Enam Hal Membuat Rusak Hati, Menurut Hasan al-Bashri (2)
"Selain ucapan “alhamdulillah”, kita dianggap bersyukur bila tingkah laku kita, termasuk dalam penggunaan kekayaan kita, bukan untuk jalan maksiat kepada Allah ﷻ.". Syaikh Nawawi al-Bantani.
Keempat, memakan rezeki Allah tapi tidak mau bersyukur. Karunia dan syukur merupakan pasangan yang tak bisa dipisahkan. Jika tidak ada kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari karunia Allah, maka bersyukur adalah pilihan sikap yang wajib. Orang yang tak mau bersyukur adalah orang yang tidak memahami hakikat rezeki.
Jenis anugerah Allah mungkin ia batasi hanya kepada ukuran-ukuran yang bersifat material belaka, misalnya jumlah uang, rumah, jenis makanan, dan lain-lain. Padahal, rezeki telah diterima setiap saat, berupa nikmat bendawi maupun nonbendawi. Mulai dari napas, waktu luang, akal sehat, hingga berbagai kecukupan kebutuhan lainnya seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian. Hanya mereka yang sanggup merenungkannya yang akan jauh dari kufur nikmat alias tidak bersyukur.
Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nashaihul ‘Ibad mengartikan syukur dengan ijrâ’ul a‘dlâ’ fî mardlâtillâh ta‘âlâ wa ijrâ’ul amwâl fîhâ (menggunakan anggota badan dan harta benda untuk sesuatu yang mendatangkan ridha Allah). Artinya, selain ucapan “alhamdulillah”, kita dianggap bersyukur bila tingkah laku kita, termasuk dalam penggunaan kekayaan kita, bukan untuk jalan maksiat kepada Allah ﷻ.
Perusak hati yang kelima adalah tidak ridha dengan karunia Allah. Pada level ini, orang bukan hanya tidak mau mengucapkan rasa syukur, tapi juga kerap mengeluh, merasa kurang, bahkan dalam bentuknya yang ekstrem melakukan protes kepada Allah. Allah memberikan kadar rezeki pada hambanya sesuai dengan proporsional. Tidak ada hubungan langsung bahwa yang kaya adalah mereka yang paling disayang Allah, sementara yang miskin adalah mereka yang sedang dibenci Allah. Bisa jadi justru apa yang kita sebut “kurang” sebenarnya adalah kondisi yang paling pas agar kita selamat dari tindakan melampaui batas. Betapa banyak orang berlimpah harta namun malah lalai dengan tanggung jawab kehambaannya: boros, sombong, berfoya-foya, kikir, tenggelam dalam kesibukan duniawi dan lupa akhirat, dan lain sebagainya.
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat." (QS Asy-Syura: 27)
Keenam, mengubur orang mati namun tidak mengambil pelajaran darinya. Peristiwa kematian adalah nasihat yang lebih gamblang daripada pidato-pidato dalam panggung ceramah. Ketika ada orang meninggal, kita disajikan fakta yang jelas bahwa kehidupan dunia ini fana. Liang kuburan adalah momen perpisahan kita dengan seluruh kekayaan, jabatan, status sosial, dan popularitas yang pernah dimiliki. Selanjutnya, orang mati akan berhadapan dengan semua pertanggungjawaban atas apa yang ia perbuat selama hidup di dunia.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اْلقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَر مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجَ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ
“Sungguh liang kubur merupakan awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)-nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)-nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR Tirmidzi).
(habis/adi)