Empat Hikmah Sesudah Lebaran, Optimal Kemampuan Menahan Diri
Ada banyak hikmah dari ibadah di bulan Ramadan yang bisa dipetik dan aktualkan di kehidupan sehari-hari, khususnya hikmah puasa. Di antara hikmahnya ialah bagaimana kebiasaan orang mukmin dalam menahan diri (al-imsak) selama puasa di bulan Ramadan dapat terus diaktualkan dalam setiap kesempatan di luar Ramadhan.
Dalam kesempatan ini, Pesan KH Sholahudin al-Aiyub, Ketua MUI Bidang Halal dan Ekonomi Syariah, akan diuraikan tiga di antara hikmah menahan diri tersebut.
Hikmah Pertama
Pertama, menahan diri agar tetap mengonsumsi sesuatu hanya yang halal. Seorang mukmin harus memilah dan memilih apapun yang akan dikonsumsinya. Semuanya harus dipastikan kehalalannya.
Baik halal secara bahan dan proses (halal dzati), maupun halal asal usul hartanya (halal lighairihi). Wajib hukumnya bagi seorang mukmin untuk memastikan kehalalan barang yang akan dikonsumsi.
Sebagaimana sabda Rasulillah SAW:
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ (رواه البخاري ومسلم)
“Sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang haram juga jelas, dan di antara halal dan haram ada yang syubhat (tidak jelas), yang tidak diketahui kebanyakan orang.
Barangsiapa yang berhati-hati dengan meninggalkan barang yang syubhat, maka selamat agama dan kehormatannya, dan barangsiapa yang jatuh dengan mengonsumsi yang syubhat, maka ia telah jatuh kepada sesuatu yang haram”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Sebab barang haram yang dikonsumsi dan tumbuh menjadi energi dan daging, maka itu bisa membawa petaka baginya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
« من نبت لحمه من السحت فالنار أولى به »
“Barangsiapa dagingnya tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya” (HR Ahmad, al-Hakim dan at-Thabrani)
Orang yang mengonsumsi sesuatu yang haram, maka doanya tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT:
“أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ:{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ }، وَقَالَ: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ” (رواه مسلم)
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Bersih sempurna, tidak menerima kecuali yang bersih (baik). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada umat Islam hal-hal yang diperintahkan kepada para utusan-Nya.
Kemudian Ia membaca ayat {“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”} dan ayat {Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu}.
Kemudian Rasul menyebut seorang yang bepergian jauh untuk melaksanakan ibadah, ia berdoa menadahkan tangan ke langit, ya Tuhan, ya Tuhan, dan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan semua itu didapat dari yang haram, maka tidak akan dikabulkan doa tersebut” (HR. Muslim).
Oleh karena itu, seorang mukmin harus terus menjaga dirinya dan memastikan apapun yang akan dikonsumsi harus diyakini halal, baik dzat ataupun asal usul harta yang digunakan membelinya.
Hikmah Kedua
Yakni, menahan diri dari penyakit hati, seperti cepat marah, iri dan dengki, serta ghibah dan fitnah. Semua penyakit hati tersebut selama berpuasa harus ditahan. Karena jika tidak ditahan dan tetap dilaksanakan, maka bisa menghilangkan pahala puasa bagaikan nyala api melumat dengan tandas kayu kering.
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَكَمْ مِنْ قَائِم لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
“Banyak orang berpuasa tidak mendapat (pahala) apa-apa kecuali lapar. Dan banyak orang mendirikan shalat malam tidak mendapat (pahala) apa-apa kecuali hanya kantuk akibat begadang” (HR Ahmad).
Cobaan terbesar umat manusia di era teknologi informasi saat ini ialah tidak bisa menahan diri dari lisan virtualnya. Yaitu dengan bersosial media tanpa menyaring baik-buruknya. Dengan cepat lisan virtualnya mengirim pesan atau berita, tanpa terlebih dahulu dikonfirmasi kebenaran dan kepantasan untuk diunggah di sosial media.
Perilaku seseorang di sosial media kadang berbeda sekali dengan perilakunya di dunia nyata. Banyak ditemukan seseorang yang mempunyai kehidupan ganda: yaitu di kehidupan nyata ia dikenal sebagai pribadi yang baik, saleh dan santun. Tapi kehidupannya di dunia maya berbeda sama sekali. Seakan-akan orang tersebut memisahkan standar kebaikan, kesalehan dan kesantunan di dunia nyata dan dunia maya. Padahal secara agama dua-duanya mendapatkan beban tanggungjawab (taklif) yang sama.
Perbuatan buruk yang dilarang dilakukan di dunia nyata, juga dilarang dilakukan di dunia maya. Orang yang menjalankannya sama-sama mendapat dosa dan hukuman dari Allah SWT.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ و وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَا حَاجَةَ لِلَّهِ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa orang yang tidak meninggalkan perkataan kotor dan menjalankannya maka tidak ada nilai kebaikan di sisi Allah dalam dia meninggalkan makan dan minum” (HR. al-Bukhari)
Oleh karena itu, Manahan diri dari itu semua yang telah dilakukan selama puasa Ramadhan, diharapkan dapat diteruskan di kehidupan lain setelah bulan Ramadhan.
Hikmah Ketiga
Ialah menahan diri untuk tetap istiqamah berperilaku jujur dan disiplin. Setiap orang berpuasa pasti menjadi pribadi yang sangat jujur. Misalnya meskipun dia dalam keadaan sendiri, tidak akan mungkin dia sembunyi-sembunyi melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Meskipun tidak ada seorangpun yang melihatnya, dia tidak akan mungkin melakukannya.
Hal itu terjadi karena orang yang berpuasa memiliki kesadaran yang tinggi bahwa apapun yang dilakukannya dilihat oleh Allah Ta’ala. Dengan kesadaran seperti itu dia telah menjadi pribadi yang sangat jujur. Sikap jujur ini yang disebut ihsan, sebagaimana Sabda Nabi SAW:
الْإِحْسَانِ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Ihsan ialah saat engkau beribadah kepada Allah seperti kamu melihatNya, dan jika kamu merasa tidak bisa melihatNya, maka kesadaran bahwa Dia Melihatmu”.
Orang berpuasa juga sangat disiplin. Orang berpuasa akan menjaga dengan ketat pengaturan waktu. Sebelum maghrib datang, meskipun kurang lima menit, tidak mungkin ia berbuka. Begitu juga saat sahur. Saat waktu imsak telah tiba, maka apapun yang bisa membatalkan puasa akan ditinggalkan. Ini menunjukkan orang berpuasa sangat disiplin menjalankan pengaturan waktu.
Oleh karena itu, sikap jujur dan disiplin tersebut harus tetap ada dan diaktualkan di kehidupan keseharian. Sehingga kita semua saat telah meninggalkan Ramadhan dan berhari raya telah berupah menjadi orang yang baru, yaitu orang mukmin yang mempunyai kepribadian yang bertakwa.
Demikian Pesn-pesn KH Sholahudin al-Aiyub, Ketua MUI Bidang Halal dan Ekonomi Syariah.
Semoga bermanfaat bagi kita sekalian. Amiin.
Advertisement