Enam Kelompok Terpinggirkan, Jihad Muhammadiyah di Era Terkini
Selaras dengan teologi Al-Ma’un, Muhammadiyah rajin mengadakan kegiatan inklusi sosial. Inklusi sosial sendiri adalah kondisi bagi semua individu dan kelompok masyarakat dapat berpartisipasi dlam seluruh bidang kehidupan tanpa diskriminasi.
“Sehingga dalam konsep inklusi sosial itu tidak ada individu dan kelompok yang tersisihkan dari kehidupan sosial yang kita jalani sebagai warga Muhammadiyah,” jelas Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Hamim Ilyas dalam Gerakan Subuh Mengaji, Kamis 20 Oktober 2022.
Menurut Hamim, gerakan ini mencoba menarik mereka yang tersisihkan untuk dibawa ke tengah, dilibatkan dalam semua kegiatan kehidupan dan tidak sekadar menjadi objek, tapi juga menjadi subjek lewat program-program pemberdayaan.
Kelompok yang tersisihkan sendiri berdasarkan data Kemenko PMK ada 6 kelompok, antara lain:
1) korban diskriminasi, intoleransi dan kekerasan berbasis agama. Misalnya pengungsi Syiah di Sidoarjo dan pengungsi Ahmadiyah di NTT,
2) korban pelanggaran HAM berat,
3) waria/transgender,
4) masyarakat adat dan lokal terpencil yang hidupnya tergantung pada sumber daya alam,
5) kaum difabel,
6) anak dan remaja rentan.
Mereka yang Terpinggirkan
Melihat banyaknya kelompok yang termarginalkan di atas, Hamim menyebut Muhammadiyah telah melakukan program inklusi terhadap enam kelompok di atas. Pemuda Muhammadiyah Yogyakarta misalnya, melakukan program inklusi terhadap kaum waria dengan program hypnoterapi.
“Kalau kita Muhammadiyah tidak melakukan itu penampungan, maka jika kemudian mereka ditampung, diopeni oleh yang lain sehingga kemudian ikut agama mereka kita jangan marah, wong kita abai kok,” ujar Hamim.
Yang paling besar, program inklusi Muhammadiyah menurut Hamim adalah kepada kelompok difabel.
“Untuk pelayanan pada disabilitas kita sudah punya fikih disabilitas sehingga utk pelayanan pada kaum difabel ini kita secara teologis sudah dibuka pintunya lebar-lebar,” kata Hamim.
“Ini jihad fi sabilillah sekarang, kita jihadnya melakukan pelayanan untuk orang-orang yang tersisihkan itu. Itu yang jadi tantangan kita dan kita di Muhammadiyah punya ajaran yang secara teologis bisa menjadi landasan untuk melakukannya,” tutur Hamim.