Empati Paska Pembelahan
Saatnya meneruskan tulisan tentang perlunya reinventing Indonesia. Bukan semata terkait dengan gawe nasional: Pemilu 2024. Tapi tentang mendesaknya merawat negeri ini.
Sebetulnya, kontestasi dalam politik itu hal biasa. Apalagi dalam memperebutkan kepemimpinan nasional. Yang akan mengendalikan sumberdaya yang demikian besar.
Tapi persoalannya, kontestasi pemilu belakangan terlalu berkepanjangan. Lukanya. Pembelahannya. Apalagi dengan bungkus identitas berbasis agama. Yang tak selesai hingga sekarang.
Cobalah simak percakapan di media sosial tentang kasus Ustad Abdus Somad. Yang ditolak masuk ke negeri Singapura. Meski hanya untuk alasan berwisata bersama keluarga. Gaduhnya bukan main.
Pembelahannya bukan lagi soal beda pendapat. Tapi pembelahan atas dasar pengelompokan politik. Seakan Abdus Somad simbol oposisi. Sedangkan lainnya penguasa. Antara mereka yang dituduh Islamophobia dan mereka yang Islamist.
Ini adalah pembelahan yang belum tuntas sejak pembentukan negeri ini. Antara mereka yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai ideologi bersama. Konsensus yang masih terus ditawar bagi sebagian kelompok Islam di negeri ini.
Transformasi gerakannya yang berbeda-beda. Jika di awal pembentukan negara, kelompok politik Islam menginginkan implementasi syariah, maka pada zaman Orde Baru berupa penentangan terhadap Azas Tunggal Pancasila. Gagal penerapan syariat Islam, lahir gerakan DI/TII.
Jika dulu aspirasinya ideologisasi Islam dalam sistem negara, sekarang membangun sistem baru berbasis khilafah. Sayang, gagasan ini bukan gagasan genuin aspirasi umat Islam Indonesia, tapi gagasan impor. Sebagai gerakan perlawanan terhadap demokratisasi dan liberalisasi.
Sampai kapan pembelahan seperti ini akan berlangsung? Tentu sepanjang masih banyak elit dan kelompok kepentingan yang menjadikan identitas --agama, suku, dan ras-- sebagai basis dukungan politik. Bukan atas dasar gagasan dan program.
Lah apa masih ada politik identitas itu? Masih. Perhatikan percakapan politik di media sosial. Selain pembelahan kadrun dan cebong, muncul penyematan istilah yang berasosiasi kepada kesukuan, agama dan ras.
Misalnya antara pendukung Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) dan Anies Rasyid Baswedan di Pilgub DKI satu dekade yang lalu. Para pendukung yang satu menggunakan identifikasi orang Yaman untuk Anies, sementara sebutan "kafir" dari pendukung Anies untuk kelompok Ahok.
Ganjar Pranowo yang disebut-sebut sebagai salah satu kandidat terkuat juga terkena imbasnya. Ia ikut kena "getah" dari pertarungan politik identitas ini. Pertarungan politik identitas yang menguat justru di saat terjadi demokratasisasi terhadap akses informasi dengan adanya revolusi digital.
Jika dalam Pemilu 2024 Anies menjadi kandidat capres atau cawapres, sementara kelompok lain yang berelasi dengan kelompok Ahok juga mengajukan kandidat, bukan tidak mungkin idiom-idiom politik identitas itu akan makin marak. Ini jelas sangat tidak sehat dalam pembangunan politik kita.
Bisa saja idiom itu dianggap mereka yang menggunakan sebagai candaan politik. Tapi apa yang terucap atau tertulis itu menunjukkan alam bawah sadar kita tentang tingkat peradaban politik yang kita bangun. Ia menunjukkan budaya politik yang sedang berjalan.
Bahwa Ke-Indonesia-an kita belum tuntas. Bahwa politik kebangsaan kita belum sepenuhnya menjadi bagian dari segala aktivitas politik kita. Bahwa egoisme golongan masih lebih dominan ketimbang upaya membangun kesatuan dan persatuan.
Tentu ini harus menjadi perhatian kita bersama. Seluruh elemen bangsa dan elit politik sudah saatnya mencari formula menghilangkan pembelahan berdasarkan politik identitas ini. Harus ada cara baru bagaimana agar ideologi dan bentuk negara ini harus diterima sebagai sesuatu yang final bagi semua pihak.
Salah satunya dengan menumbuhkan empati antar golongan. Saling merasakan satu sama lain antar komponen bangsa. Tidak lagi mengedepankan egoisme kelompok, baik yang secara realitas sosial sebagai mayoritas atau minoritas.
Parameter kemenangan politik bukan diukur dari sejauh mana kekuasaan bisa dikendalikan. Tapi sejauh mana kualitas hidup seluruh elemen bangsa bisa ditingkatkan. Saling mengendalikan diri untuk tidak menyakiti satu sama lain, baik secara fisik maupun verbal.
Misalnya, penyebutan kata kafir untuk non muslim itu benar menurut teks atau Alqur'an. Tapi dalam konteks kebangsaan tentu akan menjadikan mereka yang non muslim menjadi "exluded" sebagai warga bangsa. Demikian juga penyebutan kata murtad bagi mereka yang keluar dari agamanya.
Saya menjadi teringat dengan etika dalam jurnalisme. Dalam prinsip jurnalistik, sesuatu peristiwa yang punya nilai berita (news value) belum tentu layak muat atau layak publish. Layak muat mempertimbangkan peristiwa yang punya nilai berita dengan wisdom dan etis. Misalnya mempertimbangkan keamanan, budaya, dan nilai-nilai tertentu.
Saya pikir pola berpikir jurnalistik ini akan sangat baik jika juga diikuti para politisi kita dalam membangun peradaban politik yang lebih bermartabat. Politik berkeadaban yang mengedepankan kebangsaan di atas segala kepentingan politik golongan. Menggeser tujuan berpolitik bukan hanya mengendalikan kekuasaan, tapi memberi nilai kemanusiaan di dalamnya.
Rasanya, konsensus baru dalam berpolitik saatnya untuk dikedepankan. Biar bumi Indonesia menjadi rumah bersama dari berbagai kebhinekaan yang ada di dalamnya. Masak tidak bisa?
Advertisement