Fachry Ali Berhasil Bikin Gus Dur Ketawa, Ini Kisahnya
Seperti dimaklumi, KH Abdurrahman Wahid adalah produsen humor. Baik dalam tulisan, maupun dalam setiap ceramahnya.
Fachry Ali, pengamat sosial politik, suatu ketika justru berhasil membikin Gus Dur sebagai penikmat humor. Artinya, Fachry Ali berhasil menyampaikan lelucon dan Gus Dur terpingkal-pingkal dibuatnya.
Berikut kisah Fachry Ali, yang orang Aceh itu:
Dalam ‘Kiai Abdurrahman Wahid Tertawa’ yang saya tulis, Mulyoto memberi komen bahkan hingga hari ini, Asrama Normaby di belakang kampus Monash University, masih sangat sepi. Mulyoto adalah mahasiswa angkatan kami (awal 1990-an) yang, karena prestasi tertentu, mendapat tugas dan tinggal di Clayton, Melbourne —setamat kuliah.
Dan, salah satu cara mengusir kesepian akhir pekan, kami biasanya mendatangi Bettina Street di Clayton. Di situ, di samping Ibnu Wahyudi yang telah disebut kemarin, ada Yusuf Akhyar Sutaryono.
Yang terakhir ini berasal dari Universitas Mataram, Lombok. Setelah mencapai PhD, Yusuf Akhyar bahkan beberapa kali kembali ke Monash University untuk studi post-doctoral dlm ilmu tumbuh-tubuhan.
Maka, Yusuf Akhyar sering terenyuh ketika harus belanja ke Coles, toko serba ada di Pasar Clayton. ‘Sebab dulu,’ katanya kepada saya suatu hari di Mataram, ‘tempat belanja ini biasanya saya kunjungi bersama isteri dan anak-anak.’
Begitulah, antara lain, cara membunuh ‘kesunyian’. Sebenarnya, ada cara lain. Ini dilakukan Irianto, pegawai BRI yg sedang menempuh MBA. Entah mengapa, sambil berlenggang-lenggok di tepi jalan raya, Irianto memakan setengah sisir pisang. Ini mendorong saya menghentikan kenderaan —dan mengantarkannya pulang.
‘Kapan lagi,’ alasannya kepada saya, ‘bisa makan pisang dengan bebas di pingir jalan?’
Irianto kini menjadi salah satu direksi BUMN industri perkapalan.
Akan tetapi, ada cara kreatif membunuh sunyi itu. Yaitu dengan mengumpulkan pengalaman-pengalaman lucu bagi keluarga mahasiswa yang baru datang ke Clayton.
Yang paling terampil mengumpulkan pengalaman jenaka ini adalah Bob Sugeng, lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan pengajar Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Pada suatu hari, Bob Sugeng yg berasal dari Banyuwangi, Jatim ini, melihat seorang mahasiswi Indonesia yg baru datang. Sang mahasiswi mendatanginya dan bertanya: ‘Exuse me, can you tell me where is the conference room?’
Bob tersenyum dan jawabannya membuat Ndari, sang mahasiswi dari LIPI itu, kaget. Apa jawaban Bob?
So simple: ‘Nang mburi.’
Nah, dengan usaha ekstra, Bob Sugeng berhasil merekonstruksikan sebuah cerita tentang respons kakak-adik anak seorang mahasiswa asal Yogyakarta yang baru datang ke Clayton, Melbourne.
Rekonstruksi itulah yang saya ceritakan kepada Kiai Abdurrahman Wahid —yang membuat sang kiai ketawa ngakak.
‘Suatu hari,’ tiru saya dari cerita Bob Sugeng, kepada Kiai Abdurrahman Wahid, ‘anak laki-laki mahasiswa asal Yogya yang masih di bangku SD itu melakukan tur sekolah ke kampus Monash. Sampailah mereka ke danau buatan. Teman-teman SD-nya yang bule berseru —ketika melihat danau tersebut: ‘Wow beautiful lake!’
Sang anak asal Yogya yang tampaknya lebih bisa berbahasa Jawa daripada bahasa Indonesia ini segera membantah: ‘It is not lake! It is blumbang!’
Advertisement