Fachry Ali Menggantikan Gus Dur Berceramah, Ini Uniknya
Dalam suatu acara seminar, KH Abdurrahman Wahid telah dijadwal menjadi pembicara. Sayangnya, Gus Dur, panggilan akrab sosok yang kemudian menjadi Presiden ke-4 RI, tidak bisa hadir.
"Saya menggantikan Kiai Abdurrahman Wahid berceramah," kisah Fachry Ali, pengamat sosial politik, yang akrab dengan kaum santri. Berikut sejarah kecil (La Petite histoire) tentang Sang Tokoh yang unik dan menarik:
Sebelumnya telah saya ceritakan bagaimana Kiai Abdurrahman Wahid dengan ‘terpaksa’ menggantikan saya menjadi khatib Jumat di LP3ES. Kali ini, justru saya ‘terpaksa’ menggantikan Kiai Wahid berceramah. Bagaimana perkaranya?
Pada 1989, Bang Surya Paloh, seperti yang sdh diceritakan, meminta saya ke Aceh menyelesaikan tugas menerbitkan kembali ‘Atjeh Pos’ —suratkabar tua yang ‘dibeli’ Bang Surya. Suratkabar ini dipimpin Agus Warman dan Ahmad Fadillah. Untuk menghangatkan ‘kelahiran kembali’ koran ini, Bang Surya Paloh mengundang Kiai Abdurrahman Wahid berceramah di Aceh.
Maka, tiket pergi-pulang (PP) disiapkan. Tetapi, oleh suatu sebab, ada kesalahan teknis dalam administrasi jam pemberangkatan. Kiai Wahid memberitahu Bang Surya tentang pengunduran jam terbangnya. Bang Surya, dengan demikian, memerintahkan protokol kantornya melakukan apa yang diminta Kiai Wahid.
Ketika Kiai Wahid hendak berangkat pada hari dan jam yang ditetapkan, ia tidak menemukan namanya dalam daftar penerbangan itu. Rupanya, pengunduran jadwal terbang itu dilakukan oleh kedua belah pihak. Tanpa menginformasikan Bang Surya, Kiai Wahid telah melakukan sendiri pengunduran terbang itu. Karena protokol kantor juga melakukan hal yang sama, maka nama Kiai Wahid terhapus.
Masalahnya adalah acara ceramah sang kiai akan berlangsung malam harinya. Pengumuman dan undangan telah tersebar —dan tak mungkin diubah. Sementara, saya yang telah lama di Aceh telah memegang tiket ke Jakarta dengan pesawat yang seharusnya membawa Sang Kiai dari Jakarta-Banda Aceh.
Melihat gelagat itu, Bang Surya tiba-tiba berkata kepada saya: ‘Awas kalau kamu pulang!’.
Saya jawab: ‘Lho? Saya sudah tidak punya baju ganti. Harus pulang sekarang.’
Dengan tegas Bang Surya berkata: ‘Tidak perduli! Pokoknya kamu harus gantikan Kiai Abdurrahman Wahid berceramah malam ini!’
Maka, dengan ‘terpaksa’ saya mengiyakan perintah senior ini. Juga dengan terpaksa, saya harus pakai celana jean basah dalam memberikan ceramah. Karena tidak punya yang bersih, saya memaksa laudry hotel mencuci celana itu. Tapi, waktu tak cukup. Terlanjur basah, saya paksa laundry menyeterikanya. Tetap basah.
Apa boleh buat. Saya maju ke mimbar dengan celana jean yang terasa dingin di ruang berpendingin. Tetapi Prof Alibasyah Amin, Rektor Universitas Syiahkuala, yang turut menjadi pembicara dadakan pada malam itu bersama dengan saya, tak menyadarinya sama sekali.
Usai acara, semua puas. Tanpa senyum, Bang Surya berkata: ‘Bagus kamu. Sangat intelektual. Apa lagi ceramah pakai celana jean.’
Adapun Kiai Abdurrahman Wahid, karena ‘insiden administrasi’ di atas, baru sampai ke Banda Aceh esok harinya. Saya tak sempat mendengar ceramah Sang Kiai. Dan Bang Surya Paloh tak punya alasan lagi menahan saya pulang ke Jakarta.