Fakta Kemenangan Taliban, Memori Saigon 1975 Terulang di Kabul
Taliban, kelompok militan di Afghanistan, kini menunjukkan keberhasilannya menguasai negeri itu. Proses evakuasi staf diplomatik Amerika Serikat dari Ibu Kota Kabul, Afghanistan, pada Minggu 15 Agustus 2021 berlangsung dramatis. Hal itu mengingatkan kejadian di Saigon, Vietnam ketika kota itu direbut oleh milisi komunis pada 1975 silam.
Dalam proses evakuasi itu, helikopter Boeing CH-47 Chinook dan Sikorsy UH-60 Blackhawk milik militer Amerika Serikat sempat singgah di atap gedung Kedutaan Besar AS di Kabul.
Akibat pemandangan itu, memori evakuasi di Saigon 46 tahun silam sempat mengemuka dalam wawancara antara Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, dengan stasiun televisi ABC.
"Mari kita mundur sejenak. Ini jelas bukan Saigon," kata Blinken, seperti dikutip Reuters.
Peristiwa jatuhnya Saigon ke tangan Tentara Rakyat Vietnam terjadi pada 30 April 1975. Ketika itu Saigon adalah ibu kota Republik Vietnam atau Vietnam Selatan.
Saat Saigon dikepung, militer AS mengevakuasi sejumlah warga asing dan warga serta staf diplomatik mereka menggunakan helikopter melalui atap gedung kedutaan besar.
Hal itu juga menandai berakhirnya Perang Vietnam antara AS dengan kelompok komunis, dan awal dari reunifikasi dan pembentukan Republik Sosialis Vietnam.
AS mengerahkan sekitar 6.000 pasukan ke Kabul untuk membantu proses evakuasi staf diplomatik dan peralatan dari kota itu. Kedubes AS di Kabul juga sudah ditutup dan bendera yang berkibar juga diturunkan.
Evakuasi Diplomat Asing di Afghanistan
Sejumlah negara lain juga memulangkan staf diplomatik mereka dari Afghanistan.
Saat ini Bandara Internasional Kabul sangat sibuk karena sejumlah negara bergegas memulangkan staf diplomatik mereka. Selain itu, para penduduk Afghanistan yang akan mengungsi juga memadati bandara menunggu penerbangan supaya mereka bisa segera keluar dari negara itu.
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menyatakan saat ini mereka memperketat pengamanan di sekitar bandara. Mereka juga sementara mengutamakan penerbangan pesawat militer ketimbang sipil.
Kuasa Taliban di Afghanistan
Gerilyawan Taliban saat ini menduduki ibu kota Kabul dan juga istana kepresidenan. Saat ini utusan pemerintah Afghanistan dilaporkan tengah berunding dengan perwakilan Taliban di Qatar. Akan tetapi, Taliban dilaporkan minta pengalihan kekuasaan dari pemerintah secara menyeluruh dan menolak gagasan pemerintahan transisi.
Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, dan sejumlah pejabat kabur ke luar negeri. Melalui unggahan di media sosial Facebook, Ghani menyatakan alasan dia meninggalkan negaranya demi menghindari pertumpahan darah.
AS: Afghanistan Jadi "Negara Pariah"
Jauh sebelum momentum bersejarah di Afghanistan, pihak Amerika Serikat mulai mengkhawatirkan terjadinya ambil alih kekuasaan oleh Taliban.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa Afghanistan akan menjadi "negara pariah", jika Taliban mengambil alih kekuasaan. Yakni, negara yang tersingkir dari pergaulan global.
"(Pihak) Afghanistan yang tidak menghormati hak masyarakatnya, Afghanistan yang menjalankan kekajaman terhadap masyarakatnya sendiri, akan menjadi negara pariah," kata Blinken dalam kunjungannya di India pada Rabu 28 Juli 2021.
Kunjungan Delegasi Taliban ke China
Sementara itu, delegasi tingkat atas dari Taliban telah mengunjungi China untuk meyakinkan para pejabat tentang kewajiban internasional mereka di Afghanistan.
Di China, pemimpin kelompok bersenjata itu meyakinkan Bejing bahwa mereka tidak akan membiarkan Afghanistan digunakan sebagai basis perang melawan negara lain. Salah satu pendiri Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar di antara delegasi lain yang mengunjungi China, saat kelompok militan tersebut melanjutkan serangan besar-besaran di Afghanistan, termasuk di sepanjang daerah perbatasan Afghanistan-China.
Perbatasan Afghanistan-China hanya sepanjang 76 kilometer, dan berupa dataran tinggi yang terjal tanpa persimpangan jalan. China takut Afghanistan kemudian dimanfaatkan sebagai tempat pementasan perlawanan kelompok separatis Uighur di Xinjiang.
Emirat Islam Yakinkan China
Melansir Al Jazeera pada Kamis 29 Juli 2021, juru bicara Taliban Mohammad Naeem mengatakan kepada AFP bahwa hal itu adalah kekhawatiran yang tidak berdasar dari China.
"Emirat Islam (Taliban) meyakinkan China bahwa tanah air Afghanistan tidak akan digunakan untuk melawan keamanan negara mana pun...Mereka (China) berjanji untuk tidak ikut campur dalam urusan Afghanistan tetapi sebaliknya membantu memecahkan masalah dan membawa perdamaian,” ujar Naeem.
China mengkonfirmasi pembicaraan itu, yang mana delegasi China dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Wang Yi. Namun di Kabul, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mendesak masyarakat internasional "untuk meninjau narasi kesediaan Taliban dan para pendukung mereka dalam mencapai solusi politik".
"Dalam hal skala, ruang lingkup, dan waktu, kami menghadapi invasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam 30 tahun terakhir," ujar Ghani pada Rabu 28 Juli 2021.
Di New Delhi, Blinken memperingatkan Taliban bahwa mereka harus berubah jika menginginkan penerimaan global. “Taliban mengatakan bahwa mereka mencari pengakuan internasional, bahwa mereka menginginkan dukungan internasional untuk Afghanistan.
"Sepertinya, ingin pemimpinnya bisa bebas bepergian di dunia, sanksi dicabut, dll,” kata Blinken. “Pengambilalihan negara dengan paksa dan menyalahgunakan hak-hak rakyatnya bukanlah jalan untuk mencapai tujuan tersebut,” terangnya.
Lintas Perbatasan
Para analis mengatakan bahwa China, yang notabene menganut kebijakan luar negeri non-intervensi dalam masalah negara lain, merasa muak dengan religiusitas Taliban, mengingat kedekatannya dengan Xinjiang yang mayoritas Muslim.
Namun adanya pertemuan dua pihak, memberikan legitimasi kepada Taliban yang mencari pengakuan internasional, dan pelindung potensial di PBB, untuk menyetarakan pasukan militer mereka di seluruh dunia.
"Wang Yi menunjukkan, Taliban Afghanistan adalah kekuatan militer dan politik yang penting di Afghanistan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Zhao Lijian kepada wartawan di Beijing.
"China selama ini menganut non-intervensi dalam urusan internal Afghanistan...Afghanistan adalah milik rakyat Afghanistan," katanya, sangat kontras dengan "kegagalan kebijakan AS terhadap Afghanistan".
Advertisement