Eusebia
Nama kopi? Boleh jadi! Ah, masak sih... Kok tidak yakin begitu?
Iya, sebab, nama kopi hampir semua belakangannya berakhiran 'a'.
Lihat saja: Arabika, Robusta, Exelsa, Liberika, juga nama kopi yang lainnya.
Yang lainnya itu apa sajakah? Setidaknya ada 30 jenis nama kopi. Tapi cukup empat itu sajalah. Tak usah banyak-banyak. Selain bikin pusing untuk menghapalnya, kopi-Kopi selain empat itu sulit mencari sampling-nya.
Lalu, Eusebia? Iya, itu juga nama kopi. Tetapi lebih spesifik. Malah, spesifik dari yang spesifik.
Istimewa dong kalau begitu. Masuk ranah spesialti dong kalau demikian. Tak ada cacat di bijinya. Tak ada cacat di citarasanya. Termasuk cacat bolong karena serangga, cuil atau pecah saat di huling, dan seterusnya.
Yes...
Tak ada cacat-cacat itu. Spesial memang iya. Ia lahir dari pembibitan di Flores. Persisnya di Manggarai. Hanya beberapa saat lamanya dari kebun-kebun legenda, Kopi Colol.
Jadi, Eusebia ini dari kalangan Arabika atau Robusta. Atau dari dua lainnya, Exelsa dan Liberika?
Dia dari kalangan semuanya. Dia bisa menyeduh Arabika, Robusta, Exelsa, juga Liberika. Seduhannya juga keren meski termasuk pemula di dunia kopi.
Meski diangap pemula di dunia kopi tapi jangan tanya cita-citanya. Sepulang lulus dari Kampus STESIA di Surabaya, dia ingin memberi warna dunia kopi di sekitar tempat tinggalnya. Manggarai. Sebab, selama ini, kopi disana sangat dihargai dengan murah. Tak bisa diandalkan untuk perjalanan hidup.
Dia pernah cerita, keluarganya, masih punya kebun kopi. Tantenya, persisnya. Tapi hanya dikelola seadanya. Hanya dikelola sebisanya. Hanya dengan alat-alat yang ada. Sejak dulu sampai sekarang. Belum bergeser.
Keluarganya sudah cukup mengenal proses kopi. Kopi hanya dipetik merah saja. Kuning ditinggal, tidak perlu dipetik, apalagi yang masih hijau, dilarang untuk dipetik. Olah kopi dimulai dari hanya petik merah cherry saja. Biar rasa bagus katanya, biar bobot tetap bisa tebal katanya. Tapi ya begitu, kopi hanya seharga bensin seliter.
Wisuda dan pulang. Itu permintaan keluarganya. Nanti ada pendaftaraan PNS, katanya. Dan dia harus mendaftar. Semoga diterima. Tapi hatinya tak disitu, dia masih ingin menimba ilmu kopi. Hinggap di kedai-kedai yang memiliki ilmu kopi. Yang memiliki jurus-jurus ilmu menyeduh kopi. Yang bisa share ilmu kopi. Yang bisa menjajal langsung berbagai jenis kopi.
Pulang tetap perintah. Jadilah pulang dengan hati berkecamuk. Sejumlah alat kopi turut dibawa pulang. Dijejalkan dalam gendongan ransel dan tumpukan-tumpukan kardus bergambar cap rokok.
Sik sik sik... Sik toh. Jangan ngoceh sendiri sik. Jadi Eusebia ini bukan jenis kopi?
Emm... sepertinya memang begitu. Sebab itu sudah dibilang dari awal, dia ini dari kalangan semuanya. Bisa membuat seduhan kopi Arabika, Robusta, Exelsa, dan Liberika.
Tepok jidat dah... kirain kopi. Serius nih menyimaknya. Tapi okelah, cantik begini pasti punya magnitud yang oke di dunia kopi. Serasa apa sih seduhan kopinya?
Keren pokoknya. Seduhan Ebi ini, demikian barista ini biasa disapa, selalu punya karakter. Manis kopi, kompleks, dan huihhh jarang pahit. Padahal dunia pahit selalu melekat dalam biji kopi yang sudah disangrai.
Sudah ada kabar darinya, dari Ebi, panen sudah selesai. Malahan kopi dari Flores sudah habis. Petani sudah tinggal satu dua saja yang masih simpan. Selebihnya sudah ada di tangan tengkulak-tengkulak kopi.
Alat-alat penumbuk kopi, alat-alat kupas kopi tradisional juga sudah dibersihkan. Jadi tahun depan baru gerilya menjadi kopi dan berdaya dengan kopi kampung halamannya.
"Okeee... besok akan datang kopi dari saya e... tunggu tanggal mainnya," antusias Eusebia Maritasari. (idi)
Advertisement