Enam Puisi Gus Mus, Empati bagi Kaum Dhuafa di Hari Kemerdekaan
Penyair Ahmad Mustofa Bisri mempunyai kepekaan sosial, terutama terhadap kaum lemah. Nada katanya terkesan kritis, bernuansa pasemon, dan mencitrakan seorang yang selalu berempati pada penderitaan.
Penyair yang hidup sederhana ini, dikenal sebagai Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Akrab dipanggil Gus Mus, Kiai Penyair ini menelorkan sejumlah buku puisi, seperti "Tikus dan Pahlawan", "Tadarus", "Gandrung", “WekWekWek: Sajak Bumilangit", dll.
Terkait kemerdekaan, sekaligus empatinya terhadap kaum tertindas, Ngopibareng.id menghadirkan enam puisi Gus Mus. Silakan simak:
Kumpulan Kambing
kumpulan kambing mengembik bersama
memaksa kumpulan serigala
menyingkir (sementara)
kumpulan serigala berembuk bersama
bagaimana memaksa
kumpulan kambing terus mengikuti mereka
(selamanya)
kumpulan kambing merdeka
makin terbuka matanya
makin terbuka telinganya
makin terbuka seleranya
seperti kumpulan serigala
kumpulan kambing merdeka
makin rakus makannya
makin banyak keinginannya
makin menggila pestanya
seperti kumpulan serigala
kumpulan kambing merdeka
makin muluk-muluk bicaranya
makin tidak-tidak mimpinya
melebihi kumpulan serigala
kumpulan kambing merdeka
makin tertutup matanya
makin seperti kumpulan serigala
kumpulan kambing merdeka
makin merdeka meniru serigala
tapi, kumpulan kambing merdeka
yang tak mau mengembik lagi
tetap saja melolong pun tak bisa
seperti kumpulan serigala
terus saja hanya menari-nari
dan menyanyi gembira:
wekwekwek, wekwekwek, wekwekwek!
1416 H
Rembang
ketika langit menyiramkan hujannya
kau kebagian gerimisnya
ketika matahari membagi sinarnya
kau kebagian teriknya
ketika laut menghibahkan ikan-ikannya
kau kebagian amisnya
dan keringatmu hanya menghasilkan
garam penambah perih luka
o, kotakemarauku
pohon-pohon asam
yang menjaga jalanmu
pohon-pohon tanjung
yang menghias alun-alunmu—
seperti raden-ajeng-kartini-mu
yang menjadi tugu—tinggal jadi
cerita tahunan para pensiunan
(nelayan-nelayan-telanjangmu
kuli-kuli-tambakmu
petani-petani-tadah-hujanmu
pencari-pencari-kayu-krecekmu
pencuri-pencuri-hutanmu
apalagi pengemis-pengemis-pasarmu
mana tahu raden-ajeng-mu?)
o, jiwakemarauku
mereka yang lalu-lalang mengejar sesuatu
hanya melewatimu, sayang
seperti matahari, angin, dan awan
1416/1996
Bumi Terbujur
bumi terbujur
ada banyak luka menganga
pada jasadnya
nafasnya tinggal
bagai benang rantas
sepertinya akan segera putus
oleh sekali retas
tapi, aneh, tak putus-putus juga
meski masih ada yang terus tega
mengerat-ngeratnya
dengan bangga
bagaimana, o,
bila benar-benar putus?
dengan waswas matahari
hanya mengawasi
o, bumi
apa yang kau rasakan?
apa yang bisa kulakukan?
wahai para malaikat di langit
wahai para jin dan dedemit
yang terjepit
ikutlah mengamini doaku
allah, selamatkanlah bumiku!
wahai hujan, angin, dan taufan
wahai lautan dan daratan
yang tertekan
ikutlah mengamini doaku:
allah, selamatkanlah bumiku!
wahai gunung-gubung dan bebatuan
wahai burung-burung dan rerumputan
yang tercampakkan
ikutlah mengamini doaku:
allah, selamatkanlah bumiku!
wahai daun-daun yang berguguran
wahai bunga-bunga yang berserakan
yang terabaikan
ikutlah mengamini doaku:
allah, selamatkanlah bumiku!
wahai segenap binatang melata
wahai segenap rakyat jelata
yang tersia-sia
ikutlah mengamini doaku:
allah, selamatkanlah bumiku!
wahai tanah memerah yang menyerap darah
wahai arwah syuhada yang pasrah
ikutlah mengamini doaku:
allah, selamatkanlah bumiku!
wahai para wali penjaga mataangin
wahai para empu yang bersemayam di atas angin
ikutlah mengamini doaku:
allah, selamatkanlah bumiku!
wahai orang-orang madhlum yang tak berdaya
wahai jiwa-jiwa damai yang tak ternoda
ikutlah mengamini doaku:
allah, selamatkanlah bumiku!
amin.
1416/1995
Dengan Apa Hendak Kueja Zaman?
Dengan apa hendak kueja zaman?
kemarau dan hujan
tak lagi datang
pada musimnya
sungai-sungai mengudik
membuat bingung laut dan gunung
jalan-jalan semakin panjang
dan bercabang
tak lagi mengantar musafir
ke tujuan
Dengan apa hendak kueja zaman?
seharian matahari disimpan
dalam lemari es para tuan
semalaman bulan dan bintang
disekap para preman
Dengan apa hendak kueja zaman?
setiap hari orang melahirkan
dan mengubur fakta
makna-makna semakin bingung
hendak hinggap di kata-kata mana?
kata-kata tak lagi tahu
membawa makna apa?
Dengan apa hendak kueja zaman?
khalifah hutan membabati hutan
khalifah pantai mengotori pantai
khalifah laut menguras laut
khalifah gunung meledakkan gunung
khalifah kehidupan membantai kehidupan
khalifah yang hamba lupa dirinya
ditinggal jiwanya
Dengan apa hendak kueja zaman?
1416
Aku Merindukanmu O, Muhammadku
Aku merindukanmu o, Muhammadku
Sepanjang jalan kulihat wajah-wajah yang kalah
Menatap mataku yang tak berdaya
Sementara tangan-tangan perkasa
Terus mempermainkan kelemahan
Airmataku pun mengalir mengikuti panjang jalan
Mencari-cari tangan
Lembut-wibawamu
Dari dada-dada tipis papan
Terus kudengar suara serutan
Derita mengiris berkepanjangan
Dan kepongahan tingkah-meningkah
Telingaku pun kutelengkan
Berharap sesekali mendengar
Merdu-menghibur suaramu
Aku merindukanmu o, Muhammadku
Ribuan tangan gurita keserakahan
Menjulur-julur kesana kemari
Mencari mangsa memakan kurban
Melilit bumi meretas harapan
Aku pun dengan sisa-sisa suaraku
Mencoba memanggil-manggilmu
O, Muhammadku, o Muhammadku!
Di mana-mana sesama saudara
Saling cakar berebut benar
Sambil terus berbuat kesalahan
Quran dan sabdamu hanyalah kendaraan
Masing-masing mereka yang berkepentingan
Aku pun meninggalkan mereka
Mencoba mencarimu dalam sepi rinduku
Aku merindukanmu o, Muhammadku
Sekian banyak Abu Jahal Abu Lahab
Menitis ke sekian banyak umatmu
O, Muhammadku—salawat dan salam bagimu—
Bagaimana melawan gelombang kebodohan
Dan kecongkakan yang telah tergayakan
Bagaimana memerangi
Umat sendiri? O, Muhammadku
Aku merindukanmu o, Muhammadku
Aku sungguh merindukanmu.
1416
Keyakinan
Kesalahan demi kesalahanmu
Dan kekesalan demi kekesalanku
Mungkin membuat dirimu dan diriku lelah
Tapi lihatlah
Aku atau kau yang terlebih dahulu kalah
1416
*) Dipetik dari buku kumpulan “WEKWEKWEK: Sajak Bumilangit” (Surabaya: Risalah Gusti, 1996) karya Gus Mus (KH A. Mustofa Bisri).