Etos Membangun Warga Muhammadiyah, Belajar dari Etos Jepang
Guru Besar bidang Fisika Teori Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, yang merupakan Alumni Hiroshkma Universiti Prof. Agus Purwanto menyebut ‘kegialaan’ warga Muhammadiyah dalam membangun Amal Usaha sama dengan ‘kegilaan’ masyarakat Jepang dalam membangun fasilitas umum di sana.
Anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah ini, dalam tausyiahnya menyebut MBS atau pesantren ini terasa istimewa, sebab dibangun di tengah-tenggah pemukiman penduduk. Karena jika meniliki umumnya pesantren dibangun secara terpisah dengan penduduk, dan menyebabkan interaksi santri hanya sesama santri saja.
“Ini jelas istimewa, biasanya pesantren itu dibangun di daerah terpisah atau jauh dari penduduk. Sepi, para santri hanya berinteraksi dengan sesama santri,” ujarnya, seusai memberikan Tausyiah di acara Launching Muhammadiyah Boarding School (MBS) yang diselenggarakan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Kenjeran Surabaya pada Minggu 31 Oktober 2021.
Membangun dari Kenjeran
Ia juga berpesan supaya kedepan MBS ini selain berisi kelas Tahfidz Qur’an juga ada kelas Bahasa Arab yang benar-benar fokus mengajarkan Bahasa Arab agar mampu membaca kitab.
Menurutnya, hafal Al Qur’an merupakan suatu kebaikan, akan tetapi akan lebih baik lagi jika mampu berbahasa Arab, baik aktif maupun pasif, baik bicara maupun membaca kitab.
Namun dibalik itu semua, Pur menemukan etos genuin yang dimiliki oleh warga Muhammadiyah, yakni tetang ‘kegialaan’ khas warga Muhammadiyah. Di mana dalam pandangannya, jika dilihat dari segi jumlah warga dan finansialnya tidak seberapa. Tapi warga Muhammadiyah tetap nekad untuk merealisasikan MBS ini.
“Mereka akan bebaskan lahan seluas 200 M2 yang senilai Rp. 1,8 M. Mereka akan kumpulkan dana entah dari mana. Yang mengingatkanku saat akan ngumpulkan dana untuk Trensains sekian belas, bahkan sekian puluh M (miliar), tapi tidak tahu mau ngumpulkan dari mana”. tutur Agus Purwanto.
‘Kegilaan’ Muhammadiyah ini mengingatkannya pada masyarakat Jepang, banyak orang Jepang tinggal di apartemen dan tidak punya rumah. Mereka hidup sekedarnya, tetapi fasilitas umum di Jepang seperti sekolah, perkantoran, dan lainnya sangat lengkap sampai ‘wah’.
Agus mencontohkan, TK di Jepang sebagai lembaga pendidikan terendah selain memiliki gedung dengan isi dan peralatan yang lengkap, TK di Jepang juga memiliki halaman yang luas untuk bermain dan menanam ubi jalar. Sementara SD nya mempunyai lapangan untuk olahraga, serta kolam renang pada musim panas. Keduanya juga memiliki panggung pentas seni.
“Tetapi rumah gurunya berdesakan di apartemen. Itu mirip dengan warga dan pimpinan Muhammadiyah, terus mencari dana dan membangun meski dirinya sendiri mungkin belum punya rumah. Bahkan kadang ironis alias keblasuk, bisa membangun sekolah megah dan mahal, hingga dirinya sendiri tidak bisa menyekolahkan anaknya sendiri di sekolah ini,” tutur Agus Purwanto.