Fachry Ali Bertutur: Krupuk Abdurrahman M Sastra di Washington DC
Kisah kecil terkadang bikin haru. Apalagi hal-hal remeh-temeh, tetapi terkait dengan kemegahan suatu kota besar di Amerika Serikat.
Pengamat sosial politik Fachry Ali, tak hanya cakap menuturkan hal-hal unik yang menempel pada ketokohan seseorang. ia pun cakap menjadikan hal remeh-temeh menjadi perhatian publik. Ini kisahnya:
Baru di Washington musim panas 2017 saya tahu ada seorang murid bernama Dadang pada awal 1950-an di SD Cicadas, Bandung.
Ketika Abdurrahman M Sastra (Abah) kelas satu, Dadang sudah kelas lima. Dan ketika istirahat pada suatu jam pelajaran sekolah, dengan diam-diam Abah membelanjakan uang jajan yang diberi neneknya. Apa jajanan itu?
Kerupuk yang dituang kuah sayur labu siyem. Ketika kerupuk hampir sampai ke mulut Abah yg sdh mangap itu, siap menikmati jajanan ‘istimewa’ tersebut, satu tangan mencengkeramnya. Abah terkejut. Wajahnya mendongak ke atas: ‘Sialan,’ cetus Abah dalam hati. Dadang sudah berada di dekatnya. Dan dengan sewenang-wenang mengambil kerupuk itu.
Sambil kami melewati markas besar World Bank di Washington itu, Abah bercerita tentang betapa tak berdayanya ia berhadapan dengan Dadang —sang ‘senior’ SD-nya.
Dan itu bukankah kejadian tunggal. Setiap hari Abah harus ‘kucing-kucingan’ membelanjakan uang jajan pemberian sang nenek.
Ketika Abah menceritakan pengalaman traumatik dengan Dadang di SD Cicadas, Bandung, itu, umurnya sudah 74 tahun. Tapi, tampaknya, dalam umur sepanjang itu, kenangan tersebut masih membuatnya kesal.
Mana buktinya?
Buktinya adalah cara Abah menjawab pertanyaan saya: ‘Sekarang Dadang telah bertugas di Washington sebagai diplomat?,’ tanya saya.
Abah menjawab: ‘Boro-boro ke Washington, ke Bekasi saja mungkin dia tidak sampai!’
Tetapi, kehidupan Abah mengungkapkan fakta sejarah tertentu. Pada 1948 atau 1949, bersama sang kakek, Abah berangkat dari Garut ke Bandung. Di tangan sang kakek, tergenggam alamat Bibi Abah di kota itu. Dengan susah payah, mereka akhirnya berhasil menemukannya. Tetapi, mereka tidak gembira. Melainkan, malah ragu besar. ‘Apa benar ini rumah si bibi?’ Soalnya, alamat itu menunjukkan sebuah rumah besar sekali. Bahkan, untuk ukuran Abah masa itu, sebuah ‘istana’.
Untunglah, Si Bibi dari jauh telah melambai-lambai. Dengan penuh haru, kakek dan Abah bersalaman dengan Si Bibi. Segera setelah itu mereka dibawa masuk ke dalam. Sekali lagi, Abah terpesona dengan keluasan rumah dan aneka perabotan di dalam rumah itu.
Tapi, Abah dan kakeknya tidak dipersilakan duduk di situ. Dengan mengikuti Si Bibi, langkah mereka berlanjut menuju tangga ke loteng. Baru di loteng itulah mereka bisa beristirahat.
Rupanya, Sang Bibi bekerja sebagai asisten rumah tangga pemilik rumah gedung itu, yang tak lain adalah keluarga Belanda.
Fakta ini menunjukkan bahwa kedatangan Abah ke Bandung dari Garut tersebut terjadi setelah aksi polisionel kedua (Agresi Militer II —ketika seluruh wilayah Indonesia telah diduduki kembali oleh Belanda. Tentu ada kecualiannya: Aceh. Aceh adalah satu-satunya wilayah yg tak ‘berani’ didatangi lagi oleh Belanda —sejak hengkang pada 1942.
Tapi, omong-omong, kenapa untuk mengetahui Dadang harus jauh-jauh ke Washington dan harus melewati markas besar World Bank —tempat ekonom perempuan Sri Mulyani pernah bekerja?
Kedatangan kami ke Amerika tahun itu adalah sebagai partisipan simposium rare earth (tanah jarang).
Setamat SMA di Bandung, Abah tidak masuk ke Universitas Padjadjaran (Unpad). Melainkan ke Akademi Pertambangan yang kuliahnya, pada waktu itu, menyatu dengan ITB.
Setelah bekerja di Kementerian ESDM, Abah mendapat bea siswa Kolombo Plan —perpanjangan tangan dari Marshall Plan— untuk belajar pertambangan lebih lanjut di Sydney University, Australia. Dengan gelar di tangan, karir Abah melejit hingga menjadi salah satu direktur di Kementerian ESDM.
Keahliannya dalam pertambangan inilah yang menarik Abah ke PT Timah sebagai salah satu anggota tim audit —setelah pensiun.
Keahliannya dalam pertambangan, telah membuat Abah menjadi andalan pengetahuan bagi perusahaan penambang itu.
Inilah, kita tahu semua, yang membedakan Abah dengan Dadang. Toh, jika cerita kerupuk di atas saya singgung, rasa kesal Abah tidak pernah hilang.