Empat Urgensi Perlindungan PRT Dibahas di Muktamar NU
Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama yang diselenggarakan di empat lokasi di Provinsi Lampung memiliki sejumlah agenda pembahasan yang terbagi dalam enam komisi, salah satunya komisi qanuniyah yang fokus menyoroti persoalan hukum.
Sedikitnya ada empat persoalan hukum yang menjadi fokus pembahasan sebagaimana tercantum dalam Draf Materi Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama. Keempat persoalan yang diangkat, antara lain tentang
(1) Undang-Undang Perubahan Iklim sebagai langkah penyelamatan bumi,
(2) telaah Rancangan Undang-Undang KUHP,
(3) urgensi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan
(4) penegasan kembali atas amanat konstitusi di bidang agrarian untuk kemakmuran rakyat.
Ketua Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah KH Mujib Qulyubi menjelaskan beberapa kriteria pembahasan yang akan dibawa ke muktamar. Di antaranya regulasi yang bersifat nasional, melibatkan kepentingan orang banyak, dan belum pernah dibahas atau sudah dibahas tetapi belum ada respons positif dari semua pihak.
Dari ketentuan yang telah ditetapkan itu, maka Komisi Bahtsul Qanuniyah Muktamar ke-34 NU memutuskan untuk membahas empat masalah.
“Inilah peran NU dalam muktamar agar turun dan terlibat. Bukan hanya mengurusi diri sendiri, kontestasinya, tetapi kita berpikir keberpihakan kepada rakyat kecil dan persoalan internasional, serta kepentingan orang banyak,” ujar Kiai Mujib.
Reforma Agraria
Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muktamar NU Idris Masudi membeberkan alasan dibahasnya reforma agraria. Ia menegaskan, soal tanah ini sangat krusial karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Bahkan persoalan ini akan dibahas di dua komisi bahtsul masail yang lain, waqi’iyah dan maudhu’iyah.
Dari persoalan Bahtsul Masail Qanuniyah akan mendorong pemerintah untuk secara konsisten menjalankan amanat konstitusi yang termaktub dalam Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Karenanya, komisi ini juga akan meminta pemerintah untuk segera melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan. Terlebih di bidang agraria serta sumber daya alam dengan menjadikan amanat konstitusi sebagai kriterianya.
Idris menegaskan bahwa tingkat ketimpangan alokasi sumber agraria sudah semakin parah. Sebagai langkah antisipasi dampak strukturnya maka pemerintah diminta untuk menghentikan pemberian alokasi tanah dalam skala luas kepada korporasi besar. Sebab hal itu mengancam penguasaan tanah oleh rakyat serta menimbulkan ketidakpuasan di daerah.
“Itu rumusan awal draf yang akan kami bawa di Muktamar NU Lampung soal agraria,” jelas Idris.
Perubahan Iklim
Kedua, Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muktamar NU juga akan membahas perubahan iklim. Berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi sehingga mengakibatkan perubahan iklim itu berkaitan pula dengan persoalan tanah.
Idris mengatakan, dampak dari ketimpangan alokasi tanah yang besar-besaran untuk korporasi merupakan penyebab utama perubahan iklim. Begitu pula musibah-musibah bencana alam yang terjadi di Indonesia.
“Itu bukan hanya musibah alam biasa yang itu memang faktor alam, artinya tidak ada kaitannya dengan ulah manusia, tetapi banyak sekali juga yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan atau disebabkan oleh eksploitasi atas tanah yang besar-besaran oleh koorporasi,” tegas Idris.
Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muktamar NU akan merekomendasikan kepada pemerintah untuk menerbitkan landasan hukum yang kuat dan komprehensif yang benar-benar mengatur antisipasi perubahan iklim.
“Tujuannya agar anak cucu kita ke depan tidak mendapatkan warisan musibah yang bernama perubahan iklim itu. Kalau manusia tidak serakah, maka kerusakan-kerusakan yang ada di bumi mungkin tidak parah seperti hari ini, sehingga PBNU melalui komisi qanuniyah merekomendasikan pemerintah agar menerbitkan undang-undang strategi untuk menangani perubahan iklim,” katanya.
R-KUHP
Masalah ketiga yang dibahas adalah soal R-KUHP yang hingga kini masih ditangguhkan. Pembahasan mengenai R-KUHP ini sebenarnya telah dilakukan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Lombok pada 2017.
“Kita sudah menyuarakan dan mendukung 100 persen keberadaan KUHP baru ini. Namun sayang proses itu berhenti ketika terjadi demonstrasi pada 2019, yang akhirnya membuat DPR dan Presiden (Joko Widodo) menunda pengesahannya,” ungkap Anggota Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muktamar NU Syamsudin Slawat Pesilette.
Syamsudin menjelaskan bahwa di dalam R-KUHP saat ini mengakomodasi tiga kesatuan hukum yang berlaku. Pertama, hukum yang berasal dari Belanda. Kedua, hukum Islam yang berlaku pada masyarakat Muslim di Indonesia. Ketiga, berasal dari hukum adat.
Perdebatan yang saat ini muncul dalam KUHP adalah soal kesusilaan atau perzinaan. Konsep zina yang berlaku sekarang hanya berupa perselingkuhan atau persetubuhan yang dilakukan oleh pasangan yang masing-masing sudah menikah. Sementara persetubuhan antara pasangan yang belum menikah dianggap tidak melanggar hukum.
“Di R-KUHP ini ditentukan bahwa persetubuhan yang dilakukan di luar nikah itu zina. Artinya sudah merangkum nilai-nilai hukum Islam dan adat yang berlaku. Itulah kenapa kita perlu mendukung bahkan mendesak R-KUHP ini segera disahkan,” katanya.
RUU PPRT
Anggota Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muktamar NU Abdullah Aniq Nawawi mengatakan, Indonesia saat ini belum memiliki undang-undang khusus yang berfungsi melindungi hak-hak para PRT. Karena itu, NU akan mendorong pemerintah segera mengesahkan RUU PPRT ini.
“Selama ini kita hanya punya peraturan menteri, tetapi itu tidak cukup karena tidak bisa dijadikan landasan hukum. Misalnya ketika PRT mengalami tindakan kekerasan dan pelecehan,” katanya.
Ia membeberkan, RUU PPRT ini sudah mulai disuarakan sejak 17 tahun lalu, tetapi pengesahannya selalu ditunda-tunda. Menurut Abdullah, kemungkinan ada pihak-pihak yang merasa tidak diuntungkan kalau PRT dilindungi haknya.
“Kemudian, melalui komisi ini kita ingin memberikan penjelasan kepada publik terkait pengakuan kepada PRT. Selama ini PRT itu selalu identik dengan pembantu dan kita ingin mengubah cara pandang itu,” katanya.
Sebab dalam pandangan fikih, lanjut Abdullah, PRT disebut sebagai al-ajir al-khos atau seorang pekerja profesional dengan kemampuan khusus. Pekerjaan ini setara dengan profesi-profesi lain.
“Jadi PRT itu di dalam Islam justru ditempatkan pada posisi sejajar dengan pekerja-pekerja yang lainnya. Karena ditempatkan di sana maka tidak boleh dianggap sebagai subordinat seperti selama ini, seperti hanya bawahan dan asisten. Nah Islam tidak begitu. Kita akan bahas (RUU PPRT) secara detail,” tegasnya.
Ia berharap, pembahasan yang secara detail itu ditambah dengan memberikan banyak landasan keagamaan yang kuat di dalam draf bahasan, mampu mendorong berbagai pihak termasuk pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PPRT ini.
Selain komisi qaniniyah, ada lima komisi lain dalam muktamar yang digelar pada 22-24 Desember 2021 ini, yaitu komisi maudhu’iyah yang fokus pada isu-isu tematik, komisi waqi’iyah yang fokus pada status hukum kasus-kasus aktual, komisi organisasi, komisi program, dan komisi rekomendasi.
Advertisement