Eri Cahyadi Bukan Risma
Bulan depan, Surabaya akan memiliki walikota baru. Yang sekarang hanya penerus Tri Rismaharini: Wisnu Sakti Buana. Wakil Walikota yang menjadi Walikota Surabaya kurang dari dua bulan.
Yang benar-benar baru adalah Eri Cahyadi. Seorang ASN (Aparatur Sipil Negeri) yang dari awal berkarir sebagai birokrat di Pemerintah Kota Surabaya. Kader tulen Pemkot Kota Pahlawan.
Risma bisa disebut bukan kader tulen. Sebab, ia pindahan dari Pemkab Bojonegoro. Ia ditarik dari kabupaten ujung Barat Jatim itu oleh Sukamto ketika menjadi Kepala Kepegawaian Pemkot Surabaya.
Sedangkan Eri Cahyadi langsung masuk Pemkot Surabaya setelah lulus dari ITS. Kesamaannya dengan Risma hanya sama-sama menjadi Kepala Bappeko sebelum terpilih menjadi walikota.
Ketika saya menjadi Wakil Walikota mendampingi Bambang DH, Eri termasuk generasi baru pejabat muda Pemkot yang hebat. Saat itu, Walikota Bambang DH memang berkomitmen melahirkan lapis baru para pejabat andalan di Surabaya.
Eri yang punya darah keturunan ningrat dari Cirebon ini termasuk generasi baru yang melejit karirnya. Apalagi setelah Walikota Risma memimpin kota ini selama dua periode. Yang mengendors para alumni ITS ke jajaran pejabat puncak Pemkot Surabaya.
Lantas apakah ia akan sekadar menjadi pengikut Risma, baik dalam gaya kepemimpinan atau visi tentang kota ini? Akankah ia menunjukkan karakter kepemimpinan sendiri yang lain dari Risma? Tentu akan menjadi obyek pengamatan menarik setelah ia dilantik 21 Februari 2021 mendatang.
Hanya saya melihat ada perbedaan dia dengan Risma. Eri memang merupakan tipe anak buah yang baik. Ini penting. Sebab, pemimpin yang baik pada dasarnya pernah menjadi anak buah yang baik. Anak buah yang menunjukkan loyalitas penuh kepada pimpinan.
Namun diperkirakan dia akan bisa menunjukkan karakter dan gaya kepemimpinannya sendiri setelah menjadi pemimpin sesungguhnya. Ketika harus menjalankan visi dan misi yang telah dijanjikan kepada warga Surabaya saat berjuang memperebutkan suara.
Ada banyak ruang bagi Eri untuk menunjukkan karakter kepemimpinannya selama menjabat walikota mendatang. Apa itu? Pertama, modal personal. Ia lebih punya modal personal untuk merangkul lebih banyak kelompok masyarakat dibandingkan Risma.
Seperti diketahui, selama dua periode kepemimpinanya, Risma dikenal cuek dengan organisasi-organisasi sosial keagamaan. Ia cenderung menggantungkan kepada cantelan sosok yang punya power kuat ketimbang kekuatan lembaga.
Juga lebih mengandalkan branding media yang menjadikannya sebagai sosok pemimpin yang terkesan one women show. Sehingga, setiap loncatan kepemimpinannya sering menyisakan luka bagi mereka yang pernah mendukungnya atau pernah menjadi jembatan bagi loncatan karirnya.
Eri mempunyai modal personal yang berbeda. Ia lebih jujur dan lebih terbuka terhadap ide orang lain. Juga hamble dalam menjaga relasi dengan orang-orang yang menjadi bagian sejarah dengannya. Ia bisa langsung berkomunikasi dengan faksi-faksi politik di dalam partai begitu ia ditetapkan menjadi calon walikota Surabaya.
Ia bisa berkomunikasi tanpa beban dengan Wisnu Sakti Buana, pesaing utama untuk perebutan calon dari PDI Perjuangan. Ia juga langsung connect dengan Bambang DH dan Saleh Mukadar, faksi lain dari partai berlambang kepala banteng moncong putih ini.
Indikator awal atas kemampuan komunikasi politik ini memungkinkan ia akan berbeda dengan Risma dalam memimpin Surabaya ke depan. Ia juga dikenal lebih dekat dengan kelompok-kelompok agama, bahkan jauh hari sebelum terpilih menjadi calon walikota.
Bisa dibayangkan ke depan, keluhan dari kelompok agama bahwa mereka menjadi "anak tiri" Pemkot Surabaya bisa jadi tak akan ada lagi. Eri bukan hanya teknokrat. Ia juga seorang aktifis yang juga menjadi pengurus organisasi sosial keagamaan.
Kedua, modal kompetensi. Memoles Surabaya dengan taman dan kebersihan rasanya sudah menjadi hasil karya Risma. Ini tinggal merawatnya. Yang dibutuhkan berikutnya adalah bagaimana keindahan dan kebersihan itu memberi dampak kepada kesejahteraan warga.
Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, Surabaya lebih beruntung karena peran swasta sangat besar. Tinggal memberi rangsangan ke mereka, pertumbuhan bisa didorong lebih cepat. Mendengarkan mereka dan memberi layanan secukupnya sangat diperlukan.
Selama ini, Walikota Risma terkesan "alergi" kalau ketemu pengusaha. Padahal merangkul mereka untuk berkolaborasi mempercepat pembangunan Surabaya akan lebih menguntungkan warga. Mendorong pengusaha menggenjot pembangunan kota, Pemkot fokus mengentas kemiskinan kota.
Eri Cahyadi punya potensi untuk bisa membangun kolaborasi yang menguntungkan Kota Surabaya dengan para pengusaha. Karena itu, bisa diharapkan program-program kolaboratif akan semakin marak do Surabaya dalam tahun-tahun mendatang.
Ada banyak program yang bisa diciptakan melalui kolaborasi posotif dengan para pengusaha. Tentu dalam kaitannya Surabaya sebagai kota dagang dan jasa. Banyak kegiatan yang bisa dicipta dengan tanpa harus menguras APBD Kota. Cukup kolaborasi dengan mereka.
Yang pasti, Eri Cahyadi memang jagoannya Risma untuk menggantikannya. Tapi Eri bukanlah Risma. Ada banyak yang diharapkan bisa disempurnakan walikota baru ini untuk kemajuan kota Surabaya.
Ia punya kompetensi teknokratik yang tak berbeda dengan Risma. Juga pengalaman birokrasi yang cukup untuk menjadi modal memimpin para birokrat Pemkot Surabaya. Kompetensi teknokratik dan pengalaman birokratiknya bisa melahirkan karakter kepemimpinannya sendiri.
Saya kok yakin Surabaya di bawah Eri akan berbeda. (Arif Afandi)
Advertisement