuk menutupi krisis ini.