Empat Tokoh Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional, Siapa Saja Mereka?
Empat tokoh dianugerahi gelar Pahlawan Nasional 2017 yakni almarhum TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, almarhum Laksamana Malahayati, Sultan Mahmud Riayat Syah dan Lafran Pane.
Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Kamis, menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Acara penganugerahan tersebut dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari Pahlawan Nasional Tahun 2017.
Presiden Jokowi secara resmi menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada ahli waris dari 4 tokoh yakni TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Laksamana Malahayati dari Provinsi Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan Lafran Pane dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penganugerahan tersebut memperhatikan Petunjuk Presiden RI kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan berkenaan dengan Hasil Sidang III Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pada 19 Oktober 2017 sesuai usulan dari Kementerian Sosial RI tentang Permohonan pemberian Gelar Pahlawan Nasional.
Keempat tokoh tersebut dianggap pernah memimpin dan berjuang dengan mengangkat senjata atau perjuangan politik untuk merebut, mempertahankan, mengisi kemerdekaan, dan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Mereka juga dianggap tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan, mengabdi dan berjuang sepanjang hidupnya bahkan melebihi tugas yang diembannya, pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara, hingga pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Para tokoh tersebut juga dianggap memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi hingga perjuangannya dinilai berdampak luas di kalangan masyarakat.
Hadir dalam acara penganugerahan tersebut keluarga ahli waris keempat tokoh, para Menteri Kabinet Kerja, dan para pejabat seperti Ketua MPR Zulkifli Hasan, dan Ketua DPD Oesman Sapta.
Berikut profil singkat keempat tokoh Pahlawan Nasional tersebut:
1. Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd: Lahir di Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 5 Agustus 1898 – meninggal di Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 21 Oktober 1997 pada umur 99 tahun.
Beliau adalah seorang ulama karismatis dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan merupakan pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islām terbesar di provinsi tersebut. Di pulau Lombok, Tuan Guru merupakan gelar bagi para pemimpin agama yang bertugas untuk membina, membimbing dan mengayomi umat Islām dalam hal-hal keagamaan dan sosial kemasyarakatan, yang di Jawa identik dengan Kyai.
Seperti Hamka, beliapun memiliki nama singkatan, yaitu Hamzanwadi (Hajji Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd Nahdlatul Wathan Dīniyah Islāmiyah)
2. Laksamana Malahayati: Beliau adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Nama lahirnya adalah Keumalahayati. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530–1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada tahun 1585–1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal. Dia mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.
Malahayati dikebumikan di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.
3. Sultan Mahmud Riayat Syah (1760-1812) merupakan pejuang yang konsisten dan pantang menyerah terhadap penjajah Belanda semasa hidupnya. Di saat penjajah akan menguasai Riau, Pahang, dan Johor selama puluhan tahun. Ia wafat pada 12 Januari 1812. Bahkan Kapal Belanda berhasil ditenggelamkan pada 6 Januari 1782.
Sultan Mahmud Riayat Syah adalah raja kedelapan dan terakhir dari Kesultanan Melaka. Dia dipilih sebagai raja menggantikan ayahnya, Sultan Alauddin Riayat Syah I, melangkahi saudaranya yang lebih tua, Munawar Syah.
Sultan Mahmud Riayat Syah merupakan salah satu sosok pejuang kemerdekaan yang gigih mengusir Belanda dari monopoli perdagangan timah dan hasil laut maritim yang saat itu menduduki Kepulauan Riau.
Pada masa kejayannya, Sultan Mahmud Riayat Syah memiliki strategi perang grilya laut yang hebat. Salah satunya pada tahun 1787 saat Belanda menduduki Ibukota yang sekarang disebut Tanjung Pinang, Sultan Mahmud Riayat Syah dengan bantuan persenjataan armada laut dari Raja Sabah berhasil mengusir Belanda.
4. Lafran Pane dikenal sebagai salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari 1947.
Perihal perannya dalam HMI, Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor menetapkan Lafran Pane sebagai pemrakarsanya berdirinya HMI dan disebut sebagai pendiri HMI.
Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan, 5 Februari 1922. Menurut berbagai tulisan sebelumnya, disebutkan bahwa Lafran Pane lahir pada 12 April 1923 di Kampung Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, sebuah kecamatan yang terletak di kaki Gunung Sibualbuali, 38 kilo meter ke arah utara dari "kota salak" Padang Sidempuan, ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Wafat pada tanggal 24 Januari 1991, orang akhirnya tahu, setelah kematiannya, Lafran ternyata lahir 5 Februari 1922, bukan 12 April 1922 seperti yang kerap ia gunakan dalam catatan resmi.
Lafran Pane sendiri menolak untuk dikatakan sebagai satu-satunya pendiri HMI.