Empati Menembus Pusaran Pandemi
Mulai hari ini, Jumat 10 April, Pemprov DKI Jakarta secara resmi memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tentu harapannya mencegah menyebarkan virus corona. Tiap hari, jumlah penderitanya terus naik.
Apa bedanya dengan sebelumnya? Bedanya, polisi dan tentara patrol. Bila ketahuan melanggar, bisa jadi, aparat memberikan denda. Pembatasan sosialnya masih sama.
Per 9 April, secara kumulatif, ponderita Covid-19 mencapai 3.293 orang. Dari jumlah itu, selisih antara yang meninggal dan sembuh masih tunggi. 280 orang meninggal dunia dan 252 sembuh.
Presiden Joko Widodo mulai tegas keputusannya. Sekarang ASN, Polisi, TNI, dan pegawai BUMN dilarang mudik. Total di Jakarta, sampai urusan ini reda.
Jadwal libur bersama pun digeser ke akhir tahun. Harapan pemerintah, seusai rencana ini usai, semua bisa bergembira. Semoga.
Yang pasti, semua orang beradaptasi dengan pandemi ini. Tentu saja, jika agar bisa berselancar dan selamat. Industri konveksi sebagian beralih.
Dari yang awalnya buat jilbab atau pakai, bergeser. Jadi memproduksi APD hingga masker. Hotel mengubah fungsinya, menjadikan diri sebagai fasilitas karantina mandiri.
Rumah sakit tetap ramai. Tapi banyak klinik gigi tutup. Yang kena PHK, mulai berlatih wirausaha. Karena, bisa jadi pengangguran makin tinggi.
Sebagian kalangan pengusaha mengaku, hanya bisa bertahap sampai Juni nanti. Memang, yang paham makro ekonomi, semua hanya bisa mengelus dada.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, di depan Raker dengan Komisi X, mengaku kerap menangis. Bahkan hampir setiap malam. Tentu memikirkan penyiapan kebijakan ekonomi karena Covid-19.
Bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati hingga OJK dan LPS, dia mengaku tengah menyiapkan "kapal penyelamat". Bak milik Nabi Nuh, kapal itu adalah payung aturan. Agar banjir efek Covid-19 ini tidak menenggelamkan Indonesia.
Sebelumnya, juga di depan Komisi X, Menteri Sri Mulyani pernah meminta agar pemberian THR untuk aparat pemerintah dikaji ulang. Karena dana APBN akan difokuskan ke penangganan pandemi. Untungnya, beberapa hari kemudian, keputusan itu diubah.
Kini, untuk THR para aparat pemerintah sudah ada. Yang belum untuk para petinggi negeri. Dari dua peristiwa Gubernur Perry yang menangis dan Menteri Sri pusing urusan THR, bisa dipastikan, kondisi Indonesia tidak baik-baik saja.
Tapi banyak juga hal baik yang bertebaran. Seminal, birunya langit di banyak kota besar. Terlihat indah. Biru menentramkan hati. Di malam hari, pijar bintang mekar bak kunang-kunang.
Di media sosial, beragam foto yang sudah berbagi keindahan alam. Sebagian warga India, kini bisa menikmati indahnya salju pegunungan Himalaya, dari jarak 200 km. Sesuatu yang jarang sekali terjadi.
Banyak yang yakin, pandemi adalah cara bumi beradaptasi. Merejuvenasi diri. Juga sebenarnya ada pesan, bahwa perilaku kita sebelumnya yang berlebihan telah merusak alam.
Pada diri manusia, pandemi ini juga mengubah gaya hidup. Mulai menikmati pertemuan tanpa harus bertatap muka dengan nyata. Ternyata, ada baiknya juga.
Di sisi lain, pagebluk ini juga telah menyentuh hati. Bagaimana hati serasa teriris, saat para keluarga korban meninggal tak bisa mengurus pemakaman secara layak. Mereka hanya bisa melihat dari jauh.
Baru mendekat setelah jenazah tertutup tanah. Itupun hanya bisa dihitung Denham jari, pelayat yang boleh datang. Keluarga terdekat. Bahkan ada anak yang tak bisa hadir di pemakaman ayahnya. Tragis.
Ada juga warga yang menolak lokasi pemakaman di kampungnya untuk mengubur jenazah pasien Covid yang meninggal dunia. Alasannya sederhana. Takut jenazah menulari warga sekitar.
Tentu saja, beragam informasi sudah disebar. Cuma, apakah pemahaman bisa serupa, ini juga kendala. Sikap penolakan ini, juga tidak pada tempatnya.
Warga terkesan sewenang-wenang. Walau lebih besar kelihatan bodohnya. Merasa tahu tapi tak mau tahu. Untungnya, pemerintah dan para pemuka agama turut bersuara.
Hal positif juga menyeruak. Banyak empati yang muncul. Bak cendawan di musim hujan.
Senin lalu, saya menerima pesan singkat. Isinya, inisiatif beberapa teman bekas pegiat Persma UGM tengah mengalang dana. Targetnya tidak banyak, hanya sebesar Rp 10 juta.
Rencananya, uangnya untuk membeli 100 buah APD. Akan dikirim bagi petugas kesehatan di Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah. Inisiatif ini muncul, setelah salah satu teman yang istrinya dokter, berbagi cerita bagaimana menangani pasien positif Covid-19.
Tentu saja, empati tak cuma untuk petugas kesehatan. Seorang teman lainnya, mengalang dana dari para temen almuni SMA, untuk membuat masker. Karena dana yang terkumpul lumayan, jumlah masker yang dibagi gratis juga banyak.
Lain cerita datang dari Kagama Filsafat UGM. Mereka mengumpulkan para alumni yang ingin berbagi. Karena pandemi ini juga berimbas pada nasib mahasiswa.
Terutama mahasiswa yang ikut Program Bidikmisi. Mereka terkategorikan unggul, namun datang dari keluarga berkekurangan. Tunas yang diharapkan mengangkat mereka menuju kebaikan.
Bisa jadi, orang tua atau kerabatnya juga terimbas pagebluk ini. Sehingga tak ada tambahan uang bulanan yang dikirim. Bantuan itu direncanakan sampai Covid-19 ini tuntas.
Banyak juga yang dengan inisiatif sendiri berbagi. Dari hal sederhana. Membagi nasi bungkus bagi para pemulung, pekerja informal, atau mitra ojek online yang jelas terimbas.
Atau bahkan ada yang berbagi uang tunas secara langsung. Lantas divideokan, mungkin harapannya bisa jadi inspirasi. Tapi ada juga yang melihat sisi sebaliknya.
Memang, empati banyak arti. Biasanya merujuk kapasitas psikologis. Elemen yang turut membentuk manusia sebagai makhluk sosial. Ada keterlibatan secara emosional.
Sejak abad ke delapan belas, kaum cerdik pandai menjadikan empati menjadi pusat penyelidikan ilmiah. Khususnya terhadap dasar psikologis yang mendasari sifat sosial dan moral manusia.
Psikolog Edward Titchener (1867–1927) memperkenalkan istilah "empati" pada tahun 1909. Dia menyadap dari istilah Jerman "Einfühlung" (atau "feeling into"). Simpati jadi istilah yang merujuk untuk fenomena terkait empati.
Kalau pemikir David Hume meyakini pikiran manusia adalah cermin satu sama lain. Saat bertemu orang lain, manusia dapat beresonansi. Yakni menciptakan kembali pikiran dan emosi orang itu pada berbagai dimensi kompleksitas.
Urusan Covid-19 ini, juga menghadirkan kompleksitas. Mengharuskan kita kembali memperkuat diri. Perkuat kesehatan, keimanan, juga mengatur ulang keuangan.
Menentukan skala prioritas jadi penting. Jika tak perlu banget, jangan dilakukan. Baik itu pertemuan, perjalanan, atau urusan dagang.
Tapi kalau ada peluang, jangan pula dibuang. Seorang teman, direktur perusahaan riset dan survei, kini memilih membuka peternakan kambing.
"Saat semua bisnis susah, kita ambil peluang yang riil saja," ungkap lulusan Komunikasi UGM itu. Empat bulan lagi adalah Idul Qurban. Semua yang mampu pasti berkurban.
Mungkin, karena kondisi ekonomi, bisa jadi orang yang biasa kurban sapi, diubah ke kambing. Potensi pasar itu jadi pertimbangan. Dia pun menawarkan peluang ini.
"Dalam empat bulan, keuntungan bisa 33 persen," ungkapnya. Seorang kawan yang ditawari investasi ini hanya tertawa. "Waktu ramai survei pemilu atau pilkada, kok kita tidak ditawari saham perusahaan surveynya," katanya.
Karena dia yakin, bisnis survei dan pilkada, untungnya menggunung. Bisa jadi ribuan persen. "Ini yang ditawarkan kok cuma yang untung 33 persen," katanya.
Urusan Covid-19 ini, juga membuat saya pening kepala. Karena saya dan istri, kembali lupa kalau 8 April lalu, adalah hari jadi pernikahan kami. Yang ke 14 tahun.
Kami diingatkan oleh pesan teks dari ibu. Yang mengucapkan selamat dan berkirim doa. Memang, Ibu selalu ingat hal penting dari anak-anaknya.
Tapi bagaimana dengan istri saya? Apakah dia marah karena saya lupa? Untuk yang ini, saya ceritakan lain waktu saja ya.
Ajar Edi
Kolomnis Ujar Ajar