Erani Yustika Kesengsem Mak Ten dan Mak Ti
Tidak banyak tokoh penggemar kuliner di berbagai daerah. Ahmad Erani Yustika, mantan Stafsus Presiden Joko Widodo yang dosen Universitas Brawijaya ini tak hanya kaya jelajah kulinernya. Tapi juga mau menuliskannya. Ini salah satunya:
Kamis kemarin (5/12/2019) saya memenuhi undangan sebuah acara di Kota Blitar bersama 2 teman. Kami berangkat dari Malang, sehingga menempuh perjalanan sekitar 160 km (pp). Tiap daerah tentu punya surga kuliner, tak terkecuali Malang dan Blitar. Banyak sudut kota yang disesaki dengan sejarah makanan.
Malang bukan cuma kisah bakso, cwie mie, atau orem-orem, tapi juga rawon, rujak cingur, soto, juga kare ayam. Tak semua menu itu memang asli dari Malang, namun variannya punya cita rasa yang berbeda. Perjalanan ke Blitar kali ini kami awali singgah sarapan mencicipi masakan di warung Mak Ten, sekitar 5 km arah selatan Malang (tepatnya di Pakisaji, pinggir jalan besar Malang - Kepanjen).
Warung bersahaja ini sudah beroperasi sejak 1977, Bu Ten sendiri (pemiliknya) sudah wafat pada 2003 saat usia 75 tahun. Warung ini dilanjutkan usahanya oleh putri bungsunya yang sekarang berumur 58 tahun.
Saya memilih menu kare ayam kampung (ditemani tempe dan mendol hangat). Pengunjung sudah berjejal memenuhi ruangan yang tak seberapa besar melumat aneka masakan yang sedap: krengsengan, rawon, sop, dan nasi campur. Pagi ini kami bersua dengan Ibu-ibu yang usianya di atas 55 tahun, yang kelihatannya baru usai pengajian pagi. Rasanya? Nikmatnya menyundul langit-langit mulut dan masih terbayang hingga sekarang.
Pada saat balik ke Malang usai acara, saya mampir makan siang di warung Mak Ti (Kanigoro, Blitar). Pak Budiono (mantan Wapres) suka pula ke sini bila pulang kampung. Aneka ikan goreng (sebagian iwak kali) dan ikan kuah pedas dihidangkan, juga tersedia ayam goreng.
Kita bisa pilih ikan (ambil sendiri) yang baru digoreng di dapur (tungku tradisional dengan kayu bakar) atau yang telah disediakan di ruang tersendiri. Sayur bening, lodeh, "jangan bobor" (sayur daun singkong), dan sambal terasi melengkapi kenikmatan. Makan sepuasnya (plus minum dan krupuk) untuk 3 orang dihargai: Rp 40 ribu! Mereka menjalankan ekonomi keberkahan, bukan keserakahan.
Setelah 20 menit perjalanan lagi, tetiba teman meminggirkan mobil tepat di depan penjual dawet, tepatnya di daerah Bendosewu, Talun, Blitar. Semula saya tak terlalu yakin dengan kualitas dawetnya, karena membayangkan minum dawet enak di Ponorogo (Jabung dan Mak Mbing), dawet Blauran (Surabaya), Dawet Ayu (Banjarnegara), dawet Surotan (Madiun), dan tentu saja dawet Telasih Pasar Gede (Solo).
Abrakadabra, ternyata mutu dawet Bendosewu ini melampaui semuanya, sekurangnya setara dengan dawet Telasih, Pasar Gede. Campuran cendol tepung sagu, irisan kecil nangka, tape, kacang hijau, selasih, dan gula aren memanjakan saraf pencecap. Tanpa pikir lama saya membungkus untuk dibawa ke rumah. Harga? Rp 4000/porsi. Muhibah paripurna!