Energi Baik untuk Kampung Lontong
Kampung padat penduduk yang ada di Banyu Urip Lor, Kecamatan Sawahan, Surabaya itu layaknya kampung biasa. Diapit dua sungai kecil, kampung padat penduduk itu disesaki rumah kecil yang saling berhimpit.
Di balik sesaknya kampung, tangan-tangan terampil muncul dari sekitar 100 keluarga. Mereka tiap hari bergelut dengan nasi dan daun untuk membuat lontong, makanan mirip ketupat berbungkus daun pisang.
Adalah Nenek Ramiah, warga Banyu Urip Lor yang merintis usaha rumahan ini. "Dulu nenek Ramiah jualan lontong dan mengajarkan ke tetangga," kata Darmi, 42 tahun, cucu Ramiah yang kini juga membantu usaha neneknya.
Di era tahun 1970, ketika awal membuka usaha, Ramiah hanya membuatkan lontong untuk para tetangganya yang berjualan tahu tek, makanan khas Surabaya yang memadukan lontong, tahu, kentang, sambal dan petis. Namun rasa yang enak dipadu harga yang terjangkau, menjadikan lontong dari Ramiah sejak tahun 2000 juga diminati oleh para pedagang tahu tek di beberapa daerah lain di luar Banyu Urip. Tak hanya tahu tek, longtong dari kampung ini juga diminati para penjual bakso, rujak cingur hingga tahu campur.
Sejak tahun 2000 itupula, peminat lontong Ramiah meningkat sehingga Ramiah mengajarkan pembuatan lontong ke para tetangganya. Kini, di Banyu Urip telah ada lebih dari 100 keluarga yang meniru jejak Ramiah memproduksi lontong dan menjadikan kampung itu dilabeli sebagai kampung lontong.
Darmi mengatakan, membanjirnya pesanan lontong menjadikan perekonomian masyarakat sekitar juga bangkit. Bahkan kini tak ada istilah pengangguran di Banyu Urip Lor. "Keluarga saya, mulai suami, menantu dan anak-anak semua ikut membantu membuat lontong," kata dia.
Agar industri rumahan ini tetap eksis, kata Darmi, lontong tak hanya harus enak, melainkan harus bersaing dengan harga. Karena membikinnya yang relatif mudah, maka harga lontong juga harus semurah mungkin, sehingga konsumen tak memiliki alasan lain kecuali membeli ketimbang harus repot bikin lontong.
"Kita siasati dengan membeli beras dengan jumlah besar agar murah tapi tetap berkualitas. Daun pisang juga kita beli dengan jumlah banyak," kata Darmi. Selain itu, energi pembakaran untuk menanak lontong juga dicarikan dengan yang paling murah.
Beruntung, sejak tahun 2012, Perusahaan Gas Negara (PGN) memberikan sambungan gas murah bagi mereka. Kini, puluhan keluarga di kampung lontong sudah tersambung gas pipa dari PGN. "Usaha kami jadi lebih lancar, untungpun juga lebih banyak karena gasnya lebih murah ketimbang pakai tabung LPG, apalagi pakai minyak tanah," ujar Darmi.
Sementara itu, PGN Sales Area Head Surabaya Misbachul Munir mengatakan diwilayah kampung Banyu Urip terdapat 151 pelanggan PGN yang masuk dalam program Sayang Ibu.
"Jika secara luas terdapat 1783 pelanggan jargas kami meliputi Banyu Urip, Simo Kwagean, Kupang Krajan, dan Patemon Barat," kata dia.
Advertisement