Empat Tokoh NU Wafat dan Dimakamkan di Tanah Suci
Kematian adalah makhluk yang misterius. Ia datang kepada siapa pun tak mengenal waktu, dan tempat. Karena misterius itulah ajaran Islam mengingatkan agar selalu ingat mati berdoa agar meninggal dalam keadaan iman terjaga atau husnul khatimah.
Umat Islam mengungkapkan harapan itu setidaknya lima kali dalam sehari, selepas salat fardhu melalui doa "allahuma ini asaluka husnal khatimah wa ‘audzubika min su’il khatimah" yang diiringi doa lain, "rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah."
Namun, ada sebagian orang yang berharap meninggal di tempat yang paling istimewa, bahkan di hari yang menurutnya istimewa. Namun, namanya doa, tak lantas terkabul sesuai kenyataan. KH Maimoen Zubair adalah pengecualian. Ia ingin meninggal di Tanah Suci makkah dan sedang melaksanakan ibadah haji. Terpenuhi sudah doanya itu.
Berikut ini ada beberapa tokoh NU yang meninggal di Tanah Suci, Makkah al-Mukaramah, Arab Saudi. Sangat mungkin ada kiai lain yang tidak tercatat.
1. KH Abdul Karim Hasyim (putra Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, tahun 1972)
Kiai Abdul Karim Hasyim merupakan salah seorang putra dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ketika ayahnya wafat pada tahun 1947, Kiai Abdul Wahid Wahid (kakak dari Kiai Karim) melanjutkan kepemimpinan pesantren Tebuireng. Namun, waktu itu, Kiai Wahid Hasyim sudah menjadi tokoh populer di tingkat nasional, keberadaannya sangat sering di Jakarta. Sehingga kepemimpinan dipercayakan kepada Kiai Karim.
Ketika diangkat manjadi menteri agama, Kiai Wahid semakin sibuk sehingga kepemimpinan pesantren Tebuireng manjadi kosong sehingga keluarga besar Bani Hasyim memilih Kiai Karim sebagai penggantinya.
Pada tahun 1972, Kiai Karim menunaikan ibadah haji bersama Kiai Idris Kamali. Saat menjalankan rukun Islam kelima itu, Kiai Karim menderita sakit yang diakibatkan oleh perubahan cuaca. Setelah beberapa hari dirawat, Kiai Karim meninggal dunia dan jenazahnya dimakamkan di Makkah.
2. H Subchan ZE (Ketua Empat PBNU, tahun 1973)
Nama lengkap tokoh NU yang satu ini adalah Subchan Zaenuri Echsan. Namun, dua nama belakangnya lebih populer disingkat ZE, jadi Subchan ZE. Ia merupakan tokoh muda NU yang populer di zamannya. Watak kempimpinanya mampu menggerakkan organisasi pemuda di luar NU seperti HMI, GMNI, PMKRI, setelah terjadinya G 30 S PKI melalui Komando Aksi Pengganyangan (KAP) Gestapu yang dipimpinnya.
Tahun 1966 Subchan diangkat sebagai Wakil Ketua MPRS. Saat menjabat itu, Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden oleh tahun 1968. Namun, Subchan kemudian menjadi salah seorang pengkritik paling tajam terhadap kebijakan-kebijakan presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu. Salah satu kritik yang dilontarkannya adalah ketika pemerintah menunda-nunda pemilu.
Dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU mengemukakan pendapat Subchan tentang Orde Baru yang intinya: 1) penegakan tata kehidupan demokrasi; 2) penegakan tata kehidupan hukum dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari; 3) pengusahaan adanya pendemokrasian di dalam pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi, dan; 4) penegakkan hak asasi manusia.
Subchan meninggal pada 21 Januari 1973 di Arab Saudi saat menjalankan ibadah haji dalam perjalanan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Ia dimakamkan di sana.
3. KH Ahmad Syuja’i Ciharashas (tokoh NU Cianjur, tahun 1983)
Mama Ajengan KH Ahmad Syuja’i menjadi aktivis NU tidak sembarangan. Ia dianjurkan memperkuat NU di Priangan Barat, tepatnya Cianjur oleh tiga habib dan satu kiai. Tak heran, sejak masih santri KH Ahmad Syatibi Gentur (Mama Kaler), Mama Ciharashas sudah memiliki Kartanu.
Menurut santri mama Ciharashas, KH Abdul Aziz Hidayatullah, pada buku Riwayat Hidup KH Muhammad Syuja’i (Mama Ciharashas) bin Haji Ghojali Singapraja, Mama Ciharashas dianjurkan masuk dan aktif di NU oleh KH Mansur Jembatan Lima, Jakarta (Guru Mansur). Bahkan Guru Mansur menganjurkan harus punya KARTANO (sekarang Kartanu).
Begitu pula setelah Mama Ciharashas mendirikan Pesantren Asy-Syuja’i, banyak dukungan dari masyayikh agar menjadi pengurus Nahdlatul Ulama. Anjuran itu didukung Habib Muhammad Al-Haddad, Tegal, Jawa Tengah, Habib Syekh bin Salim Al-Attas, Sukabumi, dan Al-Habib Utsman Al-Idrus, Bandung.
Kemudian Mama Ciharashas diangkat sebagai Wakil Rais Syuriah PWNU Provinsi Jawa Barat, hingga akhir hayatnya 28 Agustus 1983 M. Ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Suci Makkah saat menunaikan ibadah haji tahun itu.
4. KH Maimoen Zubair (Mustasyar PBNU, tahun 2019)
Selasa 6 Agustus 2019, salah seorang kiai sepuh NU, KH Maimoen Zubair tutup usia. Dalam waktu singkat, kabar tersebut menyebar dari satu akun ke akun lain melalui media sosial. Rakyat biasa hingga presiden mengungkapkan kehilangannya.
Kiai yang akrab disapa Mbah Moen ini tutup usia di Tanah Suci Makkah saat melaksanakan ibadah haji pada usia 91 tahun. Menurut riwayat mutawatir, ia kerap meminta didoakan agar Allah memanggilnya di hari Selasa pada saat menjalankan ibadah haji. Dan, doanya itu telah terkabulkan.
KH Saifuddin Zuhri dalam sebuah artikelnya yang dikumpulkan dalam Secercah Dakwah mengatakan, para pejuang (NU) angkatan sebelumnya, telah merintis jalan dan berbuat, mereka memperoleh pahalanya. Tetapi segi-segi kekurangannya harus berani diakui meskipun pahit untuk disempurnakan bagi taraf-taraf perjuangan seterusnya. (nuo)