Empon-empon Langganan Praktikum Mahasiswa dan Pelajar
Indonesia menjadi negara positif corona atau COVID-19. Kasus pertama yang terjadi di Tanah Air menimpa warga Depok, Jawa Barat. Di Jawa Timur, khususnya Surabaya, sudah ada tindakan antisipasi corona yang digagas Walikota Tri Rismaharini, seperti penyediaan masker, hand sanitizer di area publik, pemeriksaan kesehatan hingga pengobatan gratis.
Sementara itu, menurut penemuan Dr. Chairul Nidom, salah satu Guru Besar Universitas Airlangga (UNAIR), virus corona bisa ditangkal dengan mengonsumsi empon-empon.
Di Surabaya sendiri, ada toko jamu tradisional langganan mahasiswa untuk penelitian. Warung herbal itu terletak di pojokan Pasar Genteng lantai dua. Tepatnya di Blok Y-5 dan berhadapan denga toko elektronik.
Warung ini sudah beroperasi sejak 1980. Kala itu, penjaganya adalah Pak Hadi, sang pemilik. Seiring berjalannya waktu, warung kemudian dijaga oleh istrinya, Wanti pada tahun 1995.
Dari sudut luar sudah terlihat empon-empon atau rempah-rempah seperti jahe, kunyit dan lengkuas yang dikeringkan. Tepat di bagian atasnya ada banner bertuliskan "Jamu Tradisional Ibu Hadi Solo".
Saat pandangan mata bergeser sedikit, warung jamu ini terlihat dipenuhi racikan herbal yang dikeringkan dan berbentuk bubuk. Tanaman yang dikeringkan antara lain daun pegagan, ciplukan, secang, daun ceker ayam, widoro, mahkota dewa, temulawak, kumis kucing, dan jahe merah.
Sedangkan, yang diolah menjadi bubuk seperti kunyit, tempuyung, dan kencur. Di sini, empon-empon tidak diolah dalam bentuk cair karena tidak tahan lama. Meskipun demikian, dalam meraciknya, tidak ada senyawa kimia sebagai tambahan.
Ngopibareng.id disambut Wanti, pada 5 Maret 2020 pagi. Dia mengenakan kerudung merah jambu dan berbaju batik. Sejak pertama kali datang, ibu satu anak ini sibuk membungkus pesanan tanaman herbal, menjawab telepon yang masuk hingga melayani pembeli yang datang. Baru sepuluh menit saja sudah ada tiga pembeli.
Resep Obat Turun Temurun
Setiap hari warung ini buka sejak pukul 08.00 hingga 16.00 WIB. Khusus Minggu, buka mulai pukul 09.00 hingga 14.00 WIB. Liburnya di tanggal merah saja.
Mayoritas pembelinya adalah pasien yang sudah lelah meminum obat dokter. Mereka memilih pengobatan tradisional dengan jamu-jamuan.
“Rata-rata pembeli beralih dari dokter jika dia sudah angkat tangan. Misalkan ada pasien kanker sudah dua kali melakukan kemoterapi tapi nggak sembuh. Dia nggak mau lanjut dan akhirnya beralih ke pengobatan tradisional," kata Wanti.
Selain berjualan, wanita 45 tahun ini juga merangkap apoteker. Maksudnya, ketika ada pembeli datang mengeluhkan sakitnya, Wanti akan menuliskan resep dan cara mengonsumsi jamu racikannya.
Selain itu, pemandangan yang tak biasa adalah konsultasi antara pembeli dengan Wanti. Pelanggan biasanya menanyakan kadar yang harus diminum, campurannya apa saja dan penyakit yang diidap butuh ramuan apa.
Wanti betul-betul terlihat lihai dan sangat memahami topik yang didiskusikan. Setelah ditelusuri, ternyata perempuan kelahiran Purworejo itu sudah mendapatkan resep khasiat tanaman obat dari orangtuanya.
Di tokonya menyediakan sekitar 450 jenis tanaman itu, dan Wanti memahami fungsinya secara keseluruhan.
Promosi Gethok Tular
Produk yang dijual Wanti berbentuk serbuk dan empon-empon dikeringkan. Karena jenisnya berbeda maka cara pengolahannya pun berbeda. Serbuk bisa langsung diseduh. Sedangkan untuk tanaman atau empon-empon kering perlu direbus dalam air mendidih.
Dalam proses berjualan empon-empon, Wanti mengaku tidak pakai promosi sama sekali. Prosesnya mengalir lewat mulut ke mulut atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah gethok tular.
“Orangtua dari dulu menginginkan saya tidak untuk promosi. Biar yang sembuh dan cocok saja yang promosi,” katanya.
Hebatnya, promosi dari mulut ke mulut ini bisa menarik konsumen dari luar kota hingga luar pulau seperti Bojonegoro, Tuban, Jember hingga Ambon.
“Mereka yang dari Ambon atau Jember, biasanya telepon dulu ke saya butuh bahan apa. Biasanya ada yang pesan, mereka tinggal transfer uangnya dan saya kirim (empon-emponnya),” cerita Wanti.
Bahan Diambil di Hutan dan Diolah Sendiri
Bahan tanaman herbal di toko Wanti diambil di Hutan Gunung Wilis dan Gunung Arjuno, Jawa Timur. Contohnya tumbuhan yang langka yakni, sisik naga untuk mengobati kanker serta daun Jombang untuk menghancurkan virus hepatitis. Yang mendapatkan semua tanaman itu adalah Pak Hadi.
Untuk memasok bahan, setiap harinya pria 69 tahun itu mencatat bahan apa saja yang kurang dan dia akan berburu ke hutan. Biasanya, setelah dari hutan Hadi langsung memprosesnya di gudang miliknya di kawasan Wiyung, Surabaya. Dia dibantu ketiga karyawannya.
“Bahannya yang nyari bapak di hutan. Lalu hasilnya dibawa ke gudang produksi kami,” ucap Wanti.
Untuk mengeringkan tanaman herbal bisa dilakukan dengan dua cara, yakni dijemur di bawah sinar matahari atau dimasukkan dalam oven dengan suhu 40 derajat.
Sayangnya, Wanti tak mengetahui kapan bahan-bahan herbarlnya itu kadaluwarsa atau expired.
“Saya nggak tahu expired-nya kapan, semua bahan ini alami. Yang jelas harus di tempat kering dan tidak lembab agar tidak kena jamur,” imbuhnya.
Ya, alangkah baiknya jika bahan sudah berjamur jangan sampai dikonsumsi.
Produk Dibeli Pelajar dan Mahasiswa intuk Praktikum
Kemungkinan Jamu Tradisional Ibu Hadi Solo ini merupakan satu-satunya toko herbal di Surabaya. Sebab, toko ini banyak diburu para mahasiswa dan pelajar untuk penelitian. Antara lain mahasiswa Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Jember (UNEJ), Universitas Widya Mandala, Universitas Hang Tuah dan pelajar SMK Perawat di Kapasari, Surabaya.
Wanti bercerita, sang suami saat bekerja di lembaga pembibitan tanaman herbal, dia mencari tanaman bersama rekannya, Ir. Wahyudi. Sejak saat itu, Wahyudi merekomendasikan Hadi ke salah satu dokter UNAIR yang membutuhkan tanaman herbal untuk tujuan penelitian. Sejak saat itu, setiap kampus tersebut membutuhkan bahan praktikum maka mahasiswanya langsung ke warung milik Hadi.
“Ini teman bapak saat pembibitan yang merekomkan ke dokter UNAIR. Sejak tahun 1990, mahasiswa UNAIR kalau butuh bahan nyarinya ke sini. Pada tahun 2000 ada tambahan mahasiswa asing datang,” ungkap Wanti.
Mahasiswa yang datang bukan hanya mencari bahan, namun juga dikenalkan jenis-jenis tanaman herbal yang ada. Untuk kepentingan penelitian bahan yang dibeli sebanyak 30 kg. Tergantung pada kebutuhannya.
Selama ini tidak ada kerjasama antara warung ini dengan berbagai universitas. Wanti menegaskan, mahasiswa dan pelajar yang datang hanya membeli bahan herbal sama seperti pelanggan pada umumnya.
“Tidak ada kerjasama antara saya dengan sekolah-sekolah itu. Mereka hanya membeli bahan untuk praktikum dan menunjukkan contoh tanaman herbal saja,” tutupnya.