Empat Tips Meraih Hidup Mulia, KH Mahrus Aly: Hormati Perempuan
Dalam suatu mauidhoh hasanah, K.H. Mahrus Ali Lirboyo (almaghfurlah), Pengasuh Pesantren Lirboyo Kediri, menyampaikan pesan: "Seseorang berumah tangga bila ingin sukses kucinya menghormati istri".
Berikut ada empat kunci sukses dalam hidup.
1. Orang berumah tangga kalau ingin sukses itu kuncinya adalah hormatilah istrimu.
2. Kalau kau Ingin hidup mulia hormati dua orang tuamu, khususnya ibumu.
3. Ingat kalau kamu ingin menjadi pemimpin yang dimuliakan, maka hindarilah 2 godaan, yaitu :
- Pertama, jangan sampai kamu tergoda uang ( jangan mata duitan ).
- Kedua, jangan sampai kamu tergoda oleh perempuan lain selain istrimu ( jangan mata keranjang ).
Kalau kau bisa lulus dari dua godaan tersebut, Insyaa-Allah kamu bakal mulia dan selamat.
4. Orang yang mempunyai ilmu sambil di riyadlohi dengan yang tidak di riyadlohi itu hasilnya beda. Riyadlohi yang paling utama adalah istiqomah (teguh dan kuat dalam tauhit, ibadah, akhlak, kebaikan dan kebenaran). Wallahu a'lam!
Semoga kita dan seluruh keluarga kita selalu bertaqwa kepada Allah, berakhlak mulia, istiqomah dalam kebaikan, mendapat ridho-Nya. Amin....!!! Semoga bermanfaat.
Memahami Perempuan
Kiai Mahrus Aly menekankan pentingnya menghormati istri. Dialah perempuan yang menjadi ibu anak-anak kita. Guna memahami perempuan, berikut penjelasan H.M Soffa Ihsan, Pengurus MUI Pusat yang juga
Dosen PAI Universitas Indonesia (UI), Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku).
Keberadaan perempuan hingga kini memang masih menyisakan beraneka tatapan. Perempuan masih kerapkali dipandang sebagai subordinat laki-laki. Ini disebabkan oleh budaya, tradisi maupun tafsir keagamaan. Ketika Pemilu misalnya, selalu saja ribut soal kepemimpinan perempuan. Terlebih, munculnya kelompok-kelompok muslim puritan yang saat ini tengah menjamur pastikan saja lebih kaku lagi dalam menempatkan perempuan pada posisi superketat semisal tak boleh menjadi pemimpin.
Tatapan Klasik
Dalam pemaparan kitab kuning misalnya, masih memunculkan kritisasi menyangkut bias jender. Soal pembedaan antara perempuan (muannats) dan laki-laki (mudzakkar) dalam kitab kuning sudah terlihat pemahaman yang timpang. Dari struktur bahasa, bahasa Arab sudah terlihat seksis. Bahasa Arab sebagai bahasa kitab kuning membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam semua jenis suku kata, yakni kata benda (isim), kata kerja (fi’il) maupun kata sifat (na’at wa man’ut). Ini memberikan pemahaman betapa tingginya kesadaran jenis kelamin dalam kitab kuning.
Yang menarik adalah adanya klaim bahwa pada dasarnya semua suku kata adalah laki-laki (mudazakkar), kecuali dapat membuktikan bahwa “dirinya” adalah perempuan (muannats). Dari klaim ini, lahirlah eksistensi yang tersebut pertama haruslah melebur ke dalam yang tersebut kedua. Taruhlah, misalnya suku kata al-nas. Secara harfiah, suku kata yang berarti “manusia’ dan mencakup bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan, oleh bahasa kitab kuning diperlakukan sebagai laki-laki (mudzakkar).
Juga, contohnya untuk kata ganti orang ketiga jamak, untuk perempuan dipakai hunna, sedang untuk laki-laki dipakai hum. Atau kata ganti jamak orang kedua, bagi perempuan kunna, bagi laki-laki kum. Tetapi, dalam bahasa kitab kuning, apabila dikehendaki menyebut kata ganti jamak bagi laki-laki dan perempuan, dipakailah kum atau hum, yang pada dasarnya menunjuk laki-laki.
Ini baru soal bahasa. Dari maskulinitas bahasa, merembet dalam tatapan semisal tentang perkawinan dan seks. Dalam kitab, Ihya’ Ulumuddin, al-Ghazali menyinggung tentang syahwat. Al-Ghazali memuji syahwat karena dua hal, yaitu memotivasi orang berebut ke surga dan menjadi landasan wadah keberlangsungan keturunan. Menurutnya, jika seseorang merasakan kenikmatan seks sebagai puncak dari keseluruhan kenikmatan dunia, ia akan berfikir bahwa di surga ada yang lebih nikmat lagi yang perlu diraih dan direbut.
Kata al-Ghazali,”Seorang laki-laki ketika penisnya ereksi, ia telah kehilangan dua pertiga pertimbangan akalnya.” Makanya, saluran yang paling baik adalah lewat perkawinan. Bagaimana tentang perkawinan? Al-Ghazali mengibaratkan bahwa perkawinan adalah sejenis perbudakan. Istri ibaratnya adalah budak yang harus tunduk total kepada suaminya. Suamilah yang menjadi pemilik sah yang berhak meminta pelayanan kepada istrinya sejauh bukan untuk kemaksiatan.
Dalam kitab kuning, banyak anjuran yang ditimpakan kepada perempuan, tetapi tidak buat laki-laki. Kekuasaan penuh suami tertuju tidak hanya pada urusan keseharian istri, melainkan juga menyentuh soal keagamaan. Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Minhaj al-Qawim misalnya, menyebutkan bahwa yang boleh dilakukan istri tanpa persetujuan suami hanya pada puasa Arafah dan Asysyura.
Tumpukan perintah dan larangan bagi perempuan ini agaknya bermuara pada anggapan bahwa “perempuan adalah penggoda”. Dalam bahasa fikih, tubuh perempuan adalah fitnah dan sensualitasnya mengancam (dharar).
Kata Nawawi al-Bantani dalam Uqud al-Lujain seraya menyitir sebuah Hadits,”Perempuan adalah perangkap bagi setan untuk menggoda manusia. Andaikata syahwat ini tidak ada, niscaya perempuan tidak punya kuasa di mata laki-laki.” Sampai-sampai pula, ada “etiket” seperti ditulis dalam kitab Mizan al-Kubra karya Abu al-Wahab ibn Ahmad al-Anshori bahwa laki-lakilah yang diperkenankan melihat kemaluan istrinya dan bukan sebaliknya.
Beda dengan perempuan, seksualitas laki-laki cenderung dimanjakan. Ada tafsiran terhadap Al-Quran surah al-Baqarah ayat 286,”Ya Tuhan kami, janganlah kami dibebani dosa dari sesuatu yang di luar kuasa kami”. Ayat ini ditafsirkan sebagai ungkapan agresivitas nafsu seks laki-laki.
Ada lagi, seperti tafsiran Ibnu Abbas terhadap surah al-Falaq ayat 3 yang berbunyi,”Dan aku berlindung dari sesuatu yang memaksa ketika gelap gulita” dengan tafsiran sebagai ereksi penis dan sebagian mengartikan penis ketika masuk ke liang vagina.
Namun, pandangan tentang kesejajaran perempuan dan laki-laki bukan tidak ada sama sekali dalam kitab kuning. Yakni, ketika mereka memandang bahwa kedua makhluk itu dari kacamata spiritualitas ketuhanan.
Dalam dunia tasawuf, konsep berpasangan (azwaj) dikaji lebih mendalam. Menurut Nasafi, Tuhan Yang Maha Mandiri di mana segala sesuatu tergantung kepada-Nya (Allahu Ahad, Allah al-Shamad), dianggap sebagai Zat Yang Wajib Wujudnya (wajib al-wujud).
Sementara, makhluk-Nya disebut zat yang mungkin wujudnya (mumkin al-wujud), karena keberadaannya sangat tergantung kepada kehendak-Nya dan kelestariannya sangat tergantung kepada interaksi pasangannya. Dicontohkan langit dan bumi. Langit memberi atau melimpahkan (al-faidl) dan bumi menerima atau menampung (istifadlah).
Menurut Jalaluddin Rumi, langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan. Hubungan antara keduanya sebagaimana layaknya hubungan antara laki-laki dan perempuan.