Esktradisi itu Tidak Gampang Bung!
PERSPEKTIF hukum dalam pembahasan upaya untuk mengekstradisikan seorang WNI dari luar negeri untuk dihadapkan dalam suatu proses hukum di tanah air itu bukanlah sesederhana wacana Polri dalam kasus HRS (Habib Rizieq Shihab).
Meskipun ‘rule of law’ masih berupa retorika dan jargon politik di tanah air, tetapi jangan pula kita hanya terjebak dalam hukum formal maupun prosedural semata. Ada konteks perjalanan Republik dan tujuan yang ingin dicapai di sana.
Dalam konteks ‘red notice’ bahkan lebih konyol ‘blue notice’, sudahkan jenis kasus pidana itu tergolong dalam kompetensi dan yurisdiksi Interpol? Mengapa wacana ini dikembangkan padahal prosesnya masih mentah? Apakah maksudnya untuk menggertak, menakut-nakuti tertuduh atau mempermalukan harga-diri dan kebenaran diri pribadi seseorang yang seyogianya dijunjung tinggi dalam asas ‘presumption of innocence’?
Saya bisa saja lanjutkan protes saya terhadap berbagai kejanggalan bahkan kesewenangan dengan semangat jumawa kekuasaan, yang akhirnya menjadi blatant violation of principles of good governance, human rights, dan rule of law.
Permasalahan hukum dalam soal ekstradisi seorang WNI ini jauh lebih kompleks daripada sekadar membandingkan kasus pencabutan paspor mahasiswa ikatan dinas (Mahid) di Eropa pada zaman Perang Dingin politik internasional dikuasai ‘preman-preman’ ideologis dengan wacana pencabutan paspor HRS yang terkait dengan konteks kewajiban internasional Indonesia, setelah ratifikasi dua kovenan, ICESCR dan ICCPR, mengenai parameter bagaimana negara memperlakukan rakyatnya. Juga, jangan lupa perbuatan semena-mena tentara, polisi dan pejabat kita, jika diadukan rakyat ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, mereka bisa kena ‘arrest warrant’ bahkan ditangkap ketika mereka berada di luar negeri. Dunia telah berubah, kita juga harus berubah.
Kita berhadapan dengan dunia yang telah berubah mendasar yang berbeda dengan di masa lampau, paling tidak dalam dua hal: perspektif dan kesadaran (conscience). Tanpa kedua hal ini perbandingan hanya matematis (teknis) tanpa perspektif dan tentu tak menarik.
Pembahasan kasus HRS dalam konteks hukum nasional kita juga bukan tanpa masalah. Pembahasan dimensi hukum nasional yang terkait dengan KUHP dan KUHAP bahkan menggunakan UU keimigrasian dalam konteks wacana pencabutan paspor itu baru dari satu sisi saja, dan itu sederhana.
Apakah telah terpenuhi proses hukum secara prosedural dan substantif bahwa HRS sudah qualified sebagai kriminal? Bukankah telah terjadi cacat prosedural (KUHAP) mengenai status alat-bukti yang tidak diperoleh secara sah? Bukankah penyidikan belum terselesaikan (P-21) dan bahkan ditolak oleh Kejaksaan?. Bagaimana dengan hukum materil, apakah telah terbukti semumena orang yang dituduh terlibat memang melakukan apa yang dituduhkan dan telah qualified berdasarkan KUHAP dalam gelar perkara? Apakah gelar perkara memenuhi syarat dan prosedur berdasarkan KUHAP.
Bila pertanyaan itu hanya menghasilkan jawaban-jawaban apologetik dan artifisial maka muncul masalah yang paling mendasar: apakah salah jika masyarakat beranggapan bahwa kasus ini sarat dengan kepentingan politis dan ditangani dalam konteks politik partisan demi kekuasaan?
Masalah ini lebih banyak melahirkan pertanyaan daripada jawaban. Hanya menciptakan kebingungan, polarisasi di masyarakat, dan keresahan bagi orang-orang yang mendambakan kerinduan kapan negara hadir secara adil dan berperan.
Dimensi Hukum Internasional
KETIKA permasalahan HRS ini menyentuh aspek hukum internasional barulah kerumitan itu muncul. Pada tahapan ini, pemulangan WNI menjadi complicated dan dalam banyak pengalaman negara-negara menunjukkan upaya sejenis ini hampir tidak ada yg berhasil.
Saya katakan di artikel kemarin, saya belum masuk ke aspek legal, baru berbicara mengenai tanggungjawab dan kewajiban internasional Indonesia di mata internasional negara dewasa ini. Di samping perlu kecanggihan pengetahuan untuk masuk ke perspektif hukum, ada kalanya masalah terjebak dalam pembahasan teknis hukum yang kering, tidak menarik dan memuyengkan. Untung, saya ada pengalaman sedikit dan rajin mengobservasi ketika muncul kasus-kasus yang menjadi domain dari hukum internasional ini mengemuka.
Ya, jika kita berbicara Interpol, pencabutan paspor, pemulangan tersangka, maka kita terpaksa masuk ke diskursus yang berkembang dan terkait dengan perspektif hukum internasional yang setidaknya terkait topik refugee (pengungsi), asylum (suaka), extradition (ekstradisi), mutual legal assistance (dalam penanganan transnational organized crimes, TOC), maupun komplikasi bila tentara, polisi atau pejabat kita mendapat arrest warrant untuk dihadirkan di mahkamah pidana internasional karena pengaduan rakyat kita sendiri. Kalau saya masuk ke satu persatu soal ini ditanggung mumet dah.
Urusan hukum berkaitan dengan International Criminal Court, ICC, ini berat. Semua pejabat accountable terhadap perbuatan mereka yang dapa dikualifikasi menjadi yurisdiksi pengadilan pidana internasional, apabila rakyat mengadu. Mereka —tentara, polisi, pejabat—bisa ditangkap dan diadili di peradilan asing. Jangan sok jumawa di dalam negeri dan membodoh-bodohi rakyat.
Jika publik kita ajak masuk ke pembahasan segi-segi hukum internasional maka perlu pengetahuan yang cukup baik bagi pewacana maupun bagi publik. Karena itu pula saya merasa aneh ketika Polri membicarakan hal-hal tersebut di atas secara artifisial saja dalam suatu wacana publik entah apa gunanya.
Pesan yang ingin saya sampaikan adalah bahwa ketentuan hukum internasional berkaitan dengan refugee, asylum, extradition, MLA, transnational organized crimes, ICC, kerjasama fungsional bilateral harus menjadi pertimbangan dalam konteks pemulangan WNI untuk menghadapi proses hukum di tanah air.
Harus diingat: semua ketentuan hukum internasional di atas memiliki berbagai instrumen yang menempatkan hak asasi manusia di tempat tertinggi dan sarat dengan politik, dalam arti bahwa kerjasama suatu negara itu sangat terkait dengan kebijakan atau pilihan politik negara yang berbeda-beda.
Ini menjelaskan mengapa Ayatullah Khomeini bisa tinggal bertahun-tahun di Paris dan kemudian pulang ke tanah air mencetuskan Revolusi Iran 1979 yang fenomenal itu. Mengapa PM Thaksin tidak berhasil dipulangkan oleh Pemerintah Thailand dan dia malah tinggal dan ditampung di Kamboja, seperti halnya nasib ratusan aktifis HAM (disiden) dari berbagai negara dalam status pelarian politik. Mengapa pelarian politik, disiden, diaspora, pemberontak politik in exile secara aman dan nyaman bisa tinggal di pengasingan tanpa tersentuh hukum di negara asalnya, seperti Dalai Lama tinggal di India tanpa kemampuan China memulangkan dan mengadilinya di China. Juga, mengapa para Mahid (mahasiswa ikatan dinas yang dikirim Bung Karno ke Eropa Timur pra G30S/PKI) meskipun dicabut paspor mereka —tanpa SPLP—namun dengan paspor UNHCR dapat melakukan perjalanan ke negara-negara lain.
Kedua, semua ketentuan hukum internasional di atas telah menempatkan hak asasi manusia, yakni kedudukan dan pengakuan hukum internasional bahwa rakyat yang lebih tinggi dari penguasa. Jadi tidak sekadar bicara, urusan double-criminality semata, lalu Bingo! big catch ada di depan mata.
Suatu kategori crime di Indonesia tidak serta merta menjadi kejahatan dalam konteks internasional, apalagi sekadar pemburuan terbesar WNI dalam kasus HRS sekarang ini hanya karena tuduhan dia melakukan chatting. Yakinkah kita bahwa dunia internasional percaya bahwa chatting itu kriminal dan masuk dalam defisini ‘double criminality’? Yakinkah kita bahwa kasus chatting ini bersih dari nuansa politis dan bebas rekayasa? Yakinkah kita bahwa dunia —yang cenderung menghormati HAM, kebebasan bergerak dan beropini, serta civil liberties—kini sepakat memasukkan chatting sebagai masalah yang mengancam keselamatan publik, bahkan perdamaian dan keamanan perdamaian dunia? Semakin lucu aja, loe, Boss.
Yakinkah bahwa jika kasus ini mendunia akan mengangkat nama negeri kita dalam kehebatan penegakan hukum berdasarkan rule of law? Atau sebaliknya? Yakinkah kita bahwa the way we treat our citizen is the same with what other countries do, or is the way we treat our citizens acceptable to other countries and in accordance with the international norms and practice? Jangan salah langkah kalau tidak mau dituduh bengak, kata orang Medan. Jangan-jangan kita akan menjadi lawak-lawak di mata internasional. What a shame!
Hukum internasional berkaitan dengan persoalan ekstradisi di atas sangat kental mengandung nuansa politis dan nilai penghargaan terhadap hak asasi manusia yang tinggi, terutama karena Indonesia telah meratifikasi dua kovenan, ICESCR dan ICCPR, yang seyogianya telah mengubah kesadaran, mindset, dan perilaku penyelenggara negeri ini untuk siap meninggalkan praktik-praktik fasis seperti di zaman otoriter bahkan totalitarianism di masa lalu yang represif dan kelam. Sudahkan?
Kemungkinan menyeret tentara, polisi bahkan pejabat pemerintah kita untuk diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) setelah penerbitan arrest warrant untuk penangkapan mereka atas pengaduan warganegara (baca rakyat) bukan semata wacana. Atau, karena takut ditangkap dan bisa menyebabkan Republik ini terhina di mata internasional maka tentara, polisi atau pejabat kita takut bepergian ke luar negeri.
Ini satu alasan mengapa ratifikasi Statuta Roma ICC masih tersendat di DPR. Meskipun tidak berarti tentara, polisi, dan pejabat kita tidak bisa diseret ke peradilan pidana internasional di Den Haag atas pengaduan WNI kita yang diajukan kepada negara-negara penandatangan Statuta Roma.
Demi tanggungjawab internasional Indonesia, demi hak asasi manusia, rule of law dan demokrasi di tanah air kita harus dorong agar Indonesia segera menyelesaikan ratifikasi Statuta Roma tentang ICC. Agar semua aparat dan pejabat pemerintah, di manapun, accountable terhadap apa yang mereka lakukan kepada rakyat. Agar mereka dapat diadukan rakyat ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Setuju?
Persoalan yang bukan remeh-temeh dan tidak bisa digampang-gampangkan toh!
Jakarta 21 Juni 2017
*) Hazairin Pohan adalah mantan diplomat karir yang kini menjadi dosen dan penulis
Advertisement