Empat Lelucon, Rasa Jadi Ustaz NU di Masjid Muhammadiyah
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di masa lalu merupakan wujud dari ketegangan kultural umat Islam di Indonesia. NU yang tradisionalis dan Muhammadiyah yang modernis.
NU dan Muhammadiyah kini menjadi representasi Islam moderat di bumi Nusantara. Keduanya terus mengembangkan dakwahnya di dunia, dengan membentuk cabang-cabang istimewa di sejumlah negara.
Ketegangan kultural karena perbedaan organisasi di kalangan umat Islam, kini menjadi sesuatu yang lucu. Karena ada kisah-kisah yang alami dirasakan para juru dakwah. Itulah yang menjadi bahan lelucon terkini, ketika NU dan Muhammadiyah dipahami dalam pergaulan sehari-hari, tidak dalam ketegangan karena perbedaan dalam hal-hal ibadah.
Sebagaimana catatan ust Ma'ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, tentang "Rasanya menjadi Ustaz NU di Masjid Muhammadiyah" ditambah pengalaman Bersama Para Modin di Surabaya. Sebagai berikut (Redaksi):
Rasanya Jadi Ustaz NU di Masjid Muhammadiyah
Di web Muhammadiyah Garis Lucu ini mengisahkan masa anak-anak Muhammadiyah yang hidup di lingkungan NU. Anak-anak Muhammadiyah salat Subuh di Masjid NU saat Subuh di rakaat kedua langsung turun sujud, tidak tahunya imamnya membaca Qunut, akhirnya balik berdiri lagi karena di Muhammadiyah tidak ada Qunut Subuh. Demikian pula saat Tarawih Ramadan, anak-anak Muhammadiyah milih berpisah dengan Tarawih orang tua yang berjemaah di Masjid Muhammadiyah sementara mereka memilih di langgar NU karena lebih seru sesama anak kecil.
Bagaimana dengan ustaz NU yang salat di Masjid Muhammadiyah? Ini kumpulan cerita dari saya dan teman-teman saya.
Lelucon Pertama
1. Saya diundang khutbah Jumat di masjid yang pengurusnya Muhammadiyah tapi jemaah campuran dengan NU. Namun sistem jumatan tentu cara Muhammadiyah. Giliran doa pada khutbah kedua para jemaah tidak ada yang angkat tangan dalam doa. Akhirnya saya angkat telunjuk kanan saya , baru mereka mengangkat tangan berdoa. Pas gatal saya garukan pakai tangan kanan, mereka pun menurunkan tangannya (hehehe).
Lelucon Kedua
2. Teman saya lupa sedang jadi imam di masjid Muhammadiyah. Selesai salat seperti biasa micropon jepit tidak dilepas dan teman saya berzikir dengan suara keras. Tiba-tiba suara hening. Rupanya ada saklar khusus yang disiapkan oleh takmir sebagai antisipasi kalau ada imam zikir suara keras.
Lelucon Ketiga
3. Teman saya juga hendak naik podium Jumat, dia mengambil micropon Muazin dibawa ke atas podium. Sesampainya di atas dikembalikan ke Muazin. Rupanya dia refleks kebiasaan mengambil tongkat dari Bilal ketika hendak naik ke mimbar.
Lelucon Keempat
4. Saya pernah Tarawih di Masjid Muhammadiyah. Seperti biasa selalu diingatkan tata cara sesuai Fatwa Majelis Tarjih mereka, di antaranya salat witir 3 rakaat langsung. Namanya belum biasa, pada rakaat kedua saya lupa duduk tahiyat awal seperti Maghrib. Para makmum kenceng banget mengingatkan "Subahanallah..." seperti mengingatkan rukun-rukun salat.
Ya itulah pengalaman pertama di Masjid Muhammadiyah. Yang penting NU dan Muhammadiyah rukun, Bangsa pun tentram. (Ust Ma'ruf Khozin)
Mendampingi Para Modin
Sejak mendapat dawuh Yai Muhyiddin Abdushomad, Jember, yang dawuh: "Selama Modin menggunakan perawatan jenazah sama seperti kita, maka selama itu pula amalan kita tetap bertahan di lapisan masyarakat". Saya terus terobsesi untuk mengawal mereka khususnya dalam fikih jenazah.
Tak ada yang kebetulan karena Allah telah menentukan, saya ditunjuk menjadi instruktur perawatan jenazah di Pemkot Surabaya sejak 2015. Kala itu hanya di Surabaya Modin mendapat alokasi dana bantuan dari Pemerintah. Setahu saya saat itu masih sekitar 360 ribu. Alhamdulillah sampai sekarang terus meningkat.
Meskipun mayoritas Modin dari kalangan Nahdliyyin tapi setiap pelatihan selalu saya tekankan agar para Modin tidak membedakan keluarga jenazah, serta tetap menghormati cara beragama ormas atau Mazhabnya.
Poin persamaan bagi umat Islam adalah Talqin menuntun kalimat Tauhid menjelang wafat, memandikan, mengafani, menyalatkan dan mengubur.
Saya selalu mewanti-wanti ranah khilafiyah dalam bab jenazah:
1. Nahdliyyin membacakan Al-Qur'an khususnya Surat Yasin di dekat jenazah, ada dalil hadis dan atsar daif. Tapi bagi keluarga Salafi, Muhammadiyah dan lainnya tidak mengamalkan.
2. Di kalangan Nahdliyyin cukup dengan sabun dan tidak masalah dengan kembang mawar saat memandikan. Bagi selain Nahdliyyin tidak berkenan.
3. Di lingkungan Nahdliyyin tali kain kafan/ pocong dilepas berdasarkan riwayat Tabiin. Tetapi selain Nahdliyyin tidak melakukannya.
4. Di makam ada azan berdasarkan ijtihad sebagian Ulama Syafi'iyah tetapi ditolak oleh Imam Ibnu Hajar. Sehingga di internal Syafi'iyah ada yang mengamalkan dan ada yang tidak. Jika di luar NU sama sekali tidak berkenan dengan azan di makam.
5. Warga Nahdliyyin biasa mengamalkan Talqin di makam dan menyiram air serta kembang. Tapi tidak dengan kelompok selain Nahdliyyin.
Alhamdulillah di luar rencana di ruang tunggu VIP Kantor Pemkot Surabaya lt.6 saya berjumpa dengan Anggota DPRD Kota Surabaya, beliau adalah imam Mazhab kita, Bapak Imam Syafii. Luar biasa beliau turut mengawal aspirasi para Modin dan kesejahteraannya. Semoga tetap sehat dan terus berjuang, Pak Dewan. (Ust Ma'ruf Khozin)