Empat Jenis Rezeki, Paling Rendah adalah Harta
Banyak orang memahami makna rezeki adalah harta kekayaan. Padahal, dalam pemahaman Islam, wujud rejeki yang Allah berikan kepada kita tidak selalu berupa harta. Bahkan, harta adalah jenis rejeki yang paling rendah tingkatannya diantara tiga jenis rejeki di atasnya.
Syeikh Prof. Dr. Muhammad Fadhil Jilani Al-Hasani, salah seorang dzuriyah Sulthanul Auliya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, memberikan kesadaran kepada kita semua terkait rezeki yang diberikan Allah Ta'ala kepada umatnya.
“Pertama adalah ilmu yang bermanfaat, kemudian anak yang shaleh, lingkungan yang baik dan terakhir adalah harta. Itu tambahan dari al-faqir".
Demikian pesan Syeih Muhammad Fadhil Jilani Al-Hasani. Ia menabahkan, setiap hamba sudah sepatutnya bersyukur dalam keadaan apapun.
Ketika berkesempatan dakwah di Nusantara, di hadapan lebih dari dua ratus jamaah pria dan perempuan Sang Syaikh menyebut dirinya al-faqir. Artinya seseorang yang sangat miskin dan serba kekurangan sebagai bentuk rendah hati dan tawadhu yang memang merupakan ciri khas seorang ulama.
Makna Shalawat Bashairul Khairat
Ulama dari Turki yang merupakan cicit ke 25 dari Maulana Syeikh Abdul Qadir Jilani ini memaparkan makna tersurat dan tersirat dari Shalawat Bashairul Khairat, bait demi bait karya kakek buyutnya sendiri yaitu Maulana Syeikh Abdul Qadir Jilani.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Ahlussunnah Waljamaah
Dari buku-buku yang dikarangnya, dapat diketahui bahwa ketika Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani berbicara tentang akidah, maka dia tidak pernah keluar dari madlul (apa yang ditunjukkan) oleh Al-Quran dan hadits nabi. Hal ini ditunjukkan oleh perkatannya ketika menetapkan nama-nama dan sifat Allah Subhanahu Wata’ala.
“Kami tidak keluar dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kami baca ayat dan hadits, dan kami beriman kepada keduanya. Kami serahkan kepada Allah tentang bagaimana sifat itu kepada ilmu Allah”.
Ia juga berkata, “Kami berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari mengatakan tentang-Nya dan tentang sifat-sifat-Nya dengan perkataan yang tidak diberitakan Allah Subhanahu Wata’ala atau Rasul-Nya kepada kita” (Al-Ghinyah Lithalib al-haq Azza wa Jalla, hal. 56). Dari sini dapat kita pahami bahwa metode yang ditempuhnya adalah metode yang ditempuh adalah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Tentang keimanan, tauhid, kenabian, hari akhir, dan bid’ah misalnya; ia tidak berbeda dengan akidah Ahlus Sunnah wal jama’ah.
Dalam hal keimanan, misalnya, Syeikh Abdul Qadir Jailani sepakat dengan ahussunnah wal jama’ah yang memberi makna iman sebagai perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan.
Tentang Iman dan Pernyataan
Ia berkata, “Kami yakin bahwa iman adalah pernyataan dengan lisan, pengetahuan dengan hati dan perbuatan dengan anggota badan” (Al-Ghinyah, I, 62). Begitu pula dengan hal-hal lain seperti berkurang dan bertambahnya iman, Islam dan iman itu berbeda, serta tidak kafirnya orang yang melakukan dosa besar, melainkan fasik.
Terkait yang disebut terakhir, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkata,”Kami yakin bahwa orang yang oleh Allah Subhanahu Wata’ala dimasukkan ke dalam neraka karena dosa besarnya, tidak abadi di dalamnya, tetapi dia akan dikeluarkan darinya karena baginya neraka hanya seperti penjara di dunia, yang dijalaninya berdasarkan dosa dan kesalahannya.
Advertisement