Enam Hal Penting Sikap NU Belanda, Soal Revisi UU KPK
Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Belanda (PCINU-Belanda) menyatakan, Presiden Joko Widodo tetap menjaga eksistensi Komisi Pemeberantasan Korupsi. Sekaligus, Presiden menolak pelemahan melalui Revisi UU yang diusulkan DPR tersebut dengan menunda pengiriman Surpres (Surat Presiden) ke DPR tentang pembahasan RUU KPK.
Hal tersebut dinyatakan terkait Usulan DPR RI untuk mengubah UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. DPR melalui rapat paripurna telah mengesahkan RUU KPK menjadi inisiatif DPR. Yakni, RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setelah sah menjadi RUU inisiatif DPR, draf RUU tersebut langsung dikirim kepada Presiden Joko Widodo. Kini, DPR menunggu apakah Jokowi akan mengeluarkan surat presiden (surpres) yang memerintahkan menterinya untuk membahas RUU KPK ini bersama para anggota dewan.
"Kami meminta agar DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat untuk menghentikan rencana perubahan UU KPK yang dilakukan secara tergesa-gesa dalam akhir masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019," tutur Muhammad Latif Fauzi, Ketua PCINU Belanda dan Fahrizal Yusuf Afandi, Sekretaris Umum, dalam pernyataan sikap pada ngopibareng.id, Sabtu 7 September 2019.
Para aktivis NU Belanda ini mengingatkan pernyataan Ketua Umum PBNU Prof Said Aqil Siroj. Dalam pernyataannya disebutkan, “Sudah lama saya meyakini, perjuangan melawan korupsi merupakan perjuangan yang sejalan dengan spirit keagamaan (ruhul jihad). Dalam situasi seperti sekarang ini, perang melawan korupsi bisa disepadankan dengan jihad fi sabilillah.”
"Mencermati usulan DPR RI untuk melakukan perubahan terhadap UU KPK, kami PCINU Belanda perlu menyampaikan hal sebagai berikut:
Pertama,
Pemberantasan korupsi adalah agenda besar bangsa Indonesia dalam rangka menegakkan keadilan untuk kemaslahatan (tahqiqul ’adli li ishlahi ar-ra’iyyah). Reformasi pada tahun 1998, dan kemudian pembentukan KPK, memberikan peluang emas kepada bangsa Indonesia untuk membersihkan pemerintahan dari praktik-praktik korupsi yang kronis dan meluas.
Kedua,
Selama ini, KPK yang lahir sebagai ’anak kandung‘ reformasi telah terbukti berkontribusi sangat positif dalam melakukan pencegahan dan penindakan kasus korupsi yang terjadi di berbagai sektor pemerintahan dan di berbagai daerah. Sampai pertengahan tahun 2019, sebanyak 255 orang anggota DPR dan DPRD dijerat KPK karena melakukan korupsi, dan 130 kader para politikus yang menjadi Kepala Daerah juga ditangkap atau diproses karena terlibat korupsi. KPK telah berperan penting dalam upaya pencegahan dan penindakan kerusakan dan pencapaian kemaslahatan, yakni apa yang dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah dar’ul mafasid wa jalbul mashalih.
Ketiga,
Kami juga mencermati peran penting KPK selama ini dalam mencegah dan melakukan penindakan terhadap korupsi di bidang sumber daya alam. Trilyunan rupiah telah diselamatkan KPK dari penanganan kasus korupsi di bidang sumber daya alam. Keterlibatan aktif KPK dalam penanganan kasus korupsi sumber daya alam sekaligus melindungi kedaulatan negara dari perampokan oleh koruptor, serta berperan penting dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Keempat,
Kami mencermati bahwa perjalanan dua dekade reformasi selama ini justru semakin mengarah pada kian dalamnya ketimpangan kesejahteraan, termasuk dalam bentuk ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam lainnya. Ketimpangan semacam ini terjadi karena antara lain karena korupsi perijinan di bidang sumber daya alam masih marak hingga saat ini, dan karena itu peran KPK sangatlah dibutuhkan.
Kelima,
Mencermati isi dari usulan perubahan UU KPK, kami mengkhawatirkan rencana perubahan UU KPK akan membuat KPK mati suri dan tidak lagi memiliki taji dalam mengatasi tindak pidana korupsi di Indonesia yang masif. Kami juga menilai bahwa rencana perubahan UU KPK yang tergesa-gesa tidak sejalan dengan prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan yang harus dilakukan dengan prinsip terbuka, partisipatif, dan kejelasan tujuan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Keenam,
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi umat Islam merasa terpanggil untuk terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi. Hal ini kemudian dikristalisasi dengan melakukan kajian yang telah dipublikasikan dengan judul ‘Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi‘ dan menyusun Agenda Nahdlatul Ulama untuk Pencegahan Korupsi, salah satunya adalah:
Mendorong negara untuk sungguh-sungguh:
[1] Memperkuat lembaga penanggulangan korupsi, seperti KPK, agar efektif, efisien, dan maksimal dalam memberantas tindak pidana korupsi hingga ke akar-akarnya,
[2] melindungi dan memperkuat semua pihak yang melaksanakan jihad melawan korupsi, dan
[3] menghentikan praktik kriminalisasi terhadap pegiat antikorupsi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kami menyampaikan:
1. Kami meminta agar DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat untuk menghentikan rencana perubahan UU KPK yang dilakukan secara tergesa-gesa dalam akhir masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019.
2. Kami berharap Presiden tetap menjaga KPK dan menolak pelemahan melalui Revisi UU yang diusulkan DPR tersebut dengan menunda pengiriman Surpres (Surat Presiden) ke DPR tentang pembahasan RUU KPK.
3. Mengajak agar semua pihak terlebih dahulu mendengar pendapat masyarakat, ulama dan pandangan akademisi untuk memperkuat keberadaan dan kinerja KPK dalam menjalankan tugasnya.
Surat pernyataan tersebut, ditandatangani Muhammad Latif Fauzi (Ketua) dan Fahrizal Yusuf Afandi (Sekretaris Umum), terganggl Belanda, 7 September 2019.