Empat Prinsip Raih Prestasi Beribadah dalam Islam
Kedudukan manusia sebagai hamba Allah tentunya memiliki kewajiban untuk beribadah. Karena pada hakikatnya penciptaan manusia adalah untuk mengabdi hanya kepada Allah SWT, Tuhan yang telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya bentuk.
Beribadah kepada Allah tidak hanya menjalankan kewajiban tanpa makna tetapi ibadah menjadi kebutuhan dan syukur manusia kepada Allah.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar menjelaskan prinsip-prinsip ibadah dalam Islam, di antaranya:
Pertama, Prinsip Kemudahan.
Dalam kaidah usul disebtukan setiap kesulitan pada dasarnya menuntut kemudahan (al-masyaqqah tajlib al-taysir). Kalau diperhatikan secara seksama, setiap ibadah dalam Islam disediakan kemudahan-kemudahan. Misalnya, bersuci dalam kondisi normal harus dilakukan dengan air. Dalam kondisi sulit, bersuci dapat dilakukan dengan tayamum.
Islam tidak menghendaki penderitaan. Nabi Saw pernah meluruskan kekeliruan tiga orang sahabat yang mengaku menjalankan agamanya secara benar. Masing-masing dari ketiga sahabat itu mengaku rajin berpuasa dan tidak berbuka; selalu salat malam dan tidak pernah tidur; dan tidak menikah lantaran takut mengganggu ibadah. Rasulullah saat itu menegaskan bahwa ‘aku yang terbaik di antara kalian’. Karena Nabi berpuasa dan berbuka, salat malam dan tidur, dan mengerjakan ibadah dan menikah.
“Agama tidak menghendaki penderitaan. Dalam agama Islam, tidak ada pararelisme antara tingkat penderitaan dengan tingkat pahala yang besar. Jadi, agama Islam tidak menilai besar kecilnya pahala itu dari tingkat penderitaannya,” terang Syamsul dalam kajian yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta pada Sabtu.
Kedua, Prinsip kemampuan.
Bertakwa kepada Allah menurut kesanggupan seseorang. Allah telah menentukan segala sesuatu sesuai ukurannya, demikian pula manusia sebagai makhluk taklifi tidak akan dibebani dengan suatu hukum melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya.
Mereka yang memiliki keterbatasan dan berkebutuhan khusus maka pelaksanaan ibadah dikembalikan kepada kondisi dan kemampuan masing-masing.
Dengan adanya prinsip kemampuan dalam beribadah ini sesungguhnya Islam ingin memastikan agar umat Islam dapat menjalankan agama tanpa susah payah dalam dimensi ruang dan waktu, dan mendorong agar rajin menjalankan agama, lantaran bisa dilakukan dengan mudah dan tanpa kesulitan. Misalnya, mereka yang lanjut usia, wanita hamil atau menyusui, dan orang-orang yang tergolong kondisi berat (yutiqunahu) boleh untuk tidak menjalankan puasa Ramadan dan menggantinya dengan fidyah.
“Tidak boleh memaksakan, harus disesuaikan dengan kemampuan, misalnya ibu yang sedang hamil atau sedang menyusui tidak diperkenankan untuk berpuasa. Agama itu tidak dipaksakan untuk dilaksanakan sedemikian rupa, ada prinsip kemampuan,” tutur pakar hukum Islam dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, dilansir muhammadiyah.or.id.
Ketiga, Prinsip tidak menimbulkan mudarat.
Hal tersebut berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan Malik dan Ahmad menyebut bahwa la dlirara wa la dlirara¸ tidak mudarat dan memudaratkan. Lawan sepadan mudarat adalah maslahat.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Mushtasfa min Ilm al-Usul berpendapat bahwa relasi yang terbangun antara syariat dengan istislah (kemaslahatan) sangat erat sekali.
Maslahat menurut al-Ghazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Karenanya, jika mengancam kelima hal ini, maka termasuk dalam kondisi darurat.
“Jadi, melaksanakan agama itu tidak boleh menimbulkan mudarat. Karena itu, orang yang sakit, supaya tidak bertambah sakit, dia boleh tidak berpuasa. Termasuk orang yang terkena covid-19 atau penyakit lainnya, boleh tidak berpuasa,” ujar Syamsul.
Keempat, prinsip mengikuti sunnah Nabi Saw.
Dengan prinsip ini artinya setiap Muslim harus selalu mendasarkan diri dan menaati seluruh larangan dan perintah Allah Swt sekaligus meneladani dan mengikuti Rasulullah Saw.
Dalam Al Quran terdapat banyak ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk ittiba Nabi Saw agar hidupnya selamat di dunia dan akhirat (QS. An-Nisa: 59).
“Dalam hadis dikatakan ‘salatlah kalian sebagaimana aku salat’. Ini menjadi dasar agar mengikuti Sunnah Nabi Saw. Walaupun konteksnya berbicara ibadah salat, tapi ini jadi landasan bahwa pelaksanaan ibadah harus mengikuti Rasulullah Saw,” kata penulis kitab Ushul al-Fiqh: Dirasah Naqdiyyah fi Aliyat Iktisyaf al-Ahkam al-Syar’iyyah ini.
Advertisement