Eropa Tanpa Amerika Serikat
EROPA adalah sekutu Amerika Serikat sejak lama. Terutama setelah Perang Dunia II. Lewat kebijakan Marshal Plan, AS membantu pemulihan ekonomi negara-negara Eropa akibat PD II itu. Sejak itu, hubungan Eropa dan AS seperti perangko --tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan hubungan itu sepertinya “abadi”.
Namun, dunia di kejutkan dua kejadian penting di Eropa dimana Presiden AS Donald Trump untuk pertama kalinya sebagai Presiden AS berkunjung ke benua itu. Dia membuat pernyataan yang mengisyaratkan “pecahnya” hubungan abadi itu.
Pada pertemuan pertama dengan negara-negara NATO – organisasi pertahanan negara-negara Eropa-- Presiden Trump mengulang pernyataanya ketika kampanye presiden. Dia bilang di Eropa harus membiayai sendiri dana untuk NATO. Amerika tidak akan berkontribusi lagi karena buat apa membiayayi organisasi yang tidak ada untungnya bagi AS.
Pada saat kampanye Presiden, Trump sering mengatakan bahwa NATO sudah usang atau “Obsolete”. Padahal NATO yang didirikan untuk menghadapai Uni Sovyet pada perang dingin dulu, keterlibatan AS sangat signifikan dalam organisasi ini. Tujuan utamanya untuk mencegah hegemoni komunis Sovyet di dunia. AS juga bersama-sama NATO terlibat dalam pengiriman pasukan di Timur Tengah.
Pernyataan Trump itu mengejutkan kepala-kepala negara yang tergabung dalam NATO itu. Kehadiran Trump di Brussels, Belgia itu juga menjadikannya bahan guyonan, dibuat meme dimana-mana. Misalkan soal tangan Presiden Trump di tepis istrinya ketika dia ingin bergandengan tangan. Atau wajah buram Paus ketika menerima Trump di Vatikan dsb.
Pada menit-menit terakhir pertemuan kedua dengan negara-negara G7 atau persekutuan 7 negara yang perekonomiannya paling berpengaruh di dunia di kota Taormina Sisilia Italy, Presiden Trump ngotot AS akan menarik diri dari Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim. Semua kepala negara berusaha meyakinkan Trump untuk tetap ber komitmen terhadap Perjanjian Paris itu.
Kanselir Jerman Angela Merkel dilaporkan berbicara paling akhir dengan Trump. Merkel menyatakan ketidakpuasan keputusan Trump di G7 karena persekutuan ini tidak lagi G7 tapi menjadi G6 atau 7 negara minus AS. Angela Merkel bahkan mengatakan bahwa “Kita sekarang harus menentukan nasib kita sendiri”. Artinya Eropa sudah tidak lagi bergantung terhadap AS. Markel juga mempertanyakan kesungguhan AS sebagai mitra yang terpercaya atau “reliable partner” bagi Eropa.
Presiden Trump sekembalinya dari Eropa benar-benar menyatakan tekadnya dengan mengeluarkan pernyataan resmi di Taman Bunga atau Rose Garden Gedung Putih bahwa AS keluar dari Perjanjian Paris karena perjanjian itu tidak bermanfaat untuk pengusaha, buruh di AS dan perekonomian AS.
Keputusan Trump keluar dari Perjanjian Paris itu mendapat kecaman dari berbagai kepala-kepala negara seperti Kanada, Australia, Jepang, Inggris dsb. Bahkan, Presiden Perancis yang baru Emmanuel Macron berpidato dalam bahasa Inggris (Perancis terkenal tidak mau menggunakan bahasa Inggris). Ia menyatakan tidak puas dengan Trump itu, dan dalam penutup pidato nya dia menggunakan kalimat “We Make Our Planet Great Again” sepertinya menyindir tema kampanye Trump "We Make Amerika Great Again”.
Berbagai kalangan dalam negeri AS juga mengecam keputusan Trump itu, karena perjanjian perubahan iklim Paris itu adalah menyelematkan planet bumi ini dari polusi.
Merkel kemudian sepertinya mengancam bahwa peranan AS di dunia ini akan di geser oleh Cina "If the world's largest economic power were to pull out, the field would be left to the Chinese,". Menurut Merkel bahwa pemimpin Cina adalah orang pandai yang akan mengambil manfaat dari ke vakuman ini; dan betul Cina dalam pertemuaan bisnis dengan Uni Eropa secara tegas mengatakan komitmen negaranya untuk tetap berkomiten terhadap Perjanjian Perubahan Iklim Paris. Akhirnya Presiden Perancis Macron mengakui bahwa “Sekarang Cina yang Memimpin”.
AS sebagai negara terbesar pembuang emisi terbesar di dunia setelah Cina sekarang tidak lagi menjadi negara adi daya yang mengikuti upaya dunia untuk mencegah Perubahan bersama dengan negara Nikaragua dan Siria yang belum menandatangani Perjanjian Paris itu. Media Eropa menyindir Trump yang lebih nyaman menari dengan orang-orang Arab yang membawa pedang dibanding berhubungan dengan negara-negara sekutunya di Eropa. Presiden Trump dalam lawatan pertama kali ke luar negeri memang berkunjung ke Saudi Arabia sebelum ke Israel, Palestina dan Eropa.
Hubungan AS dan Eropa kali ini memang terburuk sejak Perang Dunia II, sampai ada judul di media Eropa yang menyebut adanya perceraian hubungan AS dan Eropa dengan kata “Transatlantic Divorce”. Entah kebetulan atau tidak dengan keputusan Trump itu Cina dan Rusia bersama-sama menyatakan komitmen mereka terhadap perjanjian Paris. Namun wajar dalam pertarungan politik merebut pengaruh global pernyataan kedua negara itu bukanlah kebetulan, tapi lebih banyak mengambil keuntungan dari mundurnya peranan AS di Eropa.
Banyak kalangan di Eropa yang mempertanyakan siapa yang menentukan kebijakan luar negeri AS di Washington, apakah Presiden melibatkan Deplu (State Department) dan lembaga terkait, ataukah kebijakan luar negeri AS itu tergantung pada mood nya Presiden Trump, atau kebijakan Trump itu hanyalah “dendam” untuk menghapuskan kebijakan apapun yang di keluarkan presiden AS sebelumnya Obama. Misalkan presiden Obama pernah berjanji dalam perjanjian Paris itu bahwa AS akan memotong emisi 26-28% dibawah level emisi tahun 2005.
Memang betul pernyataan yang mengatakan bahwa dalam dunia politik tidak ada teman atau musuh yang permanen, yang ada adalah kepentingan permanen. Kalimat ini membenarkan pernyataan Angela Merker bahwa Eropa kali ini harus tanpa Amerika Serikat dalam menentukan nasibnya sendiri.
*) Ahmad Cholis Hamzah, lulusan Universitas Airlangga Surabaya, Wakil Rektor Unsuri dan pemerhati masalah nasional dan internasional.
Advertisement