Fakta AS Terkini, Anarkis Itu Suara yang Tak Terdengarkan (1)
Aksi unjuk rasa atas tindakan rasis seorang aparat negara menjadikan Amerika Serikat memanas. Kondisi ini ternyata mempunyai akar panjang dalam sejarah di negeri Paman Sam itu.
"Anarkis Itu Suara yang Tak Terdengarkan". Ini adalah ungkapan atau kata-kata yang pernah disampaikan oleh Martin Luther Jr beberapa tahun silam.
Ketika itu di beberapa tempat di Amerika terjadi insiden anarkis dari kalangan minoritas hitam, yang juga didukung oleh beberapa segmen masyarakat termasuk Yahudi dan sebagian warga putih. Mereka menuntut keadilan dan kesetaraan ras bagi seluruh warga Amerika.
Demikian Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation & Imam/Direktur Jamaica Muslim Center NYC, menyampaikan gambaran atas kondisi Amerika Serikat terkini.
Menyikapi itu Martin Luther Jr ditekan bahwa perjuangannya ternyata tidak damai atau “non violence” karena menimbulkan anarkis. Bahkan dituduh sebagai perilaku “kekerasan” oleh pihak lain (warga kulit putih atau penguasa saat itu). Dalam merespon itu Beliau mengatakan: “riot is the language of the unheard”.
Dalam statemennya Martin Luther mengatakan bahwa anarkis bukan sesuatu yang wajar untuk didukung (condoned). Tapi jangan pula serta merta sekedar mengutuk (condemned) perilaku anarkis yang terjadi di masyarakat. Justru harusnya ada penilaian dan sikap imbang dari semua pihak.
Beliau bahkan menegaskan: “riot is not to be condoned. Because there is another way to struggle” (anarkis bukan untuk didukung. Karena masih ada jalan lain dalam melakukan perjuangan).
Tentu yang dimaksud adalah bahwa perjuangan tetap pada jalur “non violence” (tanpa kekerasan). Dan itulah yang sesungguhnya menjadi “trade mark” perjuangan Martin Luther dan kolega-koleganya saat itu, termasuk seorang Muslim yang kita kenal kemudian dengan Malcom X.
Memang sejujurnya, kerap kali khususnya yang berada di posisi atas (upper hand), termasuk penguasa, menyikapi peristiwa-peristiwa di masyarakat secara simplistik. Apakah karena memang kedangkalan pemahaman atau juga karena ingin menyembunyikan tanggung jawab besarnya sendiri. Atau boleh juga karena adanya agenda-agenda tersendiri yang ingin diloloskan.
Ambillah misalnya di beberapa negara mayoritas Muslim. Begitu dengan mudah Umat Islam dituduh sebagai Umat Yang radikal atau ekstrim. Atau dituduh nampak tidak “taat pemerintah”.
Tuduhan itu kemudian terdefenisikan oleh penampakan lahir di masyarakat saat itu. Seraya menyembunyikan “the root of the matter” (akar permasalahan).
Maka terbangunlah persepsi bahwa Umat ini selalu berada pada posisi “rebellion” (memberontak) kepada penguasa. Yang sudah pasti Umat dihadapkan pada pemerintah yang dianggap mewakili negara. Dan akhirnya Umat dilabeli sebagai elemen “anti negara”, anti falsafah dan Konstitusinya.
Kasus Minnesota dan Rasisme Amerika
Saat ini Amerika sedang memanas. Dipicu oleh kematian seorang warga kulit hitam (Afro American) karena kekerasan yang dilakukan oleh oknum Kepolisian setempat memicu demonstrasi besar-besaran di beberapa kota. Bahkan di sebagian kota juga terjadi anarkis, termasuk penjarahan toko-toko dan pembakaran beberapa buah gedung.
Tentu saya tidak bermaksud membela apalagi mendukung anarkis, penjarahan, atau kekerasan dalam bentuk apapun. Karena itu bertentangan dengan norma-norma dan aturan semua masyarakat Yang beradab (civilized society). Lebih lagi Amerika yang kerap memproklamirkan diri sebagai negara yang demokratis dan beradab (civilized).
Justru yang saya sayangkan adalah ketika ada pihak-pihak yang dengan simplistik hanya melihat kesalahan itu dari permukaan peristiwa yang terjadi. Hanya menyalahkan perilaku anarkis tanpa ada keinginan moral untuk melihat lebih jauh di balik dari anarkis itu.
Kembali kepada statemen Martin Luther tadi, bahwa anarkis terkadang menjadi representasi dari suara-suara yang tak terdengarkan (unheard voices). Maka seharusnya semua kita, jika ingin imbang dan adil dalam menyikapi ini harus berani menggali lebih dalam lagi tentang peristiwa Itu. (bersambung)